Potong Kompas Pembubaran Ormas
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Potong Kompas Pembubaran Ormas

Rabu, 19 Jul 2017 10:58 WIB
Tri Wahyuni
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Potong Kompas Pembubaran Ormas
Tri Wahyuni (Ilustrasi: Kiagoos Auliansyah/detikcom)
Jakarta - Perihal pembubaran organisasi kemasyarakatan (ormas) yang gemar membuat kerusuhan tengah hangat jadi bahan perbincangan. Bahkan Presiden Jokowi pun menerbitkan sebuah Perppu untuk solusi cepat pembubaran Ormas pada 10 Juli 2017.

Apakah ada kegentingan yang memaksa bagi pemerintah menerbitkan instrumen hukum dalam konteks darurat tersebut? Saya tidak dalam kapasitas membedah aspek yuridis secara mendalam. Namun, secara sosiologis memang tidak sedikit juga kekisruhan yang ditimbulkan ormas. Pada 2015 misalnya, dua ormas di Bali terlibat bentrok di dalam Lapas Kerobokan, Denpasar. Akibatnya dua narapidana dan dua warga sipil menjadi korban (tewas).

Tahun selanjutnya, di Medan, Sumatera Utara dua Ormas, Pemuda Pancasila dan Ikatan Pemuda Karya, terlibat bentrok berdarah. Satu orang tewas dan lebih dari empat jiwa mengalami luka serius. Januari 2017, di Bandung, GMBI bertikai dan bentrok dengan Front Pembela Islam (FPI). Hasilnya kerusakan di tempat, dan satu orang terluka.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mabes Polri mencatat, kekerasan yang dilakukan Ormas pelaku kekerasan mulai marak terjadi sejak awal 2000-an dan semakin menjadi setelah 2005. Sepanjang 2007-2010, paling tidak, terjadi 107 kekerasan yang dilakukan ormas berbasis keagamaan maupun primordialisme etnis. Pada 2007 ada 10 tindak kekerasan. Pada 2008 ada 8 kali. Pada 2009 ada 40 kali, sementara pada 2010 ada 29 kali.

Intimidasi dan penyerangan seolah menjadi trademark ormas-ormas pelaku kekerasan tersebut. Akibatnya masyarakat merasa resah dengan aksi-aksi penyerangan terhadap kelompok tertentu. Demikian juga apabila masyarakat melihat ormas melakukan demonstrasi dengan kekerasan, melakukan penyisiran terhadap pihak yang berbeda pendapat, ataupun melakukan penutupan tempat ibadah milik kelompok lain.

Intinya, ormas yang bertindak aksi kekerasan merupakan ancaman terhadap hak atas rasa aman dan kebebasan berkeyakinan di masyarakat. Padahal dalam konstitusi, Pasal 28 (G) UUD 1945, hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan merupakan hak asasi manusia (HAM). Maka jelas, pelanggaran terhadap ketentuan tersebut merupakan pelanggaran HAM.

Keberadaan ormas memang dijamin pula dalam Pasal 28 (E) ayat (3) UUD 1945, UU tentang HAM, dan Kovenan Hak Sipil. Sebagai hak setiap orang atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Namun, perlu diingat hak asasi manusia beriringan pelaksanaannya dengan kewajiban menghormati hak asasi orang lain.

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Hal itu dimaksudkan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat.

Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2013, ormas dilarang melakukan kegiatan-kegiatan yang dikualifikasi mengganggu keamanan dan ketertiban umum. Ormas yang melakukan pelanggaran dapat dikenai sanksi administratif. Sanksi administratif dimaksud dapat berupa peringatan tertulis, penghentian bantuan dan/atau hibah, penghentian sementara kegiatan, dan/atau pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.

Namun, sebelum sanksi administratif dijatuhkan kepada ormas yang melakukan pelanggaran, pemerintah maupun pemda mesti mendahulukan upaya-upaya persuasif. Seperti, melakukan dialog dan membangun komunikasi yang baik dengan ormas.

Dalam hal ormas tidak mematuhi peringatan tertulis sampai tiga kali, dapat dilakuan penghentian bantuan dan/atau hibah, dan/atau penghentian sementara kegiatan. Untuk menerapkan sanksi ini, pemerintah tidak boleh semena-mena. Pemerintah wajib meminta pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung (untuk penerapan sanksi bagi ormas lingkup nasional), dan kepala daerah wajib meminta pertimbangan pimpinan DPRD, kepala kejaksaan, dan kepala kepolisian sesuai dengan tingkatannya (untuk ormas lingkup lokal).

Pembubaran ormas juga dimungkinkan dengan pengajuan permohonan ke Pengadilan Negeri oleh Kejaksaan atas permintaan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.

Namun, dengan hadirnya Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan, menutup hak bagi ormas tadi membela diri dan mendapatkan keadilan. Sebab menghilangkan proses pengadilan, nasib ormas ke depannya tergantung sikap politik pemerintah. Pemerintah dapat bertindak sebagai penuntut/pendakwa dan hakim sekaligus terhadap ormas yang dinilainya anti-Pancasila.

Sederat ketentuan pembubaran ormas yang ada sebelumnya mengaksentuasikan supaya pemerintah hati-hati dalam berdemokrasi. Supaya pembubaran terhadap ormas bisa lebih objektif, makanya pembubaran diwujudkan dalam beberapa tahapan bahkan berujung di sidang pengadilan. Namun sekarang, pemerintah seperti lebih ingin potong kompas.

Tri Wahyuni pemerhati persoalan sosial dan kemasyarakatan; calon guru, menempuh studi di Universitas Negeri Padang
(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads