Sebagian masyarakat itu mengambil ancang-ancang untuk melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Publik pun makin resah karena juga dihadapkan dengan pendapat yang menyebutkan bahwa tidak ada kegentingan memaksa di balik terbitnya Perppu Ormas ini, seperti dilontarkan sejumlah pihak.
Beragam opini menyeruak di berbagai media untuk meyakinkan publik mengenai kebenaran akademik dengan menampilkan sudut pandang yang berbeda. Sehingga tepat jika fenomena ini dikatakan sebagai situasi kebimbangan publik. Namun, di balik fenomena ini, ada petikan argumen yang menarik sebagai bukti bahwa kebenaran hukum adalah kebenaran konsensus. Kebenaran itu akan menjadi kuat bila disematkan label sebagai peraturan perundang-undangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Standar Moral dan Etika
Perppu tentang Ormas dimaksudkan sebagai bentuk preventif terhadap kehancuran Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh ideologi-ideologi yang ingin menggantikan Pancasila. Seperti suatu ilustrasi yang selama ini beredar "ibarat katak yang ada dalam panci di atas kompor, semula merasa nyaman dengan situasi hangat, lama-kelamaan ketika air mendidih, baru sadar ia sudah terperangkap dan tidak bisa berbuat apa."
Bangsa Indonesia memiliki 1128 suku bangsa, beragam bahasa, agama dan budaya. Sangat disayangkan jika dijadikan suatu bentuk taruhan atas ungkapan kebebasan berkumpul, berpendapat dan berekspresi oleh sebagian orang. Apalagi pemerintah dihadapkan dengan kewajiban konstitusional dari Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, yang menentukan "Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah."
Dengan begitu, tugas utama pemerintah adalah melindungi HAM setiap orang. Maka di sinilah letak urgensi pemerintah untuk membaca situasi kontekstual dalam kehidupan sosial di masyarakat, agar jangan sampai HAM rakyat yang lebih besar mendapatkan gangguan keamanan, kesejahteraan dan lainnya sehingga tujuan negara menjadi terabaikan.
Dilema Pemerintah
Eksistensi Perppu tentang Ormas tentunya membuka ruang dilema bagi pemerintah. Jika Perppu ini tidak diterbitkan maka keberadaan ormas radikal semakin berkembang pesat dalam menyebarkan doktrinnya yang kemudian mengarah pada perubahan ideologi negara. Secara faktual, penyebaran doktrin ini dilakukan melalui pertemuan-pertemuan, aksi-aksi yang bersifat mencari simpati masyarakat, media-media, dan lainnya. Tentunya pemerintah punya data-data aktual yang tidak mungkin disebarkan ke publik.
Di sisi lain, jika Perppu ini ada, maka dianggap merampas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat, sebagaimana dijamin oleh konstitusi. Atas dasar inilah disebut adanya ruang dilema, kemudian menjadi tepat jika pemerintah mengambil langkah menerbitkan Perppu. Mengingat, Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 mengatur setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Kendati terdapat konsep "undang-undang" dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, namun dengan adanya Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 maka Perppu juga termasuk di dalamnya.
Pilihan Hukum
Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 memaknai salah satu kondisi kegentingan yang memaksa adalah "adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang." Perlu dipahami alasan dari Mahkamah Konstitusi tidak mengkonkretkan frasa "kebutuhan mendesak", tiada lain memahami bahwa kekuasaan pemerintahan itu dalam konsep "besturen" yaitu sebagai kekuasaan yang tidak terikat melainkan juga merupakan suatu kekuasaan bebas (vrij bestuur) yang diarahkan kepada suatu tujuan (doelgerichte).
Atas dasar itu, Presiden berhak melakukan penafsiran terhadap "kebutuhan mendesak", sebagai bentuk ancaman keselamatan negara sekaligus mengambil langkah solutif yang sifatnya segera. Apalagi penafsiran Presiden juga didasarkan pada Pasal 4 International Covenan on Civil and Political Rights (ICCPR) sebagaimana diratifikasi dalam UU No. 12 Tahun 2005, yang menekankan bahwa "hal ihwal kegentingan yang memaksa" termasuk ancaman terhadap kehidupan masa depan bangsa dan negara.
Untuk itu mari sebaiknya kita berpikir positif atas munculnya Perppu Ormas ini untuk keutuhan NKRI. Dan, mari kita sama-sama mengawasi penggunaan Perppu ini ke depan agar jangan sampai disalahgunakan oleh pemerintah.
Jimmy Z. Usfunan Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali
(mmu/mmu)











































