Para pemabuk kebebasan menghirup terlalu banyak kebebasan. Akibatnya, kebebasan bagi mereka tak lagi mendewasakan, melainkan justru mengerdilkan. Alih-alih menjadi manusia bebas, para pemabuk kebebasan justru mendambakan tatanan perbudakan: atas nama kenyamanan masa lalu yang semu, tak jarang juga atas nama hukum agama.
Mabuk kebebasan sesungguhnya bukanlah kebebasan. Ia memang berseru atas nama kebebasan, namun isi seruannya tak lain daripada perbudakan. Kebebasan mulai mengalami arus balik. Justru atas namanya, suara perbudakan datang lagi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dokumen-dokumen seperti Magna Charta, Habeas Corpus, Virginia Bill of Right, Declaration of Independence, dan Déclaration des droits de l'homme et du citoyen cukup memberi kesaksian tentang hal itu.
Kita di Indonesia tak asing dengan pengalaman seperti itu. Tidakkah kebebasan adalah salah satu kata kunci perubahan dari Orde Baru ke Reformasi? Itulah mengapa, menyerukan tatanan perbudakan atas nama kebebasan, di samping suatu absurditas, juga suatu kedurhakaan.
Kebebasan tak hanya berarti kebebasan dari penindasan, melainkan juga kebebasan untuk menentukan diri. Itulah mengapa kebebasan selalu punya pasangan abadi: tanggung jawab. Bebas menentukan diri berarti memilih tanpa paksaan, dengan tahu dan mau, lengkap dengan segala konsekuensinya.
Manusia bebas tak melempar konsekuensi pilihannya kepada pihak lain: orang lain, dunia, bahkan Tuhan sekalipun. Pun kalau ia ber-Tuhan, ia tak akan menjadikan-Nya dalih bagi kemalasannya untuk bertanggung jawab.
Cita-cita kerap menyeleweng. Kebebasan yang berlebihan menjadikannya memuakkan, sebab ia rawan tergelincir menjadi anomie (a-nomos = tanpa hukum). "Di mana akhlak? Di mana tatanan? Di mana hierarki?" tanya sekelompok orang.
Gayung pun bersambut. Para demagog cermat melihat celah, lalu menyediakan jawaban yang mempesona: dari nostalgia "isih pénak jamanku to?", provokasi "khilafah solusinya", sampai semangat bela agama.
Kini, tibalah kita di tubir yang memusingkan: sementara kebebasan masih perlu terus diserukan, pada saat yang sama ia juga mulai dibatasi.
Sekitar 200 tahun silam, situasi yang mirip—kendati tak sebanding—pernah dihadapi oleh Robespierre, penyambung roh Revolusi Prancis itu. Di tengah gelora semangat kebebasan kala itu, ada semangat lain yang dianggap tak sejalan.
Robespierre tak kenal jalan tengah. Semangat menyimpang itu, katanya, harus "dipaksa untuk bebas"—istilah halus untuk mengatakan "teror" atau "guillotine". Ironisnya, hanya sekitar setahun setelahnya, ia sendiri menjadi korban guillotine.
Tak seperti Robespierre, pemimpin yang terpilih secara demokratis tak boleh dibiarkan terkena kutukan itu.
Y. D. Anugrahbayu peminat filsafat
(mmu/mmu)











































