Pro Kontra Kebijakan Zonasi

Kolom

Pro Kontra Kebijakan Zonasi

Tri Pujiati - detikNews
Selasa, 18 Jul 2017 15:36 WIB
PPDB di Blitar (Foto: Erliana Riady)
Jakarta - Sebagaimana Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 17 Tahun 2017, sekolah harus menerima 90 persen peserta didik dari daerah sesuai zona terdekat (sistem zonasi) yang diatur oleh daerah masing-masing. Sedangkan, 10 persen dialokasikan untuk dua kategori, yaitu 5 persen bagi peserta didik berprestasi dan 5 persen lainnya bagi peserta didik perpindahan antardaerah atau luar negeri.

Setali tiga uang, sistem zonasi yang diberlakukan dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2017/2018 ini oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) justru sangat dilematis. Di satu sisi, kebijakan zonasi menjadi ruh dalam rangka meningkatkan pemerataan kualitas pendidikan. Kebijakan tersebut diharapkan mampu memutus ketimpangan kualitas pendidikan yang jamak terjadi di berbagai sekolah di Tanah Air. Harapannya, sistem zonasi mampu memutus sekat sekolah favorit dan sekolah pinggiran.

Pasalnya, selama ini lebih banyak peserta didik yang berjubel ingin belajar di sekolah favorit. Tentunya, orangtua sangat bangga kalau anaknya diterima di sekolah favorit. Sedangkan, nasib sekolah pinggiran hanya "dianggap" sebagai sekolah buangan dari peserta didik yang tidak diterima di sekolah favorit. Imbasnya, sekolah pinggiran tidak diminati dan mau tidak mau harus bekerja keras agar tidak kehilangan peserta didiknya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di sisi lain, kebijakan zonasi yang digadang-gadang menjembatani keterpurukan sekolah pinggiran ini justru tidak efektif. Pertama, inkonsistensi kebijakan. Pemberlakuan sistem zonasi yang diluncurkan beberapa waktu lalu dinodai oleh kebijakan baru Kemendikbud yang tidak konsisten. Saat PPDB sedang berlangsung, secara mendadak diluncurkan Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2017 bahwa daerah yang sudah melakukan PPDB sebelum kebijakan zonasi diluncurkan, boleh melanjutkan kebijakan sebelumnya yang telah berlangsung.

Tentunya inkonsistensi Permendikbud tersebut justru membuka ladang kecurangan praktisi pendidikan yang semakin menganga. Dikhawatirkan, sekolah akan berbondong-bondong memanipulasi PPDB yang seharusnya mengikuti sistem zonasi dengan kebijakan lama yang dianggap lebih menguntungkan.

Kedua, memperuncing tindakan kecurangan di kalangan orangtua. Sejatinya, sekolah favorit selama ini didambakan oleh peserta didik juga turut meninggikan gengsi orangtua. Jika anaknya dapat diterima di sekolah favorit, maka orangtua akan terkena citra positif di kalangan masyarakat. Sehingga orangtua yang selama ini hendak menyekolahkan anaknya di sekolah favorit akan melakukan tindakan apapun agar anaknya bisa masuk di sekolah favorit. Sehingga besar kemungkinan untuk melakukan tindakan kecurangan.

Hal tersebut dilakukan dengan menitipkan nama anaknya di Kartu Keluarga (KK) saudaranya yang tinggal di sekitar sekolah favorit. Ironisnya, banyak juga yang menempuh jalan pintas dengan menitipkan nama anaknya di KK tukang becak agar bisa bersekolah di sekolah favorit.

Ketiga, nasib sekolah swasta. Kebijakan zonasi yang diberlakukan di sekolah negeri turut memperkeruh nasib sekolah swasta. Pemberlakuan kebijakan ini secara masif akan mengosongkan peserta didik di bangku sekolah swasta. Terlebih lagi, bagi sekolah yang notabene memang kesulitan mencari peserta didik. Sekolah negeri favorit dan mudah dijangkau oleh masyarakat di sekitar inilah yang menjadi ancaman serius bagi sekolah swasta.

Ini menjadi sebuah ironi bagi sekolah swasta. Ketika belum diberlakukan sistem zonasi, sekolah swasta sudah pesakitan mencari peserta didik. Apalagi, ketika sistem zonasi diberlakukan, bukan tidak mungkin sekolah swasta akan gulung tikar. Maka jangan heran dalam kurun waktu 5-10 tahun mendatang, sekolah swasta hanya meninggalkan nama saja. Jika demikian, bagaimana nasib guru swasta?

Berbagai ketimpangan yang melingkupi kebijakan zonasi harus segera dievaluasi oleh Kemendikbud. Khususnya, masalah klasik terkait sarana dan prasarana yang kurang memadai. Sehingga antara sekolah favorit dan sekolah pinggiran dapat bersaing jika ditunjang dengan kualitas sarana dan prasarana yang mendukung dan merata. Selain itu, guru profesional juga harus disebar secara merata agar mampu mendorong kualitas pendidikan.

Kendati demikian, penulis sepakat dengan diberlakukannya kebijakan zonasi. Mengingat, kebijakan zonasi merupakan langkah awal dari Kemendikbud untuk mendorong terwujudnya sekolah berkualitas dan merata. Dengan kebijakan ini tentunya anak-anak dari keluarga miskin dapat mengenyam indahnya bangku sekolah favorit. Harapan keluarga miskin yang memang bermimpi untuk sekolah akan terwujud.

Untuk itulah, kebijakan zonasi harus dijalankan sebagaimana mestinya, namun dengan catatan sistem zonasi sudah dipersiapkan secara matang dan tidak terburu-buru. Rasanya sangat sulit mengimplementasikan kebijakan zonasi secara serentak pada PPDB tahun ini. Jika dipaksakan, kebijakan zonasi yang semu hanya akan menemui ketidakjelasan. Akhirnya, evaluasi kebijakan zonasi harus dikaji kembali oleh Kemendikbud.

Di lain pihak, pemerintah juga harus mengantisipasi sekolah swasta agar tidak gulung tikar. Pemerintah mesti menerapkan sistem zonasi yang merangkul semua kalangan tanpa harus mendiskreditkan sekolah swasta.

Tri Pujiati alumnus Pendidikan Islam di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads