Modal Asing, Benci tapi Rindu
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Kang Hasan

Modal Asing, Benci tapi Rindu

Senin, 21 Agu 2017 13:18 WIB
Hasanudin Abdurakhman
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Modal Asing, Benci tapi Rindu
Hasanudin Abdurakhman (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Tidak sedikit orang mengeluh soal kekuatan modal asing yang bermain dalam ekonomi Indonesia. Ini memang soal yang sangat penting untuk dipikirkan. Namun tidak semua gagasan soal ini sahih. Banyak yang sekadar celotehan nyinyir tanpa substansi.

Ada orang-orang yang bicara soal modal asing dengan penuh kebencian, tanpa sedikit pun paham soal seluk beluknya. Di benak mereka hanya ada sejumlah kata kunci, seperti 'Jokowi', 'modal asing', 'Cina'. Dengan kebencian, kata-kata kunci itu dihubungkan menjadi gagasan yang berbunyi: Jokowi menghamba pada kekuatan modal asing, terutama Cina. Selebihnya, yang keluar dari mereka hanyalah cercaan berbasis kebodohan.

Yang lucu dari orang-orang seperti ini adalah sikap mereka seolah kekuatan asing itu baru masuk ke Indonesia di masa pemerintahan Jokowi. Padahal investasi asing sudah masuk sejak zaman Orde Baru, jadi sudah berlangsung 40 tahun lebih. Orang-orang itu sejak lahir hingga tumbuh menua, setiap hari memakai produk investasi asing, tapi terus mengomelinya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jadi bagaimana sebaiknya kita bersikap terhadap modal asing? Pertama, sebaiknya kita pahami dulu, kenapa modal asing itu kita izinkan masuk. Alasannya adalah karena kita tidak punya modal (kapital) dan teknologi.

Perusahaan X dari negara A masuk ke Indonesia, mendirikan pabrik. Lalu apa yang terjadi? Perusahaan itu melakukan aktivitas bisnis. Kita akan mendapatkan keuntungan dari bea masuk dan pajak atas barang yang mereka impor, tenaga kerja kita akan bekerja di situ dan mendapat penghasilan, lalu negara akan mendapat setoran pajak penghasilan ketika perusahaan itu mendapat laba.

Tidak hanya itu. Lahan yang tadinya mati kini jadi produktif sebagai lahan industri. Produk yang tadinya kita impor kini diproduksi di dalam negeri, dengan harga yang lebih murah.

Tapi keuntungan itu semua tidak gratis. Kita menggadaikan lingkungan kita. Ada kemungkinan lingkungan kita rusak oleh kegiatan industri itu. Lebih parah lagi, ekonomi kita bisa dikendalikan sepenuhnya oleh kekuatan asing.

Kenapa tidak bikin pabrik sendiri? Karena kita tidak punya modal. Lebih dari itu, kita tidak punya teknologi. Produksi memerlukan mesin-mesin, dan orang-orang yang punya ilmu untuk menggerakkannya. Mungkin saja kita punya uang, tapi tanpa sumber daya manusia yang memadai uang hanya bisa dipakai untuk membeli mesin-mesin. Itu belum cukup untuk berproduksi.

Kita bisa saja bertahan anti modal asing, melakukan isolasi. Tapi itu berarti ekonomi kita tidak tumbuh. Negara kita akan jadi negara tertinggal. Ketimbang demikian, berproduksi dengan modal dan teknologi asing adalah pilihan yang lebih baik.

Tentu saja itu harus dipandang sebagai situasi darurat, sementara saja sifatnya. Kita tidak boleh "menyerah", dengan terus merasa tidak punya modal dan teknologi. Kita harus berjuang untuk memiliki keduanya.

Kenapa hingga 40 tahun berlalu kita tidak jauh beranjak dalam membangun industri? Coba kita tengok lagi ke belakang dalam sejarah industri kita. Ada begitu banyak dana dikucurkan untuk membangun BUMN yang menangani industri strategis, tapi berapa yang benar-benar jadi? Demikian pula dengan usaha membangun industri kimia dasar.

Kita masih ingat kasus-kasus mega korupsi dalam pembangunan Krakatau Steel dan proyek olefin Edy Tanzil dulu. Di luar itu ada entah berapa banyak lagi kasus korupsi, baik yang dibuka di media maupun yang membusuk diam-diam. Belum lagi berbagai inefisiensi dan salah kelola, baik di BUMN maupun swasta.

Sementara itu alih teknologi juga tidak berjalan mulus. Para insinyur kita yang lama bekerja di perusahaan asing belum kunjung mampu menghasilkan teknologi secara memadai. Orang-orang yang dikirim pemerintah untuk sekolah juga tak kunjung menghasilkan sesuatu. Ada satu dua yang tampaknya menghasilkan sesuatu, tapi setelah kita perhatikan, ternyata lebih kuat unsur pencitraan ketimbang substansinya.

Saya bandingkan kisah kita ini dengan cerita saat sebuah perusahaan Jepang membangun industrinya. Pada pembangunan pabrik pertama, mereka masih mendatangkan mesin-mesin serta insinyur Jerman untuk mengerjakannya. Tapi mereka bertekad, untuk pembangunan pabrik kedua, tidak boleh lagi ada tenaga asing. Tekad itu berhasil diwujudkan.

Jadi, masalah modal asing ini apa? Masalahnya adalah kita semua tidak pernah benar-benar serius berpikir dan bekerja keras untuk mandiri. Sebagai konsumen kita juga lebih nyaman memakai produk impor.

Tegasnya, berdikari, membebaskan diri dari kekuatan asing itu bukan dengan berkomentar nyinyir soal peran pemerintah. Itu tak mengubah apapun. Berdikari itu membutuhkan tekad dan kerja keras setiap orang, dalam waktu yang tidak singkat. Pertanyaannya, sudahkah kita berkontribusi?

Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads