Banyak yang berhasil; mereka sukses dan bahagia. Namun, tak sedikit yang sukses tapi tak bahagia. Dan, yang paling celaka tentunya mereka yang tidak sukses dan tidak bahagia. Sementara ukuran kesuksesan dan kebahagiaan kebanyakan hanya berdasar pada banyaknya jumlah ilmu dan harta yang mereka miliki, lebih utama penampakannya, visual semata.
Sukses dan bahagia, tentu saja itu keren โtidak ada yang salah dengan itu. Ironisnya, untuk tujuan-tujuan tersebut tidak sedikit orang yang berusaha mencapainya dengan cara-cara yang justru tidak membahagiakan teman, tetangga, kolega, hingga keluarga.
Beberapa orang mencari kebahagiaan dengan cara instan seperti mengikuti seminar-seminar, workshop, pelatihan berbayar yang dilakukan di hotel berbintang. Atau, melampiaskannya dengan mengkonsumsi narkoba yang pertaruhannya sangat besar.
Yang lebih menyedihkan, beberapa orang menipu dirinya sendiri dengan mengaku-ngaku dan meyakin-yakinkan orang lain bahwa dirinya bahagia. Misalnya, dengan pamer kebahagiaan di sosial media. Tentu tidak bisa digeneralisasi juga. Namun, kalau kita perhatikan setiap detik, menit, sepanjang hari banyak status warganet yang mengabarkan bahwa dirinya sedang berbahagia.
Mereka mem-posting dan menyebarkan aura positif dengan misalnya mengatakan, Senin pagi adalah hari paling membahagiakan sedunia karena tanpa Senin tak akan pernah ada Jumat ceria. Atau, senang dan bangga karena tetap bersemangat bekerja lembur sampai tengah malam tiba. Maksud mereka tentu saja baik, menyebarkan semangat untuk terus berbahagia dengan cara-cara yang sederhana.
Posting-an semacam ini memang lebih diminati dan direspons oleh warganet dibanding posting-an yang menyebarkan kebencian, mencari kesalahan-kesalahan orang atau melakukan penyinyiran.
Sementara, status-status "jujur" yang mengabarkan kerumitan, kegelisahan dan kegalauan hidup "tidak laku", tidak menarik dan tidak viral. Mungkin warganet bosan, dari pagi sampai pagi terus-menerus telah dihajar berbagai persoalan yang nyaris tak pernah kelar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Banyak yang sepakat, untuk bisa bahagia perlu pengorbanan, kerja keras, konsisten yang intinya harus melewati proses yang tak menyenangkan. Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian, walau kadang tak jarang juga hanya capek ending-nya.
Meski begitu, sampai hari ini nyaris semua makhluk penghuni bumi bulat ingin hidupnya bahagia. Benarkah bahagia adalah pilihan hidup yang tepat? Bagi mereka yang setuju, tampaknya harus meredefinisi, menetapkan ulang tujuan hidupnya.
Bayangkan jika Anda saat ini menginginkan barang kesukaan yang harganya tak terjangkau dibayar tunai. Maka dengan segala cara, entah mencicil atau menabung sedikit-demi sedikit, berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Setelah terkumpul datang ke tempat penjualan dan terpenuhilah keinginan itu.
Dia perlu waktu bertahun-tahun merasakan penderitaan dan ketidaknyamanan untuk meraih kebahagiaan yang hanya beberapa menit, saat ia memperoleh barang yang diinginkan. Setelahnya, ia harus menabung atau mencicil lagi, harus mengalami penderitaan lagi, untuk membeli barang lain untuk mendapatkan kebahagiaan lagi.
Apakah kebahagiaan seperti itu sebanding dengan penderitaan yang dialami? Memang, semesta telah mempunyai sistem yang tak bisa diubah, kebahagiaan dan penderitaan bak dua sisi selembar mata uang, tak bisa dipisahkan. Selama kita terus memburu kebahagiaan, penderitaan juga terus akan menyertai ke mana pun kita pergi.
Agar kita terbebas dari penderitaan, satu-satunya cara adalah dengan menghilangkan (keinginan untuk mengejar) kebahagiaan. Apapun situasinya, badai menghantam atau kebanjiran keberuntungan, sikap kita tetap cool, netral dan "biasa saja".
Caranya sebenarnya cukup gampang, dengan mengelola emosi dan mengubah pola pikir. Hanya saja, "sebenarnya cukup gampang" itu artinya "nggak gampang-gampang amat juga" โbukankah mengubah pikiran itu sama dengan sulitnya meng-crack sebuah password? Memang, ternyata sulit, tapi bukan berarti tak mungkin.
Orang yang telah terbebas dari penderitaan dan kebahagiaan, bisa menjalani hidup, melakukan aktivitas keseharian bukan berdasarkan keinginan-keinginan namun karena hal itu memang harus dilakukan. Bukan pula melakukan sesuatu karena pencitraan, agar dipuji oleh atasan, dianggap baik oleh calon pasangan atau calon mertua.
Sederhananya, kalau ada status warganet di media sosial yang mencari tahu bank mana saja yang buka di hari Minggu, kita bisa memberikan informasi kepadanya tanpa berpikir apakah dia laki-laki, perempuan atau transgender, dia berasal dari Waingapu atau Wonogiri, dia penyembah pohon atau barang-barang branded.
Jika ada kucing kedinginan, terlantar di jalanan sebisa mungkin kita membantunya. Minimal dengan memotret dan mem-posting ke sosial media agar warganet pecinta binatang atau garda satwa bisa menyelamatkannya. Lepas dari kita penyayang kucing atau tidak suka kucing. Segampang dan sesederhana itu.
Karmin Winarta praktisi digital
(mmu/mmu)











































