Caesar, Ishmael, dan Teori Evolusi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Caesar, Ishmael, dan Teori Evolusi

Jumat, 25 Agu 2017 11:18 WIB
Rakhmad Hidayatulloh Permana
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Rakhmad Hidayatulloh Permana (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Kera adalah hewan yang lugu dan menggemaskan, tapi di waktu lain mereka adalah binatang yang cerdas dan bisa menjadi galak. Citra itu secara jelas tergambar dalam film War for Planet of the Apes (2017) yang saya tonton beberapa pekan lalu. Film ini merupakan sekuel dari dua film Planet of the Apes terdahulu; berkisah tentang simpanse bernama Caesar yang telah mengalami perkembangan evolusi luar biasa setelah menjadi objek eksperimen para ilmuwan.

Caesar pada mulanya hanya seekor simpanse yang cerdas dan menggemaskan. Namun, sikapnya perlahan berubah ketika mengetahui bahwa dia merupakan objek percobaan dari para manusia. Kemarahannya kian meledak setelah melihat banyak jenis kera yang mendapatkan represi keji dari manusia.

Kemarahan pun masih berlanjut dalam sekuel ketiga film yang saya tonton itu. Tapi, kali ini perannya lebih heroik. Caesar menjadi pemimpin pasukan kera yang sedang berperang melawan manusia. Sepanjang film, Caesar nampak hebat dan cerdas ketika memimpin pasukannya. Tapi, yang paling memukau dari citra Caesar ialah kebijaksanaannya. Alih-alih berhasrat membunuh ketika berhasil mengalahkan pasukan manusia, Caesar justru dengan lapang dada melepaskan mereka. Tanpa sebersit dendam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kebijaksanaan Caesar persis seperti tokoh gorilla dalam novel Ishmael karya Daniel Quinn. Novel yang saya baca setahun silam itu sama-sama menceritakan tentang betapa bijaksananya para makhluk dari bangsa kera. Ishmael adalah seekor gorilla yang secara ajaib bisa bicara dan memiliki wawasan luas. Ia mengajarkan kebijaksanaan dan pengetahuannya itu kepada seorang manusia yang sedang dirundung kegalauan hebat.

Novel itu adalah kritik satir untuk para manusia yang tak pernah puas. Baik Caesar maupun Ishmael memiliki keunggulan yang hampir mendekati manusia. Bahkan mungkin melampaui manusia.

Manusia dan Teori Evolusi

Dua tokoh kera hebat itu membetot ingatan saya pada teori evolusi yang dikemukakan oleh Charles Darwin. Saya ingin bergumul lagi dengan teori yang sering dimaki sebagai teori paling kafir itu. Teori ini sering dianggap telah menyamakan derajat bangsa manusia dengan bangsa kera.

Saya ingat pernah mempelajari teori evolusi di bangku sekolah, walaupun tentu saja tak pernah benar-benar mempercayainya. Kata guru biologi SMA sayaβ€”yang kebetulan juga merangkap sebagai guru agamaβ€” teori evolusi Darwin bisa membuat orang jadi kafir. Karena, dengan percaya proses evolusi maka itu artinya kita menolak keberadaan Nabi Adam sebagai manusia pertama. Dan, tentu saja hal itu sangat bertentangan dengan iman yang sangat menjunjung derajat Nabi.

Setelah mengajarkan teori evolusi itu, guru saya juga sering memutarkan serial video (ilmiah) Runtuhnya Teori Evolusi di ruang laboratorium biologi. Video-video itu merupakan karya seniman Turki bernama Adnan Oktar, tetapi ia lebih sohor dikenal dengan nama pena Harun Yahya.

Sebab karya-karyanya sering menguliti kelemahan teori evolusi, Harun Yahya sering dianggap sebagai ilmuwan Islam. Juga sebagai pelopor dari kajian kreasionisme, sebuah paham yang membahas tentang penciptaan dan keterlibatan kekuatan adikodrati. Saya begitu kagum dengan sosok Harun Yahya karena karya-karya tersebut.

Tapi, setelah tumbuh dengan berbagai bacaan, dan akses informasi begitu mudah, saya mendapati bahwa ternyata kreasionisme yang sering dilawankan dengan teori evolusi itu tak lebih dari pseudosains atau ilmu palsu. Bagi kalangan saintis, kreasionis ini dianggap pseudosains karena memang menyalahi metode ilmiah. Kreasionisme tak bisa diteliti dengan bukti empirik.

Meskipun begitu, saya masih tetap kukuh dengan pendirian saya bahwa teori evolusi itu bohong. Saya lebih percaya bahwa Harun Yahya ilmuwan yang hebat. Namun, keresahan saya pada teori evolusi belum tuntas. Saya merasa sedikit gamang dengan pro dan kontra dalam melihat teori evolusi.

Kemudian saya pun menanyakan keresahan itu kepada seorang kawan yang kini menjadi dosen biologi murni. Saya mencecarnya dengan selusin pertanyaan melalui chat pribadi. Saya menanyakan apakah teori evolusi itu ilmiah? Bagaimana harus menempatkan agama ketika mempelajari teori evolusi?

Dia memberikan pemaparan panjang yang cukup detail. Saya menangkap beberapa poin yang ia sampaikan dengan penuh khidmat. Menurutnya, teori evolusi seringkali disalahpahami oleh kebanyakan masyarakat kita. Teori evolusi melulu disederhanakan menjadi teori yang bicara bahwa nenek moyang kita adalah kera. Padahal Charles Darwin tak secara gamblang mengatakan itu dalam bukunya The Origin of Species.

Saya yakin, dia memang telah mengkhatamkan buku itu. Katanya, teori evolusi telah menjadi mazhab besar dalam kajian ilmu biologi. Bahkan, teori evolusi kini juga menjadi item dari ilmu sosial. Ia menambahkan bahwa teori evolusi sebenarnya bukan teori soal penciptaan. Melainkan teori yang menjelaskan proses terbentuknya keanekaragaman organisme. Dan, teori evolusi tidak menafikan langsung dzat pemilik kekuatan adikrodati, begitu tutur kawan saya itu.

Darwin pun tak bisa memecahkan misteri tentang dzat paling awal itu. Darwin berujar, "Misteri tentang awal dari semua hal tak dapat kita pecahkan." Darwin sadar bahwa ia tak punya kemampuan untuk menyingkap rahasia itu. Ia hanya berusaha menelusuri bagaimana keanekaragaman organisme terbentuk melalui proses seleksi alamiah. Sialnya, Darwin selalu disalahpahami dan kemudian dibenci.

Melalui temuan teori evolusi Darwin itu, kita akhirnya tahu bahwa kita memang punya irisan genetik dengan hewan lain. Hal ini dibuktikan dari proses uji coba yang memakai tikus atau kelinci atau bahkan monyet, untuk proses uji coba obat-obatan. Hasilnya akan menjadi dasar ilmiah sebelum obat itu dikonsumsi oleh manusia.

Ia juga memberi tahu saya, bahwa dahulu ada ilmuwan Islam yang juga membahas soal evolusi. Namanya Al-Jahiz, seorang ilmuwan Irak. Ia menuangkan buah pikirannya tentang teori evolusi itu dalam kitab berjudul Al-Hayawan.

"Seharusnya, kamu melihat teori evolusi itu sebagai alat saintifik belaka. Tak perlu kamu jadikan kontra dengan kepercayaan yang kamu imani," pungkas kawan saya itu. Saya hanya bisa manggut-manggut menyimak pemaparannya yang cukup jelas. Dia benar, mengadukan agama dengan teori evolusi memang sia-sia.

Karena masih penasaran dengan keabsahan teori evolusi, saya kemudian direkomendasikan oleh kawan itu sebuah berjudul Sapiens karya Yuval Noah Hariri. Yuval adalah seorang sejarawan ternama yang berasal dari Israel. Buku ini menjadi best-seller dunia dan telah diterjemahkan 30 bahasa. Bahkan, Bill Gates, CEO Microsoft itu, juga ikut merekomendasikan buku ini untuk siapapun yang tertarik dengan sejarah umat manusia.

Dalam bukunya, Yuval menjelaskan sejarah umat manusia dengan kacamata teori evolusi. Dari proses kemunculan, perkembangan, sampai prediksi kepunahan manusia. Yuval berani menyebut terang-terangan bahwa manusia punya leluhur yang sama dengan para simpanse. "Hanya enam juta tahun lalu, satu kera betina tunggal punya dua anak perempuan. Satu menjadi leluhur simpanse, dan satu lagi adalah nenek buyut kita," tulisnya.

Yuval memaparkan analisisnya itu dengan menarik karena ia juga menghadirkan ilustrasi yang cukup meyakinkan. Apa yang ia sajikan memang terkesan seperti sebuah rangkaian fakta ilmiah. Tentu, kita tak perlu terlalu mempercayainya. Meskipun itu fakta, saya akan berusaha menjadi manusia kebal fakta. Saya masih yakin teori evolusi itu tidak absah.

Anehnya, keyakinan saya itu mulai buyar ketika akhir-akhir ini sering menyimak berita perkembangan politik Indonesia di layar televisi dan internet. Kasus korupsi dengan nilai kerugian miliaran rupiah terus bermunculan. Para anggota DPR begitu bernafsu untuk mengebiri KPK. Sampai-sampai ada orang yang tega membikin cacat mata pada salah satu penyidik KPK.

Saya curiga bahwa tingkah serampangan mereka itu adalah tanda genetik bangsa kera. Mereka sepertinya adalah golongan manusia yang memiliki kekerabatan sangat dekat dengan monyet, kera, simpanse dan gorilla. Bahkan, pada beberapa kasus, mereka bisa jadi lebih buruk.

Para koruptor dan politisi menyebalkan yang duduk di kursi dewan itu memaksa saya percaya bahwa teori evolusi itu memang benar adanya. Kera suka sekali tersenyum lucu, berteriak-teriak dan meloncat-meloncat. Para koruptor yang digiring petugas KPK biasanya masih bisa tersenyum lucu. Para politisi di kursi dewan yang kekeuh membubarkan KPK suka sekali berteriak-teriak membela kepentingan partainya.

Mereka akan meloncat-loncat ke dalam partai lain jika partainya sudah tidak laku lagi. Di mana ada kepentingan, di situ mereka ada. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang beragama yang sering mengolok-olok teori evolusi. Tapi, tanpa sadar mereka mengimani teori evolusi. Mereka percaya akan proses seleksi alam yang merupakan bagian teori evolusi. Bahwa yang bisa bertahan hidup dalam persaingan adalah mereka yang paling adaptif. Da,n mereka telah mempraktikkan itu dengan baik.

Maka karena ulah mereka saya percaya bahwa teori evolusi itu benar adanya. Lantas, ketika Anda melabeli saya sebagai kafir karena percaya teori evolusi, Anda tentu tahu siapa biang keladinya. Orang-orang yang gemar bikin onar karena nafsu politik yang kepalang jahat.

Rakhmad Hidayatulloh Permana tinggal di Subang. Kegiatan sehari-harinya bermain dengan ikan-ikan air tawar
(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads