Jakarta - Ini pengalaman sehari-hari pedagang yang terlibat tender atau jual beli barang di instansi negara: memberikan uang terima kasih kepada pejabat atau PNS yang menjadi panitia tender atau bagian pengadaan barang. Sangat biasa, sehingga kalau ada pejabat atau PNS yang menolak, justru mereka bertanya-tanya: jangan-jangan uang ditolak sebab kurang besar.Oleh karena itu, ketika Kepala Biro Keuangan KPU mengaku, menerima dan mengelola dana dari rekanan KPU sebesar Rp 20 miliar, pedagang yang sering berhubungan dengan instansi negara, sama sekali tidak heran. Ya, karena uang yang dibelanjakan KPU untuk kebutuhan logistik pemilu juga besar, Rp 3,6 triliun.Malahan, kata pedagang tersebut, yang diaku oleh Kepala Biro Keuangan KPU itu terlalu sedikit. Hitung saja, jika semua pemenang tender atau penjual barang menyetor sebesar 10 persen, maka pundi-pundi KPU akan berisi Rp 360 miliar. Jadi, setoran 'resmi' ke kas KPU yang diumumkan itu terlalu kecil. Yang 'tidak resmi', yaitu yang masuk ke kantong masing-masing pejabat dan panitia tender atau PNS bagian pengadaan barang, jumlahnya lebih besar. Bisa berlipat-lipat, sebab setoran itu bisa mencapai 30 sampai 40 persen. Lantas pedagang dapat keuntungan apa, kalau belum apa-apa dana pengadaan barang sudah dipotong setoran ke panitia tender atau panitai pengadaan barang? Namanya juga pedagang, jelas tak mau rugi. Ada dua cara untuk menghindari kerugian sekaligus mendapatkan keuntungan. Pertama,
mark-up atas harga-harga barang yang dijualbelikan. Di sini, pedagang maupun panitia pengadaan barang sama-sama tahu berapa nilai
mark-up yang kemudian akan dibagi-bagi. Bagaimana dengan ketentuan bahwa pembelian barang oleh instansi negara dalam skala tertentu, harus dilakukan lewat tender? Gampang saja, peserta tender dibatasi, lalu 'diatur' supaya harga tawarannya juga di-
mark-up. Agar nantinya tak ada yang beryanyi, maka semua peserta tender dipastikan dapat jatah dari harga
mark-up tadi. Meski prosedur administrasi keuangan pemerintahan susah menjangkau praktek tersebut, banyak pejabat dan pedagang tetap rakus. Mereka merasa tak cukup dengan uang
mark-up. Harga ditekan, sehingga barang yang dibeli tidak sesuai dengan spesifikasi. Kalau ada gedung SD yang baru saja dibangun, lalu amburuk, ya karena praktek macam ini.Bukankah tender barang-barang pemilu di KPU sangat terbuka? Apakah masih ada peluang untuk main
mark-up? Bagaimana kalau peserta (terutama yang kalah) buka suara bila ada yang tak beres dalam proses tender? Pengusaha tadi mengaku, di sini main
mark-up memang sulit. Peluangnya sangat kecil, sehingga kalau tidak hati-hati bisa jadi berabe. Namun bagi pantia tender dan pedagang, tetap saja ada yang bisa dimainkan. Sebab, pembelian barang dengan partai besar selalu mendapat potongan harga atau diskon. Nah, potongan harga atau diskon itu yang bisa diutak-atik. Spesifikasi barang tak berubah, harga juga bisa diteken, tapi pantia tender tetap bisa bilang, "Siapa di antara peserta bisa memberikan uang diskon yang lebih besar, dialah yang menang." Ya, sebab, soal diskon ini tak banyak diatur dalam administrasi keuangan kita.
(/)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini