Perubahan lanskap lingkungan merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari saat membangun kawasan industri dan pemukiman. Singkatnya, pembangunan selalu berpotensi menganggu kelestarian ekosistem dan lingkungan hidup.
Karena itu, dibutuhkan kebijakan yang akomodatif untuk memastikan bahwa pembangunan yang dilakukan bisa meminimalisir tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan. Lantas, bagaimana menyiasati atau mengakomodasi pembangunan dengan tanpa mengabaikan pentingnya lingkungan hidup?
Saya mempunyai konsepsi tentang politik ekologi dalam pembangunan di Jatim. Tentu saja tujuannya adalah menciptakan harmoni dalam pengorganisasian ruang dalam hubungan antar sesama, mencipta ruang ekonomi, budaya, sosial dan politik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada titik ini pembangunan seolah-olah tidak kompatibel dengan ekologi, dan pilihan menjadi tertutup; melakukan pembangunan dengan segala bentuk dampak negatifnya, atau menjaga ke-alamian ekologi dengan menunda pembangunan. Di sisi lain kebutuhan manusia atas ruang tidak bisa ditunda.
Perlindungan terhadap ekologi adalah hal yang mutlak kita lakukan sebagai khalifah di dunia ini. Karena fitrah manusia diciptakan Allah sebagai sebaik-baik mahluk untuk menjadi pemimpin dan memelihara Bumi. Maka jalan terbaik adalah memilih jalan tengah yakni melakukan pembangunan yang berparadigma ekologi, sehingga daya dukung lingkungan harus dilibatkan dalam analisis perencanaan pembangunan.
Pengalaman 9 tahun terakhir memperlihatkan kemajuan upaya pemerintah dalam penegakkan regulasi yang mengontrol tingkat pencemaran. Dalam kasus menekan tingkat pencemaran sungai misalnya, tahun 2009 tercatat BOD sebesar 5.6 dan COD nya 19.28 dan pada pada tahun 2016 menurun menjadi BOD (4.52) dan COD (12.11). Saya merasakan bahwa menjaga keberlanjutan ekologi ditengah arus deras pembangunan bukanlah hal yang mudah. Namun bukan hal sulit untuk dilakukan.
Salah satu apresiasi yang didapatkan adalah Nirwasita Tantra Award 2016 yang menjadi penghargaan tertinggi bidang Lingkungan Hidup. Diberikan pemerintah pusat kepada kepala daerah karena berhasil merumuskan dan menerapkan kebijakan pembangunan berkelanjutan guna memperbaiki kualitas lingkungan hidup. Tentu penghargaan tersebut bukanlah tujuan utama, karena bagi kami menghindarkan Jawa Timur dari krisis ekologi adalah yang terpenting.
Saya mencatat, terdapat 4 isu strategis terkait pengelolaan lingkungan hidup (PLH) yakni: Pertama, Pengelolaan Hutan, Lahan dan Sumber Air. Ini menyangkut eksploitasi lahan, pembalakan liar menyebabkan kerusakan ekosistem dan dampaknya adalah kelangkaan sumber mata air, erosi, longsor, rusaknya habitat biota, dan menurunnya biodiversitas. Pendekatan holistic dan bertahap harus dilakukan untuk menangani masalah tersebut.
Kedua, Pengelolaan Wilayah Pesisir dan laut. Yakni, meningkatnya pembangunan diwilayah pesisir terutama di wilayah Tuban, Lamongan, Gresik, Surabaya mengancam kerusakan ekosistem di pesisir dan laut. Bukan hanya ekosistem hewan dan tumbuhan, melainkan juga mengancam eksistensi nelayan pesisir. Untuk memberikan perlindungan terhadap nelayan, Pemprov Jatim telah mengeluarkan Perda No. 3 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan.
Ketiga, Pencemaran Air, Tanah dan Udara. Diantaranya terkait dampak negatif dari industrialisasi berupa limbah yang dihasilkan. Limbah kimia tidak bisa di dekomposisi secara alamiah, karena limbah kimia dihasilkan oleh rekayasa manusia yang tidak dikenal oleh alam. Maka pelaku industri harus melakukan pengolahan limbah terlebih dahulu sebelum residu tersebut di lepas di air, tanah maupun udara. Tugas pemerintah adalah memastikan pelaku industri taat prosedur dan aturan pengelolaan limbah.
Keempat, Permasalahan lingkungan perkotaan. Yakni, permasalahan lingkungan utama di perkotaan adalah pengelolaan sampah, sanitasi, ruang terbuka hijau. Tidak kalah penting masalah di perkotaan adalah soal tata ruang. Arus urbanisasi menyebabkan terkonsentrasinya penduduk di perkotaan, kebutuhan akan rumah pun meningkat, yang terjadi kota-kota menjadi semakin besar dan mengokupasi daerah disekitarnya.
Daerah pedesaan yang berbatasan dengan kota berubah menjadi daerah perumahan, alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman semakin massif. Hal tersebut diperparah dengan keengganan generasi muda untuk memilih petani sebagai profesi. Hal tersebut bisa mengancam ketahanan pangan Jawa Timur.
Problem ekologis agaknya tidak bisa diselesaikan secara parsial, namun haruslah didekati dengan pendekatan yang holistik dengan melibatkan partisipasi masyarakat yang luas, aktivis lingkungan, penggiat lingkungan, pelaku industri, serta kepemimpinan politik yang sensitif dengan isu ekologi. Kepemimpinan yang memiliki kehendak politik untuk menghindarkan dari krisis ekologi, melalui pembangunan berkelanjutan, tanpa merusak alam.
Itikad mengurai masalah ekologi bisa diawali dengan pembuatan peta ekologi, dimana peta tersebut memuat data lingkungan. Pengkajian menyeluruh terhadap wilayah-wilayah yang punya nilai penting secara ekologis. Memetakan industri yang berpotensi menjadi pencemar lingkungan. Peta ekologi juga memuat data kerusakan hutan, lahan dan sumber air, data keanekaragaman hayati. Peta ekologi yang holistik akan dijadikan rujukan ketika merumuskan kebijakan terkait penataan kawasan.
Strategi berikutnya, sinkronisasi Perda-perda yang memiliki irisan dengan isu lingkungan. Melakukan re-regulasi jika ada Perda yang tumpang tindih. Memperkuat instrumen peraturan terkait lingkungan hidup.
Selain itu, diperlukan fungsi Bappedalda dalam penegakan Perda. Pemberian sanksi yang tegas pada pihak yang melanggar perizinan dan merusak wilayah yang memiliki nilai penting secara ekologis. Melibatkan komponen masyarakat luas untuk ikut serta melakukan pengawasan dan pelestarian lingkungan hidup.
Wakil Gubernur Jawa Timur, Saifullah Yusuf (adv/adv)