Pertama, Ratu Atut terbukti melakukan tindak pidana korupsi proses pengadaan alat kesehatan di Provinsi Banten yang merugikan negara sebesar 79 Miliar. Ya, angka itu jika dikonversi untuk membeli es cendol yang dapat melegakan haus dahaga fakir miskin di siang terik adalah setara dengan 15.800.000 cangkir.
Kedua, tentu saya masih ingat wajah adik Sang Ratu, Tubagus Chaeri Wardana. Sekitar tiga tahun lalu, ketika ditangkap tangan oleh KPK sebagai tersangka pencucian uang, jumlah aset yang dijejer di dalam rumah mewahnya adalah berupa 52 mobil, 6 truk Hino dan 1 motor Harley Davidson. Di antara 52 mobil itu adalah 12 mobil baru, mulai dari merek Ferrari, Lamborghini, Bentley dan Roll Royce.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dan, ketiga, tentu saya masih mengingat cerita seorang houseman yang bekerja pada sebuah hotel bintang lima di Jakarta. Alkisah, si houseman sedang kebagian jatah bersih-bersih kamar yang disewa oleh beberapa pejabat. Saat si houseman masih di dalam kamar, geng pejabat itu tertawa-tawa jahat sambil berujar, "Yang penting kita dulu sejahtera, rakyat belakangan. Hahahaha."
Si houseman yang entah kenapa sedang rapuh hatinya hari itu spontan menangis ketika keluar kamar. Celakanya, kisah itu disambung oleh bagian Front Office. Ketika mengurus pembayaran keesokan harinya, eh, mereka saling tunjuk, Bung! Nggak ada yang mau dulu-duluan bayar alias lepas tangan! Payah kalilah abang-abang pejabat kita itu.
Belum lagi kasus e-KTP yang maha naudzubillah ini. Dampak secara langsung, masyarakat dirugikan karena nggak bisa punya KTP. Penggantinya hanya secarik surat keterangan yang hanya berfungsi selama enam bulan. Kertas itu harus terus diperpanjang sampai situasi per-KTP-an ini normal kembali, sedangkan bahan dasar e-KTP jelas-jelas sudah tidak ada. Penduduk yang butuh nikah, hendak pergi ke luar negeri, atau mengurus surat-surat penting lainnya terhambat. Biaya sosial kita bertambah, sebab akhirnya hanya kerepotan mengurus surat keterangan.
Kerugian negara 2,3 T dari kasus e-KTP ini cukup untuk beasiswa BOS Sekolah Dasar kepada 23 juta anak Indonesia. Untuk rumah sederhana DP 0%, bisa membantu 23.000 anak muda milenial yang kesusahan punya tempat tinggal. Untuk beli komputer desktop yang murah, bisa dapat 460.000 unit komputer (Duh Gusti, harusnya sekolah-sekolah di luar Jawa bisa maju!). Dan, jangan tanya dapat berapa gelas es cendol lagi, kali ini saya nggak tega ngitungnya.
Dalam situasi semengenaskan ini, kok bisa-bisanya DPR masih punya hati untuk mengajukan hak angket sebab KPK menolak membuka rekaman Miryam dalam penyidikan? Sudah benar jika kemudian Bambang Widjojanto mengajukan dua pertanyaan ketika Setya Novanto ditetapkan menjadi tersangka. Yakni, apakah parlemen masih tetap merasa terhormat dan dimuliakan kendati dipimpin oleh tersangka? Dan, "Apakah lebih dari 500 anggota parlemen yang terhormat masih tetap ikhlas walau dipimpin oleh salah satu pimpinan yang sudah dipecat partainya dan tidak punya dasar legitimasi untuk jadi pimpinan dewan?"
Masalahnya, bertanya motif korupsi kepada koruptor ini jawabannya seringkali ngenes, alias tidak mampu dipahami oleh masyarakat kelas bawah yang tagihan listrik naik puluhan ribu saja terasa nggrantes-nya. Dalam peta sindikat maniak korupsi, urusan nilai, moral, bahkan kemaluan, sudah hilang dalam kamus perbincangan dan pertimbangan. Korupsi bukan perkara takut atau tidak takut.
Korupsi adalah persoalan power alias pengakuan kekuasaan. Analogi kasus yang telah lalu, misalnya. Perkaranya adalah seorang tokoh muda yang ingin menjadi ketua umum sebuah partai besar tetapi bersaing dengan anak kesayangan pemilik partai. Si tokoh ini sadar harus membeli suara sebagai kompensasi. Kita hitung kasar saja jika satu suara dewan perwakilan cabang dihargai Rp 100 juta. Sedangkan, cabang partai itu ada 500-an biji di Indonesia. Jika ingin memenangkan voting, setidaknya ia harus mengantongi lebih dari 250 suara cabang. Katakan ia mendapat 260, dan mari kita kalikan, totalnya adalah Rp 26 M.
Yang lebih tak masuk logika sesungguhnya ya kasus e-KTP ini. Masing-masing nama yang terduga menerima jatah itu hanya sebatas simbol keberadaan, sebab jika tidak menerima jatah, artinya mereka tidak dianggap ada dan dianggap tidak memiliki pengaruh. Proses penganggaran e-KTP yang dilakukan di badan penganggaran DPR, akhirnya melibatkan kongkalikong yang benar-benar songong bin bikin bengong.
Selain itu, kita sering merasa tertipu mentah-mentah oleh para koruptor. Kasus lain yang melibatkan seorang tokoh partai Islam yang lalu, faktanya ternyata tokoh tersebut tertangkap tangan di hotel bersama seorang perempuan berpakaian seksi. Seorang kawan muslimah yang mungkin saking alimnya dan mengaku nge-fans pada si ustaz, bahkan sampai muntah dan pingsan ketika menyimak fakta persidangan, dan hingga hari ini jadi fobia politik.
Lalu, apakah persoalan mendasar penyebab korupsi ini adalah ketamakan? Barangkali benar. Tamak, tidak terbiasa hidup sederhana. Dari sebuah cerita yang pernah saya dengar, untuk menghindari korupsi atau godaan selama menjadi Presiden, Gus Dur menutup semua akun rekening bank keluarga. Ia hanya menyisakan satu rekening saja sehingga semua transaksi terdeteksi. Kalau anaknya minta uang, mereka harus menunggu ada transaksi masuk. Kepala cabang bank yang bersangkutan harus bertanya dulu ke Gus Dur.
Pada sebuah forum kebudayaan, seorang panelis menyahut, "Makanya Gus Dur itu cepat dilengserkan. Orangnya nggak kooperatif!" Lalu, peserta lain pun terbahak.
Cerita kesederhanaan Gus Dur begitu banyak, dan sebagai pengagum, saya tentu bebas untuk percaya. Pembaca boleh mengambil teladan jika memang bermanfaat. Saya pun jadi teringat riwayat para kiai alim faqih seperti KH Maimoen Zubair, KH Sahal Mahfudh hingga KH Achmad Musthofa Bisri. Konon, beliau-beliau itu juga meramaikan gelanggang politik negeri ini.
KH Maimoen terkisah tidak pernah ambil gaji. Kini, saya pun tahu apa sebabnya. Barangkali KH Maimoen benar-benar ingin menjaga segala sesuatu yang masuk ke perutnya, dan juga biaya apa pun yang terkait dakwahnya. Sedangkan KH Sahal Mahfudh dan Gus Mus adalah tipe yang tidak kuat berlama-lama di panggung politik. Biarlah disangka medioker, mungkin seperti itu pikir beliau berdua.
KH Sahal larut dengan kajian-kajian PBNU pada bidang fikih sosial, sedangkan Gus Mus, tentu asik bikin puisi, melukis, dan berkeliling memberi ceramah untuk wong cilik. Para sesepuh itu merupakan teladan, yang semoga mampu dilihat oleh anak muda yang kini tengah merintis masa depan, baik sebagai cendekia maupun pejabat publik.
Begitulah. Beberapa tersangka proyek megakorupsi telah ditetapkan. Tetapi, tersangka penyerangan Pak Novel Baswedan belum berhasil tertangkap. Nalar dan kewarasan yang koyak oleh keculasan ini sesungguhnya juga sebagian dari iman, kita wajib membelanya dari penistaan para koruptor yang keji. Saya memilih untuk mengawal KPK. Saya memilih untuk mendukung KPK dengan segenap hati.
Kalis Mardiasih menulis opini dan menerjemah. Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama. Dapat disapa lewat @mardiasih
(mmu/mmu)











































