Tragedi Fidelis: Ketika Teori Dipuja dan Realitas Dicampakkan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Sentilan Iqbal Aji Daryono

Tragedi Fidelis: Ketika Teori Dipuja dan Realitas Dicampakkan

Selasa, 08 Agu 2017 13:30 WIB
Iqbal Aji Daryono
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Iqbal Aji Daryono (Ilustrasi: Ivon/detikcom)
Jakarta - Fidelis Arie divonis penjara dan denda yang amat besar. Ia dijerat dengan pasal narkoba karena menanam pohon ganja. Padahal, pohon-pohon itu ia tanam semata untuk mengobati istrinya. Sebulan setelah terhentinya pengobatan itu karena Fidelis ditahan, sang istri pun tak terselamatkan.

Bagi orang awam hukum semacam saya, peristiwa tersebut lumayan memusingkan. Pusing karena penjelasan hukumnya tak masuk di akal saya yang cetek ini, pusing juga karena bangunan logika tentang hukum yang selama ini saya pahami tiba-tiba runtuh berkeping-keping.

Saya tak hendak berbicara tentang betapa hukum di Indonesia hanya berpihak kepada segelintir orang, juga bagaimana jargon 'equality before the law' sulit kita temukan relevansinya secara konsisten dalam kehidupan nyata. Itu topik yang terlalu klise, sudah sangat sering dibahas, diperdebatkan, dan diseminarkan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pusing yang saya maksud sesimpel pertanyaan orang bodoh seperti ini: Apakah hukum adalah tujuan? Apakah tujuan sebuah negeri adalah menjunjung tinggi hukum dan peraturan? Apakah prestasi komunal sebuah masyarakat bisa tercapai manakala masyarakat tersebut berhasil secara gemilang menegakkan teks-teks hukum?

Setahu saya jawabannya 'tidak'. Hukum hanyalah alat; sarana, jalan, prasyarat, menuju tujuan yang lebih tinggi lagi. Tujuan tersebut adalah keadilan. Bahkan keadilan saja pun belum merupakan 100% tujuan. Keadilan diperjuangkan demi cita-cita kesejahteraan. Begitu, bukan?

Nah, demi meraih kesejahteraan lahir dan batin, harus ada keadilan. Dan, demi mewujudkan keadilan diraciklah sebuah sistem alat bantu yang bernama hukum. Jadi di titik ini kita sampai pada kesimpulan: posisi dan fungsi hukum adalah semata-mata alat bantu. Bukan tujuan.

Dalam kasus-kasus normal, alat tersebut berjalan baik. Ia mampu mengantarkan kita kepada keadilan, atau minimal untuk cenderung kepada keadilan. Namun, karena setiap alat hanya disiapkan untuk menghadapi situasi normal, dengan berlandaskan logika-logika generalisasi alias keumuman, maka peristiwa di luar koridor normalitas akan membenturkan antara alat dan tujuan. Keduanya pun bisa berdiri berhadap-hadapan.

Pada saat rumit seperti itulah, kita dituntut untuk memilih: mau ngotot memperjuangkan penggunaan alat, atau mau pragmatis mewujudkan terlaksananya tujuan?

Ibaratnya begini. Anda dan teman-teman harus bermobil menyusuri jalan setapak di lereng curam sebuah gunung, untuk menuju desa di ujung sana. Ada dua calon sopir di situ yang harus Anda pilih. Pertama adalah Bambang, yang memang dikenal piawai memegang setir. Sayangnya, dia tidak punya SIM. Kedua adalah Agus, yang jelas punya SIM, meskipun tidak mahir menyetir.

Nah, siapa yang mau Anda pilih? Bambang atau Agus? Saya yakin jawaban Anda adalah Bambang. Sebab tujuan Anda adalah keselamatan.

Namun, para anggota majelis hakim yang memutus perkara Fidelis ternyata memilih Agus. Bagi mereka, tak penting benar apakah mau sampai tujuan di desa seberang lereng atau tidak, yang jelas sopirnya harus menyetir dengan mengantongi SIM. Itu dia.

Sebagai alat, hukum dekat juga dengan teori. Selama ini orang memiliki dan memakai daun ganja buat nyimeng, buat nge-fly. (Itulah lazimnya, terlepas dari fakta bahwa di beberapa daerah ganja dipakai pula untuk penyedap masakan.) Kelaziman ganja sebagai sarana mabuk itu diaplikasikan dalam pasal-pasal hukum. Maka pasal hukum melarang kepemilikan ganja, dengan "teori" bahwa siapa pun yang memiliki ganja sudah pasti mau mabuk atau mau menjual alat mabuk.

Nah, giliran muncul realitas yang berbeda dengan teori, yakni ketika seorang lelaki hebat memiliki ganja bukan untuk mabuk melainkan untuk obat istrinya yang sekarat, fakta tersebut diabaikan. Lembaga peradilan tetap berkutat pada teori awal bahwa ganja adalah cimeng --cimeng ya buat nyimeng, dan nyimeng dilarang hukum. Maka, kepemilikan ganja adalah tindakan melawan hukum. Titik.

Sampai di sini kita harus berani bertanya, benarkah hukum merupakan alat untuk memberikan keadilan? Benarkah 'lembaga peradilan' berhak menyandang nama itu, ataukah sebenarnya ia cukup disebut sebagai 'lembaga penghukuman'? Benarkah pemimpin sidang penghukuman masih bisa kita sebut 'hakim', sebuah kata serapan dari bahasa Arab yang bermakna 'bijaksana'? Atau, ia cukup kita bebani dengan makna 'orang yang menghukum'?

Kalimat jargon "Indonesia adalah negara hukum" sepertinya telanjur memerangkap kesadaran kita. Dengan berpegang terlalu teguh padanya, kita lupa rumus lain, yakni bahwa "Indonesia (semestinya) adalah negara yang berkeadilan sosial, serta berkemanusiaan yang adil dan beradab."

Alih-alih mabuk ganja, kita ternyata malah mabuk teori. Bukan cuma mabuk teori hukum, tapi juga teori medis. Simak ucapan Ketua BNN yang menyatakan tidak ada ampun bagi Fidelis.

"Dari mana penyembuhannya? Kan harus dibuktikan penyembuhannya. Itu harus melalui medis, kata siapa ganja menyembuhkan? Itu kan katanya, penelitian secara medisnya kan belum. Buktinya apa?"

Begitu kurang lebih komentar Pak Budi Waseso, yang kemudian dilengkapi oleh Bu Menteri Kesehatan Nila Moeloek. Dunia medis international, ujar Nila, belum memiliki kajian terkait penggunaan ganja sebagai obat medis. Jadi belum ada bukti bahwa ganja bisa menyembuhkan. Klaim Fidelis yang bisa menyembuhkan istrinya dengan ekstrak ganja, dinilai Nila bersifat kebetulan.

Pada satu sisi saya sepakat bahwa keterukuran bersifat wajib dalam dunia medis. Ketika ganja diposisikan sebagai obat medis yang legal, maka ia harus melewati proses penelitian terlebih dahulu, riset dan pengembangan, penentuan kadar aman, dan sebagainya.

Namun, lagi-lagi otak awam saya bertanya-tanya. Benarkah jalur medis adalah satu-satunya jalan penyembuhan? Jika ya, lalu berjibun kasus kesembuhan lewat non-medis, mulai akupuntur, herbal, bekam, hingga sengatan tawon, mau disebut apa? Bukan kesembuhan?

Kalau diakui bahwa cara non-medis merupakan alternatif lain menuju kesembuhan, kenapa khasiat obat dari ganja dianggap hoax hanya karena ia tidak melalui jalur medis dan penelitian ilmiah? Kenapa dikatakan bahwa "ganja tidak terbukti menyembuhkan" hanya karena ia belum diteliti oleh dunia medis internasional? Apakah ketika saya makan nasi lalu kenyang, rasa kenyang saya tidak diakui secara ilmiah hanya karena belum ada riset dan laporan di jurnal internasional yang menelitinya?

"Oh, kamu sembuh ya? Sakitmu berkurang jauh? Tapi kan kamu tidak lewat jalur medis. Ganja juga belum diteliti secara internasional. Artinya, kamu itu belum sembuh." Demikian kira-kira kalau kita mengimajinasikan kalimatnya.

Ada sesat pikir yang kentara sekali di sini, yakni "belum ditemukan bukti bahwa ganja menyembuhkan" seolah dianggap sama dan sebangun dengan "telah dibuktikan bahwa ganja tidak menyembuhkan". Coba Anda baca ulang, dan resapi bedanya.

Selain sesat pikir, ada juga peran rezim kebenaran di sini. Fakta yang muncul di lapangan bahwa kondisi istri Fidelis jauh lebih baik setelah diobati dengan ekstrak ganja dianggap "tidak ada". Sebab ia tidak sesuai dengan teori. Sementara, teori merupakan bagian dari infrastruktur yang dibangun oleh rezim kuasa kebenaran.

Di saat yang sama kita lupa, bahwa teori merupakan asbtraksi dan formulasi atas fakta-fakta. Faktalah yang membangun teori, bukan teori yang membangun fakta. Ketika ada suatu fakta berbicara, padahal fakta itu berlawanan dengan teori, semestinya teorinya yang direvisi. Bukan kok faktanya yang dianggap jadi-jadian.

Sekali lagi, jangan salah paham. Saya sepakat bahwa legalitas suatu pengobatan medis harus memenuhi syarat-syarat tertentu dengan keterukuran yang cermat. Namun jangan sampai kita membayangkan bahwa dunia medis modern di tahun 2017 ini telah 100% berhasil memahami segala jenis metode penyembuhan di kolong langit. Itu yang pertama.

Kedua, dunia ilmiah adalah dunia yang bermartabat, namun rapuh. Ia berada dalam hukum dialektika pengetahuan. Maka salah satu sikap yang menjunjung tinggi kejujuran ilmiah adalah menyadari bahwa teori ilmiah mutakhir sangat mungkin dikoreksi, mengoreksi dirinya, atau minimal membuka diri untuk menerima koreksi.

Lalu kenapa Bu Menkes, misalnya, tidak berkomentar, "Oh dia sembuh ya? Belum ada sih penelitian ilmiahnya. Tapi, kalau benar begitu kami akan melakukan riset atas kandungan daun ganja bersama para akademisi." Hehe, indah sekali kalau bisa begitu, bukan? Tentu saja sampai detik ini baru sebatas khayalan.

Huff, sudahlah. Sekarang sudah masuk pekan kedua bulan Agustus. Kita akan segera menyambut hari peringatan kemerdekaan. Setelah era penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, juga penjajahan oleh kekuatan modal multinasional, apakah kita akan menyerahkan diri untuk terus dijajah oleh teori-teori, sembari lupa bahwa semua itu bukan kebenaran final?

Iqbal Aji Daryono praktisi media sosial, penulis, bukan konsumen ganja

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads