Ketika membaca buku Jihad Lipstik, sebagai pembaca amatir yang merasa membaca buku dengan sangat kurang, saya merasa begitu tergugah dengan karya Azadeh itu. Ini adalah karya sastra Iran yang menggelitik, rasanya sama seperti ketika membaca Persepolis dan Embroideries, karya-karya Marjane Satrapi yang kental satire kritik.
Bahkan, bahasa sastra yang dipakai oleh Azadeh sama indah dengan Khaled Hosseini, sastrawan keturunan Afghanistan-Amerika yang banyak berkisah bagaimana Taliban berdampak pada masa depan anak-anak, serta nasib Negara Arab dan Timur Tengah secara keseluruhan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Iya, memang buku bagus. Sayang, tidak laku di pasaran." Begitulah respons agak prihatin yang datang dari Yusi Avianto Pareanom, si penyunting buku lewat komentar di Facebook.
Ia lalu melanjutkan komentar setelah memperkenalkan saya pada si penerjemah buku, Wawan Eko Yulianto, "Di jaringan toko buku besar memang tidak laku, tapi ia dengan satu dan lain cara akan menjumpai pembacanya."
Saya mengamini ungkapan subtil itu. Kadang-kadang, perjumpaan dengan judul buku tertentu dengan pembaca memang seperti perjumpaan dengan jodoh jiwa. Dan, seperti kata Pram, anak-anak ruhani seorang pengarang memiliki nasibnya masing-masing.
Namun, bagaimanapun jawaban Paman Yusi --begitu penulis novel pemenang anugerah Kusala Sastra Khatulistiwa 2016 berjudul Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi itu disapa-- menambah daftar nama para pengedar pustaka yang keras kepala. Manusia-manusia buku ini paham betul bahwa berbisnis buku (terutama sastra) tidak begitu menguntungkan secara materi. Sudah jamak jadi guyonan orang buku, misalnya, "jualan buku itu susah kaya."
Ada banyak dugaan soal itu. Pertama, misalnya, bahwa tradisi sastra di Indonesia mulai dari periodisasi kesusasteraan lama, masa Hindu-Budha, Islam, Arab-Melayu, hingga sastra mutakhir masa kini, secara teori memang berasal dari kerajaan alias istanasentris atau sastra apokaliptik, yang biasanya disebarkan oleh kaum penyebar agama.
Praduga ini memunculkan apologi bahwa ketika sastra tidak terlalu dikenal oleh rakyat kecil, yang berupa petani, pedagang atau massa bawah lainnya, adalah wajar belaka, sebab sifat sastra yang sebermula adalah bahasa kelas tinggi nan eksklusif.
Dugaan kedua adalah prasangka negatif soal teori minat baca. Sudah tahu kan data UNESCO soal minat baca orang Indonesia yang hanya 0,0001%? Yang artinya jika kamu merasa sebagai golongan manusia rajin membaca, kamu mewakili 200.000 penduduk Indonesia lainnya yang tidak rajin membaca. Tapi, konon alasan ini terlalu semena-mena.
Sejak bertahun-tahun lalu, misalnya, Sukanto Tanoto melalui program Pelita Pustaka Tanoto Foundation telah merenovasi ratusan perpustakaan sekolah di Indonesia. Program ini tidak hanya mendonasikan buku, tapi juga melatih guru dan pustakawan di perdesaan agar mampu memastikan pemeliharaan dan aksesibilitas bahan bacaan.
Ada pula seorang Ridwan Alimuddin, yang karena kecintaannya pada perahu dan buku mendorongnya untuk menginisiasi Perahu Pustaka. Ia berhasrat membawa buku-buku anak yang menyenangkan dan berwarna-warni ke desa nelayan terpencil dan pulau-pulau kecil. Nama perahu yang bergerak membawa bacaan itu adalah perahu jenis kargo Karaeng Pattinggaloang, yang merupakan nama Perdana Menteri Kerajaan Gowa Tallo abad ke-17 yang sangat mencintai ilmu pengetahuan dan menguasai 7 bahasa asing pada masanya.
Kiprah-kiprah itu membuat kita wajib menilik statistik dengan berbagai pertimbangan lanjutan, bukan semata-mata menyudutkan kualitas masyarakat.
Dugaan ketiga, tentu saja adalah dilema klasik bisnis perbukuan. Mulai dari sampul dan tata letak yang kurang atraktif sehingga tidak dilirik konsumen, hingga harga buku yang mahal (sebab pajak kertas mahal) sehingga buku menjadi kebutuhan "post-tersier" yang mampu dibeli masyarakat ekonomi rata-rata.
Meskipun begitu, toh cerita pengedar pustaka yang unik tidak pernah habis. Di Solo, teman saya yang bernama Ngadiyo, yang sebetulnya seorang sarjana Sastra Inggris yang multi-bakat, memilih prioritas menjadi manusia buku. Pekerjaan sehari-harinya berkeliling dengan motor bebeknya yang memuat kardus berisi buku-buku yang ia jual ke kampus-kampus, sekolah-sekolah, rumah sakit, perkantoran, bahkan markas Angkatan Darat.
Kebiasaan "nyentrik" itu membawa Ngadiyo bertemu dengan ibu-ibu yang ia tawari belanja buku ketika tengah bergosip dengan sesama ibu lain yang menunggu anaknya bersekolah PAUD. Ia juga luwes menyindir para pendidik di sekolah dan kampus yang malas belanja buku sehingga kemudian mereka kini menjadi pelanggan buku. Satu cerita yang saya ingat adalah ketika ia masuk ke markas Angkatan Darat.
"Bapak-bapak, alangkah baiknya jika markas Bapak ini dilengkapi dengan perpustakaan sehingga tugas sebagai pengayom masyarakat bisa lebih meningkat melalui pengetahuan yang dibawa buku-buku." Begitu ia berseloroh.
Bagi Ngadiyo, membeli buku adalah kehormatan. Ia tak pernah pesimis sebab selama peradaban manusia masih ada, buku-buku akan terus diproduksi, katanya.
Ada juga teman pengepul sejarah, barang-barang lawas dan pengedar pustaka masa lalu, bernama Taufiq Effendi, yang sehari-hari beredar di Gladag dan Pasar Klithikan Solo. Suatu hari, Taufiq menemukan sebuah nama di dinding pertemanan Facebook-nya. Taufiq curiga bahwa nama itu merupakan keturunan seorang tokoh masa pemerintahan Sukarno.
Taufiq iseng meminta alamat orang itu lalu mengiriminya sebuah kliping opini yang ditulis oleh si tokoh. Ternyata benar belaka. Teman Facecook itu mengucapkan terima kasih pada Taufiq, kemudian bercerita bahwa bapaknya itu dulu adalah penulis produktif masa Orde Lama yang sudah sulit ia akses jejak karyanya, sebab bapaknya itu dipenjara hingga akhir hayatnya oleh penguasa Orde Baru.
Suatu hari ketika Taufiq mengiklankan sebuah kalender lawas tahun 70-an, ada seorang penulis novel dan skenario yang begitu antusias membeli. Perjalanan paket kalender itu sedikit drama sebab sempat salah kirim. Ternyata, penulis novel itu dilahirkan pada tahun yang sama dengan kalender lawas itu dan ia ingin mengenang periode masa yang bersisian dengan peristiwa kelahirannya.
Para pengedar pustaka yang keras kepala adalah sosok-sosok unik yang percaya perubahan lewat budaya baca tulis. O ya, jangan lupakan pula Presiden yang kini menggratiskan ongkos pengiriman buku-buku via Kantor Pos tiap tanggal 17 hingga kita pun bisa mulai mengambil peran sebagai pengedar pustaka. Kita tentu tidak mau membayangkan masa percepatan budaya teknologi-teknologi berikutnya yang tidak diimbangi dengan aksesibilitas pengetahuan yang memadai, hingga kelak hanya melahirkan para produsen sampah informasi: sebuah peradaban penuh hoax yang kemudian memicu adu domba dan konflik.
Kalis Mardiasih menulis opini dan menerjemah. Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama. Dapat disapa lewat @mardiasih
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini