Acho Mengaduk Gelombang Ekonomi Digital
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Acho Mengaduk Gelombang Ekonomi Digital

Rabu, 09 Agu 2017 13:40 WIB
Jusman Dalle
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Muhadkly Acho (Foto: Komario Bahar)
Jakarta - Kriminalisasi dialami komedian Muhadkly Acho setelah menyampaikan unek-unek ketidakpuasan selaku konsumen. Acho protes sebab janji-janji yang ia harap ditunaikan pengembang apartemen jauh panggang dari api. Acho merasa dikhianati.

Kecewa, ia melontarkan protes di kanal media sosial dan blog pribadi. Luapan perasaannya selaku konsumen itu malah dibawa ke meja hijau. Padahal suara Acho faktual, bukan fiksi, apalagi fitnah. Belakangan, banyak penghuni apartemen yang masuk ke barisan Acho. Kekecewaan Acho terhadap pengelola apartemen mewakili kekecewaan yang rupanya lama mereka pendam.

Selain aspek kebebasan berpendapat dan perlindungan konsumen yang banyak diulas rekan-rekan aktivis di berbagai media, kasus kriminalisasi Acho ini menarik kita bedah dari perspektif ekonomi digital. Amat disayangkan, rupanya masih ada yang teralienasi di tengah perubahan lanskap bisnis. Padahal, ungkapan kekecewaan konsumen adalah hal biasa dan tiap saat dilontarkan, misalnya di situs ulasan macam Trip Advisor untuk sektor traveling dan pariwisata, GSM Arena untuk gadget, dan lusinan situs serupa.

Sikap gegabah menyeret aspirasi konsumen dari ruang digital ke ranah hukum adalah bentuk kegagapan dalam merespons perubahan di berbagai sektor industri dewasa ini. Digitalisasi adalah gelombang yang tak bisa ditepis. Ia harus dihadapi dengan kuda-kuda yang kokoh dan jurus yang lincah nan indah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Era ekonomi digital telah mengeliminasi hubungan hierarki produsen-konsumen. Di era ekonomi digital, pasar dan pelaku industri mestinya berbaur akrab di garis horizontal yang sejajar. Konsumen bebas bersuara.

Kita tengah berada di era konvergensi. Tembok-tembok telah runtuh, kata Thomas L Friedman. Dunia menyatu, dan harus disikapi dengan adaptasi. Mengubah cara berbisnis, mengelola pemerintahan, bahkan memperbaharui cara-cara berpolitik menjadi keniscayaan. Di era konvergensi, cara-cara tradisional tidak laku.

Maka kita melihat bagaimana sikap perusahaan-perusahaan yang memiliki DNA transformatif. Mereka piawai berselancar mengarungi gelombang ekonomi digital. Bukan cuma inovasi dalam hal metode penawaran jasa, tapi sampai pada cara-cara menerima feed back atau layanan purna jual, menggunakan medium digital.

Aktor ekonomi digital yang cerdas memahami bahwa suara-suara konsumen tersebut harus dikanalisasi secara resmi agar tidak menggelinding liar. Sebab, aspirasi yang diartikulasikan konsumen digital bertebaran di internet dan berpotensi merusak reputasi.

Media sosial memang tempat yang nyaman bagi konsumen berceloteh karena penuh kemerdekaan, tidak ada suasana kikuk berhadapan dengan manajer atau front line yang biasanya cakap bersikap 'mengintimidasi' ketika menghadapi keluhan. Sikap-sikap dan cara lama cuma kita jumpai dalam praktik bisnis di masa lalu.

Perusahaan yang pandai membaca tren akan melakukan adaptasi. Di mana ada konsumen, di situ mereka hadir. Karena potensi pukulan telak dari keluhan konsumen di media sosial dan berbagai kanal digital, maka perusahaan transformatif masuk ke saluran-saluran independen tersebut, membangun interaksi serta respons yang gesit. Termasuk di berbagai platform digital seperti media sosial.

Selain lontaran kekecewaan, artikulasi kepuasan konsumen (baca: pujian) sebetulnya juga berkelindan di ruang-ruang digital. Ulasan-ulasan positif seperti yang banyak kita jumpai di Trip Advisor atau layanan ulasan daring lainnya bisa jadi testimoni yang sangat ampuh men-drive keputusan konsumen. Ulasan-ulasan tersebut menjadi referensi bagi konsumen lain.

Di sinilah kita melihat perbedaan respons pelaku usaha yang bermental masa lalu dan yang bermental masa kini. Mereka yang sukses mengadopsi tradisi jawara ekonomi digital memperlakukan berbagai aspirasi konsumen itu sebagai kekayaan data melimpah yang mesti diolah. Mereka mengonversi pujian dan kritik menjadi insight, atau bekal untuk meramu formula inovasi, menjalin komunikasi hingga mengembangkan relasi.

Curhatan Acho sebetulnya hanya puncak gunung es, segelintir dari bongkahan fenomena yang terpendam. Di luar sana pasti banyak konsumen yang ingin menumpahkan unek-unek di media sosial โ€”sarana yang dirasa paling efektif untuk menyampaikan pesan ke pada pihak-pihak terkait.

Namun, keinginan itu dihantui ketakutan-ketakutan. Terutama terkait masalah hukum seperti jerat UU ITE. Dalam konteks perkembangan ekonomi digital, UU yang diwarnai pasal karet tersebut cenderung kontraproduktif, menciptakan paranoid.

Jejak jerat terhadap konsumen yang bersuara menjadi banyang-bayang yang menghantui. Ini tentu saja tidak sehat bagi perkembangan ekonomi digital. Menyumbat saluran aspirasi yang mestinya mendorong perbaikan berbagai produk barang atau jasa yang terkoneksi secara digital.

Padahal, ekonomi digital hanya bisa matang jika diuji dengan turbulensi-turbulensi yang dituntaskan secara solutif. Dengan cara-cara seperti itu, kita menutup celah yang bisa memperlemah kualitas industri ini di masa-masa mendatang.

Acho membuka mata kita. Kriminalisasi yang menimpa Acho meledak di tengah gelombang ekonomi digital. Momentum yang tepat untuk melakukan koreksi. Acho telah mengaduk gelombang ekonomi digital. Yang menantang bisa saja terbawa arus, hanyut, atau minimal terpental.

Jusman Dalle Direktur Eksekutif Tali Foundation dan Praktisi Ekonomi Digital

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads