Karena 'Nasi' Tak Harus Selalu Beras
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Karena 'Nasi' Tak Harus Selalu Beras

Selasa, 01 Agu 2017 11:02 WIB
Fadly Rahman
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi: Ivon/detikcom
Jakarta - Pemberitaan skandal dugaan penipuan yang dilakukan sebuah perusahaan beras sempat membuat geger publik. Perusahaan itu dituding telah mengoplos beras kualitas medium varietas IR64 lalu menaikkan harganya dengan memberi label beras premium.

Terlepas benar tidaknya dugaan itu, dari skandal ini bisa disiratkan betapa di Indonesia beras memang komoditas yang menangguk untung besar bagi produsen bahan pangan. Terlebih dalam survei Statista pada 2016/2017, Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai negara konsumen beras terbesar setelah India dan Tiongkok. Survei ini kian mengukuhkan kebiasaan konsumsi masyarakat Indonesia, bahwa belum dianggap makan jika belum makan nasi. Nasi di sini tentu yang bersumber pada beras.

Pemerintah memang punya program ketahanan dan kedaulatan pangan. Tapi, nyatanya ketahanan dan kedaulatan itu semata hanya berorientasi pada beras. Padahal sumber-sumber karbohidrat lainnya seperti sagu, jagung, singkong, ubi, ganyong, dan garut/ararut bisa menjadi alternatif nasi selain beras.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Diversifikasi Pangan

Sejak masa awal kemerdekaan, Sukarno sebenarnya sudah memasalahkan pangan yang terpusat pada beras. Ketika mulai menjabat sebagai presiden, ia pun begitu rewel mewanti-wanti soal keamanan, ketahanan, dan peragaman pangan.

Dalam pidato kepresidenannya bertajuk Tahun Vivere Pericoloso pada peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia 1964, ia bersaran: "Kepada yang biasa makan nasi 2-3 kali sehari saja serukan: Ubahlah menumu, tjampurlah dengan djagung, ketela-rambat, singkong, ubi, dan lain-lain. Hanja ini jang kuminta –mengubah menu, jang tidak akan merusak kesehatanmu."

Sukarno paham benar bahwa tolok ukur dan urat nadi majunya sebuah bangsa ditentukan bukan dari sekedar terpenuhinya pangan secara kuantitas. Tapi yang mesti diperhatikan adalah kualitas gizinya. Untuk mencapai hal itu, maka pada 1950 didirikan Lembaga Makanan Rakjat (LMR) yang dipimpin oleh seorang ahli gizi, Dr. Poorwo Soedarmo.

Sepanjang 1950-an, para ahli pangan serta ahli gizi mencoba untuk membuat rumusan ideal dalam mengurus secara integral perbaikan pangan, menu makan, hingga kesehatan sebagai bagian dari identitas nasional. Pada saat itu juga dicanangkan konsep populer bernama "Empat Sehat Lima Sempurna".

Salah satu yang dipropagandakan dari konsep itu adalah anjuran agar orang Indonesia dalam satu hari atau setiap hari tidak monoton mengonsumsi makanan pokok, dalam hal ini nasi dari bahan beras saja. Variasi jenis nasi menurut konsep itu sebenarnya bisa diperoleh dari bahan umbi-umbian, jagung, dan ketela.

Saat itu, koordinasi antarlembaga (pemerintah pusat dan daerah dengan Departemen Pertanian dan Departemen Kesehatan) dijalin sinergis. Ini penting dilakukan, terutama untuk provinsi-provinsi di luar Jawa dan Sumatra yang sumber pangannya lebih banyak pada bahan makanan non-beras. Meragamkan pangan untuk dijadikan sebagai standar pangan nasional sebagaimana dimaksudkan Sukarno bukanlah sekedar urusan perut.

Lebih dari sekedar perut, diungkapkan oleh Mentri Koordinator Pertanian dan Agraria (1963–1966), Sadjarwo, juga untuk "menambah rasa menghargai antardaerah dan rasa persatuan antarbangsa". Misalnya, sagu yang biasa dikonsumsi orang-orang di Ambon bisa dibudidayakan dan dibiasakan dikonsumsi di Jawa. Atau, ubi yang jadi bahan makanan pokok di Papua, bisa dibudidayakan dan dibiasakan dikonsumsi di Sumatra.

Artinya, setiap wilayah di Indonesia tetap memiliki sumber daya pangannya masing-masing. Dan, dengan strategi dan rekayasa pangan, bahan-bahan non-beras bisa dibudidayakan dan dikonsumsi pula di wilayah produksi beras. Bukan justru sebaliknya, bahan-bahan non-beras terpinggirkan ketika budidaya padi dikembangkan secara ekspansif ke provinsi-provinsi di luar Jawa dan Sumatra.

Perkembangan pangan Indonesia di bawah rezim Soeharto yang mengusung program swasembada beras telah memundurkan program keragaman pangan yang ditata sebelumnya pada masa Sukarno. Jadi, jangan heran jika kasus-kasus kelaparan seperti pernah terjadi di kawasan timur Indonesia bisa terjadi, karena ketergantungan pada beras di sana sudah begitu mengkhawatirkan. Dan, secara perlahan, memori kolektif masyarakat terhadap sumber daya pangan lokalnya menjadi terkikis.

Refleksi Sejarah

Hal-hal di atas sedianya dipikirkan secara matang dan sinergis oleh lembaga-lembaga yang berkepentingan terhadap pangan. Terlebih kini, rata-rata alih fungsi lahan dari pertanian ke non-pertanian secara nasional per tahunnya mencapai 100 ribu hektar.

Artinya, jika rata-rata hasil panen di Jawa mencapai 6 ton/ha, maka kehilangan produksi pangan, utamanya beras, berpotensi mencapai 600 ribu ton per tahunnya. Akhirnya, demi menutupi defisit pangan itu, bukan hanya beras yang terpaksa diimpor, tapi juga kedelai, jagung, kentang, singkong dan lain-lain. Menjadi lucu jika untuk menerapkan diversifikasi pangan saja kita harus mengimpor semua bahan makanan itu.

Pemerintahan sekarang jelas mesti melihat kekinian dan keakanan nasib pangan nasional dengan merefleksikan pemikiran di balik kebijakan pangan masa lalu yang kini banyak terlupakan. Tidak cukup hanya menyelami hitung-hitungan angka statistik atau menampilkan citra sukses swasembada beras. Jangan biarkan negara ini terjerembab pada sifat-sifat "rezim perberasan" seperti halnya rezim terdahulu.

Fadly Rahman sejarawan, penulis buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (2016)

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads