Sulit untuk tidak menyebut bahwa pertemuan ini adalah sebuah bentuk manuver politik. Media dan pengamat melihatnya dalam konteks manuver terkait batasan tadi, serta usaha untuk menggalang kekuatan menjelang pemilihan presiden tahun 2019 nanti. Bagi masyarakat umum pemilihan presiden masih dua tahun lagi. Tapi bagi politikus, pemilihan presiden tinggal 2 tahun lagi.
Prabowo sepertinya masih ingin maju bertarung dalam pemilihan presiden itu. Sementara SBY, meski tidak ingin maju bertarung, sepertinya ingin ikut ambil bagian dalam bentuk lain. Format yang paling mudah diterka adalah mencalonkan anak sulungnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak berlebihan bila kita katakan bahwa dunia politik Indonesia masih dikuasai oleh politikus gaek. Selain SBY dan Prabowo, masih ada Megawati, Wiranto, dan Surya Paloh yang memimpin partai. Mereka semua adalah politikus sejak zaman Orde Baru, dan belum kunjung menyingkir dari kancah politik. Mereka semua pernah mencoba menjual diri sebagai calon presiden, kecuali Surya Paloh. Semua gagal, kecuali SBY yang menjabat 2 kali. Adapun Megawati, terpilih sebagai presiden sebelum era pemilihan langsung. Dengan kata lain, mereka semua seharusnya sudah selesai dengan ambisi politik.
Prabowo misalnya, sudah mencoba menjadi calon presiden sejak 2004. Ketika itu ia ikut konvensi Partai Golkar, dan dikalahkan Wiranto. Sejak itu ia selalu bertarung, baik sebagai calon presiden maupun wakilnya. Puncaknya adalah tahun 2014, ketika ia bertarung melawan Joko Widodo, dan kalah. Megawati juga terus bertarung, sampai akhirnya ia menyerah, tidak ikut lagi di tahun 2014. Wiranto masih terus mencoba, tapi juga tak kunjung berhasil.
Singkat kata, mereka sudah mencoba memoles diri dengan berbagai cara, hasilnya: rakyat tidak berkenan. Sudahlah. Wiranto, Megawati dan Prabowo seharusnya mencontoh Hillary Clinton yang kini menyibukkan diri dengan kegiatan sosial dan menulis buku. SBY seharusnya meniru Obama yang asyik menikmati masa pensiun mereka dengan berlibur.
Politik Indonesia masih didominasi oleh orang-orang tua yang belum kunjung legowo untuk menikmati hari tua mereka dengan momong cucu. Orang-orang muda yang ingin tampil berhadapan dengan tembok tinggi yang sulit untuk dilompati. Ada orang seperti Joko Widodo yang akhirnya sanggup melompati tembok tinggi itu. Tapi jumlahnya sangat sedikit. Yang kalah lalu tersingkir jauh lebih banyak.
Ini memang bukan melulu salah orang-orang tua itu. Tidak sedikit politikus muda yang memilih bermain aman, dengan bernaung di ketiak para politikus tua, sekedar untuk mengamankan posisi sekarang. Mereka memilih menjadi bagian tembok tinggi tadi, ketimbang sebagai elemen yang meruntuhkannya.
Orang-orang muda membuat batas-batas virtual yang tak berani mereka tembus. Mereka seharusnya lebih berenergi, tapi kenyataannya tidak berani mengeluarkan energi muda itu. Memang tidak mudah untuk merobohkan tembok itu. Tapi bagi yang mau, sebenarnya itu bukan hal yang mustahil.
Pola yang dimainkan oleh Joko Widodo itu sebenarnya sebuah contoh yang menarik. Ia bukan petinggi partai. Namun ia sanggup meraih posisi nomor satu. Lebih hebat lagi, ia tidak menceburkan diri merebut kendali partai. Ia memilih untuk bermain politik di luar partai, menggalang kekuatan antarpartai, ketimbang bergantung pada partai yang menopangnya sejak awal.
Pola yang dimainkan Joko Widodo bisa saja menjadi tren di masa depan, di tangan politikus lain seperti Ridwan Kamil, Dedi Mulyadi, Risma, Abdullah Azwar Anas, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan lain-lain. Mereka dituntut untuk bekerja dengan sangat serius dengan amanah masing-masing, sampai mendapat dukungan kuat dari rakyat secara langsung. Dengan demikian partai tidak bisa lagi menyandera mereka.
Tren itu akan mengalami percepatan bila para politikus tadi tahu diri, dan mengendurkan cengkraman mereka pada dunia politik Indonesia.
Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia (mmu/mmu)











































