Konflik Al Aqsa dan Geopolitik Teluk
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Konflik Al Aqsa dan Geopolitik Teluk

Senin, 24 Jul 2017 16:00 WIB
Ribut Lupiyanto
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ribut Lupiyanto (Ilustrasi: Kiagoos Auliansyah/detikcom)
Jakarta - Kondisi buruk kembali menyelimuti konflik Israel-Palestina. Israel resmi menutup Masjid Al-Aqsa bagi muslim. Kondisi ini adalah paling buruk sejak puluhan tahun terakhir, dimana terakhir kali Israel menutup masjid ini pada 1967. Langkah Israel menimbulkan kemarahan muslim sedunia.

Sayangnya negara-negara Islam juga sedang dalam kondisi kurang solid. Negara-negara Kawasan Teluk bahkan saling terlibat dalam konflik diplomatik. Hal ini tentu mengurangi tekanan geopolitik internasional terhadap Israel.

Belum lama ini tujuh negara, yaitu Arab Saudi, Mesir, Bahrain, Uni Emirat Arab, Libya, Yaman, dan Maladewa secara sepihak dan dalam waktu singkat memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Alasan formalitasnya adalah tuduhan bahwa Qatar mendukung milisi teroris, termasuk Ikhwanul Muslimin, ISIS, Houthi, dan Al-Qaeda. Sebelumnya ketegangan terjadi sejak Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamid al-Thani disebut meminta negara-negara Teluk bekerja sama dengan Iran. Meskipun pernyataan tersebut disangkal Qatar sebagai hoax akibat kantor berita mereka diretas. Kejadian ini ditengarai sarat akan kepentingan geopolitik regional Teluk, bahkan geopolitik global.

Dinamika Konflik

Sejak awal Qatar telah menyatakan diri sebagai korban kebohongan yang terencana. Keputusan pemutusan diplomatik disebutkan tidak dapat dibenarkan dan tanpa dasar. Pemutusan menyebabkan Qatar diisolasi oleh negara-negara tetangganya.

Kejadian sekarang sebenarnya merupakan puncak gunung es ketidakharmonisan geopolitik Kawasan Teluk. Saudi, Bahrain dan UEA pernah menarik duta besar dari Qatar selama beberapa bulan pada 2014. Hal ini sebagai protes atas Qatar yang dituding terlalu mengintervensi masalah negara-negara tersebut.

Aroma konspirasi geopolitik mencuat dalam kejadian ini. Alasan pemutusan sekarang kemungkinan besar hanyalah alibi atas berbagai faktor. Potensi faktor yang melatarbelakangi antara lain kecemburuan ekonomi dan lobi intervensi AS.

Qatar akhir-akhir ini sedang gencar meningkatkan pengaruhnya di luar. Negeri kecil ini masih menjadi yang termiskin di Timur Tengah hingga 1973. Qatar muncul sebagai negara dengan pendapatan per kapita terkaya di dunia pasca peningkatan drastis produksi dan harga minyak. Hal ini tentu mengusik eksistensi negara-negara tetangganya yang sebelumnya unggul.

Qatar juga memiliki riwayat harmonis dengan Turki. Selama ini Turki menjadi momok di Eropa dan menghalangi Israel. Israel atas lobi Yahudi internasional dimungkinkan berperan memainkan peran di bawah tanah.

Belakangan Qatar juga membuka kran komunikasi dengan Iran, yang merupakan seteru AS dan Israel. Tidak heran jika AS langsung menyatakan mendukung langkah pemutusan hubungan diplomatik terhadap Qatar ini. Pemutusan ini bahkan terjadi setelah kunjungan Trump ke Arab Saudi.

Dinamika geopolitik diprediksi akan semakin menghangat. Hal ini ditandai oleh rencana Turki segera membuka pangkalan militer Turki di Qatar dan menggelar latihan militer bersama serta kemungkinan pengiriman tentara Turki ke negeri tersebut.

Negera-negara Teluk sempat mengajukan 13 persyaratan guna membuka blokade diplomatik kepada Qatar. Namun Qatar menolak sepenuhnya. Mediasi selama ini diperankan oleh Kuwait dan Amerika Serikat.

Resolusi Geopolitik

Banyak pihak memprediksi pemutusan diplomatik ini tidak akan berkepanjangan. Negara-negara terlibat tidak memiliki riwayat konflik panjang hingga bersenjata. Belakangan hampir semua negara ini pragmatis saja dalam politik internasionalnya.

Pemutusan hanya menjadi strategi politik menekan Qatar agar mengikuti langkah politik mayoritas negara Kawasan Teluk. Faktor yang menentukan adalah sejauh mana Qatar mampu bertahan dan keikutsertaan negara-negara non Teluk.

Bagaimanapun isolasi merugikan Qatar, negara Teluk, hingga internasional. Penduduk Qatar mulai panik dengan memborong bahan pangan. Sektor pangan memang diprediksi paling cepat terasa terguncang. Saham-saham di Qatar juga mulai merosot. Nasib sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 pun terancam. Sebaliknya, negara Teluk lain juga memiliki ketergantungan tertentu dengan Qatar.

Qatar dapat menemukan alternatif pemecahan dengan membuka poros geopolitk baru dengan Turki, Iran, Cina, Rusia, dan lainnya. Namun demikian jalan resolusi tetap penting menjadi pilihan yaitu melalui meja perundingan.

Negara lain yang dapat diterima kedua pihak penting maju menginisiasi dan memfasilitasi dialog. Badan resmi dapat menjadi medianya seperti PBB atau OKI. Indonesia sebagai negara muslim terbesar berpotensi memainkan peran sentral.

Indonesia tentu akan mengalami dilema besar karena berhubungan baik dengan semua negara terlibat konflik. Netralitas berbasis politik luar negeri bebas aktif penting ditunjukkan secara konsisten.

Semua negara terlibat konflik diplomatik adalah negara Islam atau berwarga mayoritas muslim. Kesamaan ini dapat menjadi spirit menemukan resolusi bersama. Lobi-lobi diplomatik kepada semua pihak mesti segera dijalankan. Prioritas pertama adalah membuka isolasi di lapangan baru setelahnya membuka kembali hubungan diplomatik. Solusi yang diterima kedua pihak penting segera dikaji dan diidentifikasi.

Apresiasi layak diberikan kepada MUI yang cepat merespons konflik diplomatik Qatar. Indonesia penting segara aktif mencari resolusi perdamaian Teluk. Selama ini Turki dianggap terlalu dekat kepada pihak Qatar. Untuk itu penting disepakati pihak ketiga yang diterima kedua pihak, misalnya sementara ini adalah Kuwait. Langkah Kuwait masih buntu dan perlu dicari penyegaran negara lain. Indonesia dapat menawarkan diri sebagai fasilitator dan mediator perundingan.

Ribut Lupiyanto Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration)
(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads