Mengapa Ambang Batas Calon Presiden 2019 Bermasalah?
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Mengapa Ambang Batas Calon Presiden 2019 Bermasalah?

Rabu, 26 Jul 2017 15:08 WIB
Denny JA
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Suasana Sidang Paripurna Pengesahan UU Pemilu 2019 (Foto: Lamhot Aritonang)
Jakarta - Jika menggunakan perspektif demokrasi, UU Pemilu yang baru saja disahkan DPR memiliki cacat fundamental. UU ini mengesahkan pemilu serentak bagi presiden dan DPR. UU ini juga menggunakan perolehan suara partai di Pemilu 2014 sebagai basis untuk ambang batas capres 2019.

Memang dalam praktik sistem demokrasi ada banyak nuansa, seperti sistem parlementer atau presidential. Kedua nuansa itu sama sahnya. Namun semua nuansa itu tetap tidak melanggar nilai utama yang justru membuat sistem demokrasi itu berharga.

UU Pemilu yang baru disahkan DPR pada 2017 cacat untuk tiga nilai utama demokrasi. Pangkal utama cacat dari undang-undang itu adalah memaksakan hasil Pemilu 2014 digunakan sebagai ambang batas untuk calon presiden pada pemilu berikutnya di 2019.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tiga hal ini menyebabkan UU Pemilu 2019 itu cacat. Pertama, dilanggarnya prinsip kesamaan hak dan posisi hukum partai politik.

UU yang sama memberikan ruang bagi hadirnya partai baru, yang untuk pertama kali akan ikut pemilu pada 2019. Namun partai baru itu tak diberikan hak yang sama untuk menentukan calon presiden. Basis dukungan yang dihitung untuk presidential threshold Pemilu 2019 hanya milik partai lama, yang ikut pemilu pada 2014 saja.

UU itu melahirkan dua kasta partai politik. Partai lama yang punya basis untuk menentukan capres, dan partai baru yang hanya menjadi penonton saja, tak punya basis penentu, karena tak ada suaranya pada Pemilu 2014.

Sistem demokrasi tak bisa dibangun tanpa didasari hak yang sama pada peserta pemilu. Bahwa kemudian hasil akhir hak yang sama itu tetap menghasilkan perbedaan besar dan kecil dukungan, itu adalah pilihan warga negara.

Sistem demokrasi memang hanya memberikan equal opportunity, bukan equal result. UU 2017 itu bermasalah karena melanggar prinsip dasar equal opportunity bagi partai baru.

Dalam praktik politik, kita bahkan menyaksikan betapa partai baru sekalipun bisa menjadi partai terbesar hasil pemilu. Partai Kadima di Israel misalnya, baru didirikan pada 2005. Tapi pada pemilu 2006, ia langsung menjadi partai terbesar.

Kedua, UU itu meniadakan hak warga untuk tak setuju pilihannya pada partai di satu pemilu digunakan untuk basis kekuatan partai itu pada pemilu berikutnya. Situasi politik dan ekonomi, serta kesadaran warga sudah sangat mungkin berbeda.

Setiap warga sangat mungkin mengidolakan partai tertentu dan tokoh tertentu di satu pemilu. Namun pada pemilu berikutnya, partai dan tokoh itu bisa pula berubah justru menjadi musuh utamanya.

Itu sebabnya, mengapa dukungan terhadap suatu partai itu berubah pada setiap pemilu. Bahkan PDIP pada 1999 mendapatkan dukungan di atas 33 persen. Tapi pada pemilu berikutnya (2004) tersisa hanya hampir separuhnya saja, di bawah 19 persen.

UU Pemilu ini mengambil alih begitu saia pilihan warga pada Pemilu 2014, untuk dijadikan basis menentukan siapa yang bisa lolos menjadi capres pada Pemilu 2019. Padahal kondisi sudah sama sekali berubah.

Katakanlah Si Budi memilih Partai A karena ia mendukung capres Partai A, yaitu C pada 2014. Tapi 5 tahun kemudian, Budi kecewa pada C dan menjadikan C musuh politiknya. Sedangkan Partai A pada 2019 tetap mencalonkan Capres C. Dukungan Budi pada partai A pada 2014 dipakai Partai A secara otomatis saja di 2019 untuk mendukung C. Padahal di 2019, Budi justru menggugat C.

Inilah kekacauan mekanisme yang mengambil alih hasil Pemilu 2014 untuk digunakan pada Pemilu 2019. Realitas sikap politik warga yang berubah itu diabaikan. Pengabaian sikap warga itu cacat mendasar untuk demokrasi.

Ketiga, ambang batas 20-25 persen syarat pengajuan capres 2019 mengacaukan pula desain kelembagaan demokratis yang ingin diterapkan di Indonesia. Tetap dipaksakannya presidential threshold bagi pemilu serentak bahkan diwacanakan untuk memperkuat sistem presidentialisme.

Kenyataannya, ambang batas capres itu justru memperlemah sistem presidential murni. Ia mencampurkan dua desain kelembagaan, membuat capres bergantung pada koalisi parlemen. Basis pencalonan capres posisinya dibuat oleh UU ini bergantung pada kekuatan partai (ambang batas) di parlemen.

Tentu hibrida sistem dan desain kelembagaan demokrasi selalu dimungkinkan. Tapi, harus disadari oleh pembuat UU bahwa presidential threshold itu memperlemah, bukan memperkuat sistem presidentialisme.

Koalisi pengusung capres pun tak akan sama dengan koalisi pendukung pemerintahan. Partai bisa mengubah posisi politiknya mendukung atau beroposisi atas pemerintahan setiap saat.

Realitas terbalik ini (bukan memperkuat tapi memperlemah presidensialisme) agaknya justru tak disadari oleh pembuat UU dalam wacana publiknya.

***

Dari kaca mata konsolidasi demokrasi dan evolusi kualitas demokrasi, UU Pemilu 2019 itu merupakan kemunduran. Terasa tak kuatnya arah politik pembuat UU itu soal institutional design yang dituju.

Itu tergambar dari pilihan desainnya. Di satu sisi ingin pemilu serentak presiden dan DPR. Di sisi lain, menggunakan hasil pemilu sebelumnya sebagai basis perhitungan. Ia bukan saja kontradiktif tapi melanggar beberapa prinsip utama demokrasi.

Namun tentu saja kata akhir ada pada Judicial Review MK nanti atas UU ini. Apapun keputusan MK, kita tunduk sebagai konsekuensi prosedur yang sudah disepakati bersama.

Sebut saja ini toleransi yang harus dikembangkan warga yang baik. Kita harus tunduk pada aturan hukum. Namun harus tetap disuarakan. Jika memang demokrasi yang dituju, UU Pemilu 2019 ini banyak melanggarnya.

Denny JA Direktur Lingkaran Survei Indonesia (LSI)

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads