Tentu, tak dapat dimungkiri, terdapat pelbagai macam ulasan yang digemakan dalam menyoal kemerdekaan itu. Barangkali saja, sebagian kalangan merasa sudah bosan atau jenuh dengan perspektif yang itu-itu saja dari waktu ke waktu. Dari panggung kemerdekaan yang satu ke panggung kemerdekaan yang lain. Apalagi kalau setiap wedaran makna kemerdekaan dianggap tak punya denyar gerak sama sekali. Toh setiap tahun, masalah-masalah bangsa tetap saja terjadi.
Pun pelbagai bidang kehidupan penting selalu saja punya celah, bahkan jadi cerobong menganga yang terlampau genting. Figur-figur pemimpin atau pun elite-elite politik, yang seyogianya menjadi teladan, justru terjerumus ke dalam pelbagai keserampangan. Juga sikap apatis tampil begitu menggejala, terutama mendera kelas sosial tertentu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Memang, peristiwa Proklamasi 17 Agustus 1945, menurut Bung Karno sendiri, barulah sebuah kemerdekaan dalam tataran politik semata, sebuah kemerdekaan dari penjajahan asing. Sehingga perjalanan selanjutnya adalah usaha terus-menerus untuk "merdeka" dari pelbagai sekat bidang kehidupan lainnya.
Ada berbagai macam konteks yang dapat dipertautkan. Dalam bukunya berjudul Sentilan Kosmopolitan Mujiburrahman, seorang akademisi jebolan Universitas Utrecht, menyodorkan sebuah pertanyaan menggelitik; mengapa di Indonesia masih banyak orang miskin dan bodoh? Pertanyaan ini lantas berjuntrung pada kritikannya terhadap aparatur negara yang malas. Yang punya pendidikan tinggi tapi bermoral rendah. Yang punya penghasilan cukup tapi tidak bersyukur.
Tapi, apa tolok ukur, juga item tilik, kemiskinan dan kebodohan itu? Musababnya, kemiskinan dan kebodohan itu sendiri punya banyak lanskap. Namun, apabila keduanya disilangperkarakan dengan konteks kemerdekaan saat sekarang, barangkali yang menjadi gerowong pampat dalam hidup berkebangsaan kita adalah kemiskinan dan kebodohan dalam berpikir dan berperilaku.
Perkembangan zaman yang semakin canggih bukannya membuat orang senantiasa berpikiran terbuka dan visioner, melainkan gemar mengkritisi hal-hal yang sebenarnya tak penting. Eksistensi teknologi, secara khusus internet dan media sosial, menjadi tempat pertunjukan kebebalan dan kebodohan. Orang mudah sekali dipengaruhi hal-hal yang mereka sendiri tak paham substansinya. Lalu, tanpa disadari, mereka menjadi budak pihak-pihak tertentu yang berkepentingan dan punya kekuatan dalam mengendalikan wacana.
Makanya, salah satu poin penting dalam tajuk pembicaraan kemerdekaan bangsa ini adalah ihwal penjajahan pola pikir tersebut. Penjajahan pola pikir ini merupakan suatu gejala akut yang mana orang tidak kritis dan cepat sekali ikut ramai menggembar-gemborkan suatu masalah. Ia juga merujuk pada orang-orang yang gampang sekali diindoktrinasi oleh informasi, ajaran, atau pun paham tertentu.
Orang tidak lagi melakukan suatu hal berdasarkan akal sehat, tapi pada bangunan identitas kelompoknya. Lantas, keyakinan golongan menjadi rujukan paling moncer dalam mendedah setiap persoalan bangsa. Dengan demikian, merdeka dari penjajahan berpikir, juga anutan kepentingan politik identitas, sebetulnya merupakan item serius dan relevan untuk dibicarakan saat ini. Inilah bentuk pemiskinan dan pembodohan lain yang paling nyata.
Tak pelak, penjajahan berpikir itu menyebabkan apa yang disebut sebagai fasisme pikiran. Fasisme pikiran ini menunggangi masyarakat sipil hingga aparatur negara. Dan, ia sepertinya bergelembung menjadi sesuatu yang masif dalam ceruk pembiaran-pembiaran. Bahkan, usaha pemberantasan yang coba dilakukan pemerintah selama ini malah seringkali salah sasar dan tak mendongkel esensinya. Lebih cenderung cari aman, lebih banyak tidak tegasnya.
Penjajahan berpikir tampil begitu menggebu-gebu seiring dengan menyeruaknya sikap apatis dari kalangan yang sudah hidup mapan dan nyaman dengan diri mereka sendiri. Inilah yang menyebabkan wacana-wacana terkesan dikendalikan kuat oleh kelompok yang menggaungkan politik identitas tertentu. Sehingga barangkali status "anjing penjaga" akal sehat hanya dilakonkan oleh figur yang itu-itu saja. Orang-orang yang tak berhenti berjuang bagi terciptanya keadilan dan kesejahteraan sosial.
Mereka adalah orang-orang yang senantiasa bergerak untuk menjabar dan menjalarkan semangat proklamasi dan falsafah bangsa. Orang-orang yang mau bertukar pikiran dan berdiskusi guna menciptakan konsensus bersama. Tentang ini, pendapat cendekiawan Ahmad Syafii Maarif sepertinya menunjukkan sebuah optimisme, sekaligus mengguncang nalar kritis.
Beliau mengatakan bahwa politik identitas dalam bentuk apa pun tidak akan membahayakan keutuhan bangsa dan negara di masa depan, selama cita-cita para pendiri bangsa tentang persatuan dan integrasi nasional, semangat Sumpah Pemuda yang telah melebur sentimen kesukuan, dan Pancasila sebagai dasar filosofi negara tidak dibiarkan tergantung di awang-awang, tetapi dihayati dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.
Barangkali menurut Buya, politik identitas itu sendiri baik adanya. Yang buruk adalah ketika ia diperhadapkan pada pola pikir jumud nan kerdil nan kaku. Orang menjadi begitu konservatif dan menganggap diri paling benar. Mereka menelantarkan keberagaman identitas sebagai kekayaan alami dari bangsa ini.
Pada akhirnya, Anda bisa menambahkan banyak hal dalam elaborasi seputar makna kemerdekaan bangsa ini. Namun, memerdekakan pikiran dari kerangkeng anggapan "paling hebat, paling tahu, paling benar" merupakan risalah juga aktus relevan saat ini. Agar penjajahan pikiran tak benar-benar berkuasa. Agar pertarungan wacana tetap mengedepankan akal sehat. Agar kita yang punya identitas beragam ini bisa saling terbuka dan bekerja sama satu sama lain. Bahu-membahu menciptakan keutuhan republik ini.
Dan, saya kira, makna kemerdekaan ini memang harus senantiasa dibicarakan. Tak jemu-jemunya dikumandangkan. Tak kenal rasa lelah dan bosan. Tak pandang bulu identitas, atau status sosial apa pun. Dia mestinya lebih daripada sekadar ujaran "NKRI Harga Mati", "Saya Pancasila, Saya Indonesia", atau apa pun jargon ke-Indonesiaan lainnya. Dan, barangkali itu memang sepatutnya bergema di mana saja. Mulai dari rumah-rumah, komunitas-komunitas, kedai-kedai kopi, atau jalanan-jalanan sekalipun.
Selamat ulang tahun ke-72 Kemerdekaan Republik Indonesia!
Elvan De Porres anggota komunitas seni dan sastra KAHE Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur. Menulis buku Menggaris dari Pinggir: Kumpulan Esai (2017)
(mmu/mmu)











































