Dalam kisah penciptaan manusia pertama kali, kita diajak untuk mengimajinasikan bahwa Tuhan awalnya membuat patung berwujud manusia, hingga kemudian Ia meniupkan ruh ke dalam jasad itu, yang konon terbuat dari tanah liat kering seperti tembikar.
Kisah patung dalam sejarah Islam tak berhenti sampai di situ. Kita pun diajak untuk mengingat Mekkah yang menampilkan tiga patung Latta, Uzza. Di sana kita diajak untuk melawan, melempar kerikil sebagai tanda bahwa kita melawan simbol (setan).
Kita juga diajak untuk mengingat bagaimana sejarah Musa dan kaumnya. Pada mulanya, Tuhan tak menghancurkan patung-patung yang dibuat oleh Bani Israil. Tapi, ketika Musa pergi meninggalkan kaumnya, Bani Israil kemudian menyembah patung itu. Sejak itu pula, patung jadi sebab mereka diazab Tuhan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagaimana dengan sejarah patung di negeri ini? Tentu saja patung di Indonesia juga tak bisa dilepaskan dari unsur religiusitas. Hal ini tak bisa dilepaskan dari sejarah, serta kisah dan peninggalan yang ada dari kerajaan Hindu-Buddha. Di bukunya Peradaban Jawa (2002) Supratikno Raharjo pada Bab Anatomi Pranata Agama memasukkan patung pada bab "sarana fisik pranata agama yang merupakan bagian dari peradaban Jawa".
Kita bisa melongok pada patung yang ada di Candi Prambanan atau Borobudur. Di candi tersebut kita tak kesulitan untuk mendapati pelbagai patung yang mengingatkan cerita dan dongeng masa lalu. Dan, tentu saja di pelbagai prasasti yang ada di negeri ini, kita bisa menemukan patung. Melalui patung itu pula, kita menemukan tanda atau penanda bahwa ada sejarah yang tak bisa kita lewatkan begitu saja.
Tafsir dan Toleransi
Peristiwa penutupan patung Dewa Perang Tiongkok Kong Co Kwan Sie Tee Koen di Klenteng Kwan Sie Bio menjadikan kita miris. Patung yang memperoleh rekor MURI sebagai patung tertinggi di Asia Tenggara itu akhirnya harus ditutup dengan kain karena desakan masyarakat yang memaksakan kehendak di ruang publik. Massa protes terhadap pembangunan patung itu karena menganggap tak sesuai dengan sosok pahlawan Indonesia.
Semula masyarakat membandingkan βseperti tampak dari keriuhan di media sosialβ dengan patung Jenderal Sudirman. Namun, pembangunan patung di Klenteng Kwan Sie Bio kemudian justru malah membuat orang beropini lain tentang Tuban yang dianggap sebagai "Kota Wali". Rasanya benar apa yang dikatakan oleh Franz Magnis Suseno bahwa Indonesia menghadapi tantangan serius perihal aspek agama, demokrasi, dan kebangsaan.
Kita bisa menengok apa yang diwariskan oleh Soeharto kepada anak-cucunya yang dicatat oleh M.C.Ricklefs dalam bukunya Mengislamkan Jawa (2013). "Pangeran iku bisa mawujud, nanging wewujudan iku dudu pangeran"; artinya, Tuhan itu bisa mewujud, tapi yang berwujud itu bukan Tuhan.
Kekhawatiran sekelompok orang di Tuban yang menilai patung Kong Co Kwan Sie Tee Koen merupakan pahlawan Cina justru terkesan rasial. Hal ini mengingatkan kita pada apa yang dikatakan oleh Buya Syafii Maarif bahwa monopoli tafsir begitu berbahaya. Memang ada sekelompok orang yang berusaha untuk menampilkan agama sebagai bagian dari tafsir yang monolitik.
Di akhir buku Mengislamkan Jawa, Ricklefs juga memberikan dua catatan penting mengenai Islam di Indonesia. Pertama, sejauh mana para elite politik (di seluruh tingkat pemerintahan) membiarkan elite, organisasi dan isu-isu religius mendominasi ruang publik, penyusunan kebijakan, dan pelaksanaan tata pemerintahan.
Kedua, filsafat politik yang mana βpencarian keadilan atau pengupayaan kebebasanβ yang memiliki pengaruh yang lebih besar di dalam masyarakat dan negara yang lebih islami. Ricklefs menambahkan dalam konteks ini, terorisme menjadi isu yang signifikan tapi terpinggirkan. Agenda kaum islamis yang utama dewasa ini adalah bagaimana menanamkan pengaruh, melakukan infiltrasi dan mengendalikan atau mengambil alih negara, organisasi-organisasi semi negara dan masyarakat sipil, di mana mereka meraih keberhasilan yang luar biasa.
Melihat fenomena perebutan tafsir ini, saya kira peran negara diperlukan agar masyarakat selalu rukun dan damai. Negara tak boleh kalah dengan sekelompok masyarakat yang memaksakan kehendaknya di ruang publik.
Barangkali mereka yang menolak, atau bahkan dalam beberapa kasus sebelumnya menghancurkan, patung itu belum sadar benar bahwa negeri ini tak hanya berpenduduk Islam saja. Tapi, dihuni oleh pelbagai suku, budaya, dan agama yang tak bisa melepaskan patung sebagai bagian dari kebudayaan mereka.
Arif Saifudin Yudistira tuan rumah Pondok Filsafat Solo
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini