Penerbitan Perppu itu diumumkan oleh Jenderal Wiranto yang sekarang menjabat sebagai Menkopolhukan dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu (12/7) lalu. Ia menyatakan, pemerintah perlu menerbitkan Perppu tersebut karena UU Ormas tidak lagi memadai sebagai sarana untuk mencegah ideologi ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Wiranto juga menambahkan bahwa ada kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah secara hukum, lalu undang-undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum dan akhirnya Presiden berdasarkan keputusan MK Nomor 139/PUUVIII2009, menerbitkan Perppu untuk mengatur secara spesifik perkembangan ormas di Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantas, apa pentingnya Perppu Ormas? Ia digunakan sebagai alat untuk menindak keanggotaan ormas yang bertentangan dengan paham Pancasila. Sebagaimana Pasal 82 A pada Perppu yang mengatur tentang ancaman pidana pada siapapun yang menjadi anggota atau pengurus ormas, baik secara langsung atau tidak langsung yang melakukan permusuhan berbasis SARA dan tindak penistaan pada satu jenis agama tertentu yang legal di Indonesia dengan ancaman pidana minimal 5 tahun penjara.
Akui saja, hal itu lahir akibat "trauma" politik pemerintah pada Pilkada Jakarta lalu. Pasal tersebut rawan digunakan sebagai legitimasi untuk melakukan tindakan represif sepihak kepada oknum anggota ormas yang dianggap bertentangan dengan kepentingan negara. Tidak tertutup kemungkinan adanya persekusi yang dilakukan oleh oknum negara terhadap orang-orang yang dianggap tergabung dalam ormas-ormas yang diduga kuat berpaham bertentangan oleh negara. Mari kita bayangkan bagaimana implikasi hukum ini ke depannya.
Pasal tersebut juga telah melenceng dari maksud Perppu yang diterbitkan. Karena mengatur soal anggota ormas, bukan pada ormasnya. Tentu ada masalah hukum di sini; dalih Perppu dibuat untuk mengatur ormas, bukan pada anggota ormas sebagaimana yang dimaksud. Sungguh langkah pemerintah perlu dipikir secara matang dan tidak reaktif.
Jika kemudian dalih penerbitan Perppu adalah untuk memperkuat legitimasi pemerintah membubarkan HTI, pembubaran tersebut harus dilakukan sesuai dengan proses hukum yang berlaku. UU Ormas sudah memenuhi kebutuhan untuk itu. Tak perlu membuang tenaga untuk menerbitkan Perppu kembali guna menindak organisasi yang radikal.
Meskipun langkah pemerintah juga didukung oleh ormas keagaman lainnya seperti NU dalam penerbitan Perppu ini, menurut saya itu tindakan reaksioner NU sebagai ormas ideologis. Iya, benar hari ini NU di barisan pemerintah dan HTI di luar pemerintah. Memang Perppu ini dapat melikuidasi HTI dari peta keormasan, namun bayangkan jika esok hari NU tidak berada pada barisan pemerintah, bisa saja Perppu ini digunakan untuk membubarkan NU dengan dalih bertentangan dengan Pemerintah. Sebagai organisasi besar NU perlu memikirkan secara mendalam sebelum menentukan sikap.
Tafsir "anti-Pancasila"
Tafsir ini pernah dijadikan alat kekuasaan saat Orde Baru. Saat itu Pancasila dijadikan sebagai kekuatan tunggal untuk memberangus kekuatan lain yang bertentangan dengan rezim. Jika era Presiden Jokowi memunculkan kembali tafsir anti-Pancasila, berarti ada kecenderungan kehadiran pola Orde Baru yang terulang di era Reformasi.
Sebutan itu dapat menjadi alat kesewenang-wenangan negara melalui berbagai peraturannya, untuk memukul demokrasi dan oposisi demokratik. Perppu ormas ini hanyalah salah satu instrumen awal mengembalikan sentralisktik kekuasaan pemerintah. Kita melupakan bahwa kita sempat bersepakat menentang kekuasaan yang terpusat.
Sebelum terlalu jauh. Beberapa fakta perlu dicermati sebelum buru-buru bersikap seperti PB NU, untuk menindak gerakan anti-Pancasila. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Al-Fayyadl bahwa pasca Reformasi, ada upaya untuk menafsir ulang Pancasila sejalan dengan amanat reformasi yang lahir dari darah dan keringat para aktivis dan gerakan rakyat, namun tafsir ini tidak berhasil mengental menjadi suatu konsensus yang bulat di kalangan masyarakat sipil dan pemerintah pasca Reformasi.
Terjadi kevakuman dalam diskursus Pancasila, hingga Reformasi dibajak oleh liberalisasi dan pola-pola kehidupan ekonomi-politik yang mengkhianati Pancasila. Seringkali Pancasila dijadikan untuk melegitimasi perselingkuhan antara oligarki, ormas, militer dan paham keagamaan konservatif yang datang dari luar maupun dalam negeri. Pancasila pun mulai dilirik sebagai referensi kehidupan politik, walaupun baru sebatas jargon dan retorika.
Konsepsi Pancasila yang dipertahankan oleh pemerintah saat ini secara umum mengacu kepada model tafsir Orde Baru. Karena konsepsi ini terbukti efektif menciptakan stabilitas dan terlebih terbukti efektif mengamankan agenda-agenda ekonomi pemerintah. Ia juga berhasil menciptakan ilusi tentang proyek persatuan negara, dengan membungkam minoritas dan meredam gerakan-gerakan separatis. Rezim pemerintah mengambil inisiatif untuk menjadi jubir Pancasila. Pengambil-alihan wacana Pancasila oleh pemerintah, dan dalih atas nama bangsa, sadar ataupun tidak sadar merupakan suatu manuver politik yang tidak terbebas dari kepentingan.
Kepentingan Militer?
Perppu Ormas tanpa melalui proses peradilan memperlihatkan insting represi negara. Menciptakan kekuatan tunggal untuk mematahkan, memandulkan dan membuat impoten kehendak popular rakyat atau suatu tendensi menuju depolitisasi masyarakat. Selama definisi apa dan siapa itu anti-Pancasila dan maksud di balik Perppu Ormas belum terjawab, maka akan banyak keberatan yang di tujukan ke pemerintah.
Akankah ini kepentingan oknum militer yang hari ini memiliki peranan kunci dalam menjaga stabilitas pemerintahan Jokowi? Bisa jadi. Karena kekuatan riil di balik Perppu ini bukan pada Presiden Jokowi, melainkan aktor TNI dan Polisi. Kekuasaan Presiden Jokowi paling lama 10 tahun βitu jika beliau terpilih lagi. Sementara TNI dan aparat lainnya akan semakin kuat dengan adanya Perppu ini.
Siapapun pemerintahnya, TNI akan selalu menjadi peranan kunci menjaga stabilitas pemerintahan. Di era negara modern, stabilitas menjadi penentu sukses atau tidaknya keberlangsungan kekuasaan. Lagi pula, sudah banyak studi yang menunjukkan kekuatan kelompok Islamis radikal menguat karena dibiarkan atau berkolaborasi dengan kalangan TNI untuk menjual stabilitas dengan harga mahal kepada rezim yang berkuasa. Ini soal bisnis dan proyek stabilitas negara.
Yayan Hidayat Peneliti di Center Information, Journal and Forum Development (CIJFD) Universitas Brawijaya
(mmu/mmu)











































