Perppu Pembubaran Ormas atau Dialog?
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Perppu Pembubaran Ormas atau Dialog?

Rabu, 19 Jul 2017 11:45 WIB
Rachmanto
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Perppu Pembubaran Ormas atau Dialog?
Rachmanto (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Pemerintah akhirnya secara resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017. Perppu ini dimaksudkan untuk menggantikan UU 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Keluarnya Perppu ini tidak lepas dari wacana agar pemerintah mengambil sikap tegas terhadap ormas yang dinilai anti-Pancasila. Sebab ormas seperti ini dianggap menjadi ancaman laten yang perlu diwaspadai. Organisasi model ini dipandang akan merongrong bangunan NKRI.

Salah satu organisasi yang belakangan disorot tajam adalah HTI (Hidzbut Tahrir Indonesia). Tetapi jika dicermati, kehadiran Perppu ini justru menunjukkan sikap pemerintah yang semakin otoriter. Dan jika hal ini dibiarkan, justru akan merusak bangunan demokrasi yang selama ini sudah kita perjuangkan.

Salah satu bagian krusial terdapat pada Pasal 62 Perppu Ormas tersebut. Pada Pasal 62 ayat 3 disebutkan "Dalam hal ormas tidak mematuhi sanksi penghentian kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan kewenangannya melakukan pencabutan surat keterangan terdaftar atas pencabutan status badan hukum."

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Secara sederhana, ini bermakna Menteri Hukum dan HAM memiliki kewenangan untuk segera membubarkan ormas anti-Pancasila tanpa pengadilan. Padahal pada UU Nomor 17, pemerintah wajib mengajukan pembubaran ormas ke pengadilan negeri.

Pemerintah tampak sekali ingin mengambil jalan pintas. Tidak ingin ribet dengan urusan pengadilan yang pasti menguras banyak energi. Padahal pengadilan adalah tempat yang tepat dan bermartabat untuk menguji beragam argumentasi. Hukum dijunjung tinggi untuk memberikan keadilan bersama. Sehingga menghindari tindakan sewenang-wenang yang mungkin dibuat oleh penguasa. Jika hukum (baca: pengadilan) diabaikan, justru menjadikan penguasa makin tidak terkontrol.

Berbicara tentang HTI, gagasan utama mereka adalah penegakan Daulah Khilafah. Inilah yang menjadi titik sentral penolakan dari pemerintah dan sebagian masyarakat. Ide ini dinilai sebagai bentuk lain upaya menggantikan negara Indonesia menjadi negara Islam. Umat Islam di Indonesia sebenarnya banyak yang menolak sistem khilafah. Sebab dinilai sudah usang dan tidak cocok lagi diterapkan di era modern. Termasuk tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia.

Meskipun banyak mendapat kritik tajam, HTI sendiri tanpaknya tidak pernah mengendurkan propaganda urgensi pendirian khilafah. Harus disadari, kehadiran HTI memang mulai menimbulkan ketegangan di masyarakat. Di beberapa tempat, pertemuan mereka tidak mendapatkan izin dari polisi. Bahkan ada juga yang dibubarkan paksa.

Meskipun begitu, hemat penulis, pembubaran HTI bukanlah solusi jitu mengatasi masalah ini. Selain itu, tidak ada yang menjamin setelah HTI dibubarkan maka ide khilafah akan surut. Bentuk formal organisasi memang bisa lenyap, tetapi gagasan dasar mereka bisa terus menyebar tanpa perlu wadah organisasi. Ideologi sama sekali tidak bisa dibungkam.

Maka tawaran solusi yang lebih realitstis adalah dialog antara pemerintah, masyarakat, dan juga HTI. Pemerintah harus menyadari dan mengakui bahwa HTI adalah realitas yang tidak bisa dihindari. Mereka adalah anak-anak bangsa yang perlu dirangkul dan diarahkan agar sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia.

Selain itu, HTI pun memiliki potensi yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan nasional. Dakwah mereka di masyarakat pun tidak bisa dipandang sebelah mata. Misalnya HTI sangat keras terhadap berbagai penyimpangan moral seperti pornografi, korupsi, dan kesewenang-wenangan terhadap rakyat. Dan, semua komponen bangsa sepakat bahwa kebejatan moral yang terjadi harus ditanggulangi bersama.

HTI pun tidak pernah terlibat aksi-aksi kekerasan dan teror. Sehingga memang tidak layak diperlakukan layaknya penjahat. Jika pemerintah telah membuka ruang bagi eksistensi HTI, organisasi ini semestinya mau mereformasi diri dan menerima beragam masukan dan keberatan yang ada. HTI pun harus berubah agar tidak terus-terusan menimbulkan kegaduhan. Jika tidak, maka gesekan antar elemen masyarakat akan terus berlangsung.

Nah, kita sangat khawatir, HTI sekedar dijadikan pintu masuk oleh pemerintah untuk membungkam suara-suara kritis terhadap kepemimpinan Jokowi. Jika akhirnya Perppu ini lolos di DPR, maka pemerintah akan semakin mudah membungkam dan memberangus ormas-ormas lainnya. Termasuk ormas yang dianggap tidak pro pemerintah.

Selain HTI, ormas yang tampaknya juga diincar untuk dibubarkan adalah FPI. Maka kita berharap, anggota DPR bisa kritis terhadap Perppu ini. Sekaligus berusaha sekuat tenaga untuk menolaknya. Parpol yang kemungkinan besar mendukung Perppu ini adalah PDIP dan PKB. Sementara, besar kemungkinan PKS akan sekuat tenaga menolaknya.

Partai-partai lain masih perlu dilihat komitmennya untuk menolak Perppu ini. Momentum wacana resuffle kabinet pasti akan dimanfaatkan Presiden Jokowi untuk melobi partai-partai untuk mendukung Perppu ini. Kita berharap partai politik tidak tergiur menggadaikan demokrasi hanya untuk jabatan menteri saja. Terlalu mahal harga yang harus dibayar.

Kebebasan berserikat dan berbeda pendapat adalah pupuk subur tumbuhnya iklim demokrasi yang berkualitas. Tanpa itu, penguasa akan mudah terjebak dalam kesewenang-wenangan. Maka, mari kita hentikan debat ormas yang kurang produktif ini. Saat ini, masih banyak pekerjaan bangsa yang perlu ditanggulangi secara serius.

Korupsi uang rakyat oleh para koruptor belum juga berhenti, kemiskinan dan pengangguran merajalela, kenakalan remaja terus meningkat. Hal itulah yang semestinya kita selesaikan, bukan terus-menerus ribut tentang khilafah dan pembubaran ormas.

Rachmanto pengurus Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Orwil DIY, alumnus Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), SPs UGM

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads