Menyikapi Kerusuhan di Al-Aqsa
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Menyikapi Kerusuhan di Al-Aqsa

Senin, 24 Jul 2017 14:46 WIB
Moddie Alvianto Wicaksono
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Warga Palestina memprotes Israel di luar al Aqsa (Foto: REUTERS/Ronen Zvulun)
Jakarta - Konflik Israel dan Palestina kembali pecah. Konflik tersebut terjadi di tempat yang disucikan oleh umat Islam: Al-Aqsa. Peristiwa tersebut bermula ketika tiga orang yang diklaim orang Palestina menembak mati dua polisi Israel. Kemudian tiga orang tersebut ditembak mati pula oleh tentara Israel saat terjadi baku tembak di antara mereka.

Peristiwa yang terjadi pada 14 Juli 2017 itu memantik emosi dari para tentara hingga masyarakat Israel. Mereka mengutuk penembakan yang dilakukan orang-orang Palestina kepada pihak yang berwajib. Pemerintah Israel menanggapi kejadian tersebut dengan cukup agresif. Mereka menutup akses al-Aqsa yang biasa digunakan umat muslim untuk beribadah. Itu pun dilakukan ketika Hari Jumat sehingga umat muslim tidak bisa melakukan ibadah Salat Jumat di al-Aqsa.

Dunia internasional mengecam. Reaksi yang dilakukan oleh pemerintah Israel dapat dikatakan tergesa-gesa dan kurang tepat. Tindakan pemerintah Israel cukup aneh bila mempertimbangkan umat muslim yang memiliki kewajiban melakukan kebebasan beribadah di tempat tersebut. Peristiwa tersebut adalah yang pertama kali sejak 1969, atau dua tahun setelah pecahnya perang Arab-Israel.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kecaman tersebut membuat pemerintah Israel sedikit luluh. Akses al-Aqsa dibuka kembali namun tetap pemerintah Israel menerapkan aturan yang lebih ketat. Para tentara Israel disuruh oleh pemerintahnya memasang metal detektor dan CCTV di pintu gerbang Haram Al-Sharif. Mereka pun tak main-main bahkan menyediakan tentara berjumlah 3000 orang. Alasannya demi menjaganya agar tidak terjadi kerusuhan kembali. Namun justru tindakan itu memantik reaksi amat keras dari orang-orang Palestina bahkan hingga negara-negara seperti Turki, Jordania, Arab Saudi dan Indonesia.

Dengan alasan apapun seharusnya tentara Israel tidak boleh melakukan tindakan gegabah. Tindakan Israel memicu demonstrasi yang dilakukan rakyat Palestina. Mereka mengecam, mengutuk, dan mengharapkan bantuan internasional agar Israel diberi sanksi yang layak. Jordania sebagai pemegang kekuasaan sah dari al-Aqsa diharapkan memberikan tekanan agresif supaya Israel menghentikan tindakan tersebut.

Namun, Israel tetap bergeming. Ia justru menghalau dan mengusir para demonstran. Lebih parah lagi, terjadi penembakan kepada imam besar Palestina Sheikh Ikrima Sabri sesaat setelah beliau selesai menunaikan Salat Isya di al-Aqsa. Israel juga membubarkan paksa jamaah yang berada di al-Aqsa hingga akhirnya menimbulkan korban luka-luka berjumlah 50 orang.

Tak ada yang memastikan konflik kedua kubu tersebut akan berakhir. Sejak berakhirnya perang 6 hari pada 1967 hingga kini selalu ada konflik-konflik horizontal melalui berbagai macam cara. Ada perkelahian, penembakan, hingga bom bunuh diri. Bahkan sejak Oktober 2015, AFP mencatat lebih dari 300 orang Palestina, 41 warga Israel, masing-masing 2 warga AS dan Yordania, sisanya masing-masing 1 warga Inggris dan Eritrea yang tewas akibat konflik Palestina-Israel.

Konflik Palestina-Israel tak sekedar gesekan antaragama melainkan ada interaksi sosial, kepentingan ekonomi dan kepentingan politik yang saling berkelindan. Ada banyak permasalahan yang tak bisa dihentikan hanya dalam hitungan tahun. Rekonsiliasi, perjanjian berulang, menerbitkan surat perintah hingga menerjunkan bantuan asing tak cukup juga menyelesaikan konflik Israel-Palestina.

Namun sejak Netanyahu memimpin Israel, situasi pertikaian antarkedua kubu lebih menyeruak. Dalam berbagai keputusan, bisa dikatakan bahwa ia sangat antipati terhadap Palestina. Penolakan untuk pengakuan negara Palestina, penolakan permintaan maaf atas perlakuan tentara Israel kepada rakyat Palestina hingga rencana kontroversial yang untungnya sampai saat ini belum terjadi: memindahkan ibukota Israel dari Tel Aviv ke Jerusalem.

Netanyahu pula yang menyuruh para tentaranya untuk memblokade Masjidil Aqsa. Seperti sekutunya yaitu Donald Trump, ia membentengi dirinya dengan alasan satu hal: demi kepentingan nasional. Kepentingan yang sepertinya hendak mengangkat derajat Israel dan menurunkan harkat martabat Palestina.

Kondisi seperti ini tak bisa dibiarkan larut. Ingatan akan peristiwa masa lalu pada 1967 bisa saja terulang kembali. Kedua kubu juga sulit untuk menempuh perdamaian lewat jalur diplomasi. Bagi mereka, sesuatu yang pasti menjadi damai hanya lewat jalur militer. Netanyahu tidak akan mencabut peraturan logam detektor karena menyangkut kepentingan nasional. Begitu pula dengan Abbas selaku presiden Palestina yang telah menghentikan segala bentuk komunikasi dengan Israel.

Indonesia sebagai negara yang memiliki sikap politik luar negeri bebas aktif seharusnya memberikan saran yang membangun bagi Palestina dan Israel. Apalagi Indonesia dikenal oleh dunia internasional sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim. Presiden Jokowi denga cepat melakukan langkah yang tepat yaitu memaksa Dewan Keamanan (DK) PBB untuk memberikan sanksi yang tegas terutama kepada Israel.

Namun, harus diingat di dalam DK PBB terdapat Amerika Serikat yang memiliki hak veto dalam pengambilan keputusan. Bukan tidak mungkin, segala keputusan yang berkaitan dengan peristiwa ini akan bergantung pada AS. Jika AS tetap menggunakan hak veto, Israel tidak mungkin akan diberikan sanksi, melainkan hanya peringatan. Karena perlu diketahui bahwa AS tidak mau bahkan tidak tega kehilangan sekutu dekatnya yaitu Israel.

Maka langkah yang bijak bukan menaruh harapan kepada AS ataupun negara Barat untuk mendamaikan keduanya tetapi seluruh negara Timur Tengah harus duduk bersama dalam menyelesaikan konflik. Dialog yang saling menguntungkan lebih dibutuhkan daripada harus berjuang melalui jalur militer. Karena al-Aqsa bukan hanya milik umat muslim tapi tempat manusia mengadu kepada Sang Pencipta.

Moddie Alvianto Wicaksono Pegiat Gerakan Sadar Politik Internasional Yogyakarta

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads