Bersama Kapal yang Tenggelam
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Bersama Kapal yang Tenggelam

Kamis, 13 Jul 2017 12:00 WIB
Alek Karci Kurniawan
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Bersama Kapal yang Tenggelam
Alex Karci Kurniawan (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Sejak Menteri Kelautan dan Perikanan dijabat oleh Susi Pudjiastuti, penghuni negeri ini kembali melek ke laut. Bahkan pada Hari Raya Idulfitri kemarin pun, umat muslim Indonesia sudah mulai banyak yang membuat opor ikan.

Sebelumnya, kita seperti bangsa yang pingsan akan sejarah. Betapa sulitnya perjuangan pendahulu untuk mendapat pengakuan internasional bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Saya umpamakan, jika Tuan dan Puan baru punya anak sekarang, maka perjuangan itu baru selesai ketika anak Tuan dan Puan punya anak pula.

Duapuluh tujuh tahun diplomasi sana-sini, baru pada 1982 negara-negara di dunia bersepakat menetapkan United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS), yang salah satu isinya mengakui negara kepulauan. Sebelum itu, dapat dikatakan keabsahan wilayah Indonesia belum seluas sekarang. Bajak laut seperti Edward "Blackbeard" Teach, John "Calico Jack" Rackham, dan Jack Sparrow boleh saja kongkow-kongkow mencari harta karun di laut pedalaman Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kita patut berterima kasih kepada pemimpin terdahulu, Perdana Menteri terakhir Ir Djuanda dan diplomat legendaris Mochtar Kusumaatmadja. Namun, sepertinya hanya itu catatan sejarah maritim yang mengesankan sejak Indonesia merdeka. Kebijakan penguasa di masa selanjutnya seperti lebih senang hidup di darat daripada hidup di air.

Padahal, asal tahu saja, argumen dasar untuk mendapat pengakuan sebagai archipelago state di PBB adalah "Republik Indonesia yang berbentuk negara kesatuan". Dalam artian, laut adalah pemersatu wilayah Indonesia dan tidak mungkin dipisahkan.

Selama kita abai terhadap laut, selama itulah kita tidak betul-betul-bersatu. Maka tak ayal, Indonesia yang bersatu tapi semu itu kecolongan senilai Rp 300 triliun per tahun akibat pencurian ikan di laut (belum masuk hitungan, kerugian lingkungan yang rusak akibat penggunaan alat tangkap berbahaya seperti pukat harimau, sianida dan bom).

Coba bayangkan, kalau kecolongan ikan itu bisa diatasi, berapa banyak yang dapat dilakukan dengan Rp 300 triliun? Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah mengatakan kepada saya, Rp 1 triliun adalah sama dengan 729.000 rumah tangga miskin mendapat bantuan beras, 93.000 ton benih, dan termasuk 336.000 ton pupuk yang bisa diberikan kepada petani Indonesia.

Rp 1 triliun bisa membiayai 2,2 juta siswa SD; membangun 6.755 ruang kelas sekolah; 3.541 jembatan; atau 3,6 juta masyarakat miskin yang dapat jaminan kesehatan. Nah, kita dapat mengira apa yang terjadi kalo kemungkinan-kemungkinan tersebut dikali 300.

Maka saya salut dengan Bu Susi. Beliau beda. Meskipun sering digunjingkan orang sebagai menteri yang "hanya tamat SMP", "bertato", dan "merokok" perlu diakui beliau adalah sedikit dari menteri Jokowi yang jelas hasil kerjanya. Kabarnya, sejak KKP dipimpin beliau, "kota terapung-apung tengah malam" di tengah laut Indonesia sudah jauh berkurang.

Agar pencuri ikan jera, Bu Susi memilih strategi bumi hangus terhadap kapal asing yang tertangkap. Ada ratusan lebih kapal yang ditembak dan ditenggelamkan sejak Bu Susi memimpin KKP. Dengan berkurangnya pencurian ikan, tentu meningkatkan pendapatan nelayan.

Hanya saja, sebagai pemuda yang mempelajari hukum laut selama bertahun-tahun, saya punya sedikit masukan. Begini Bu Menteri, kita sama-sama-tahu wilayah laut Indonesia itu amat luas, bahkan dua kali wilayah darat. Menjaganya tentu tidak mudah.

Kita bukan Tiongkok yang superkaya dan bahkan mampu mengelontorkan dana jutaan dollar AS untuk mengamankan Laut China Selatan. Kepolisian mengklaim punya 700 kapal, tapi tipenya hanya memungkinkan penjagaan tidak jauh dari pantai. TNI yang armadanya bisa jauh ke laut lepas juga sering mengeluh kurangnya jatah bahan bakar; minyaknya tidak cukup buat mengerahkan semua kapal. Rumah tangga perikanan Indonesia juga masih berada pada tingkat kemiskinan yang tinggi.

Barangkali bagi Bu Menteri menembaki dan menenggelamkan kapal adalah suatu bentuk ketegasan. Untuk membuat takut dan jera kapal asing yang mencuri ikan di laut Indonesia. Akan tetapi, untuk menyelenggarakan penenggelaman kapal pasti membutuhkan biaya juga. Dan, bila keseringan menembak dan menenggelamkan, pasti akan menumpuk bangkai kapal menjadi sampah laut. Intinya itu mubazir, Bu!

Undang-Undang Perikanan kita sebenarnya memberikan sanksi alternatif, selain menembaki dan menenggelamkan kapal. Silakan lihat Pasal 76A dan 76C UU No.45 Tahun 2009. Di situ disebutkan, benda maupun alat yang yang berkaitan dengan tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan ketua pengadilan negeri.

Berkat undang-undang memberi pilihan sanksi, akan lebih baik ke depan pemerintah tidak usah lagi menenggelamkan kapal. Mungkin melelangnya (kalau dilielang, hasilnya disetor ke kas negara sebagai PNBP) atau menghibahkan kepada kelompok usaha nelayan. Bukankah harga kapal itu mahal, Bu Susi? Maka janganlah dibiarkan kita berulang rugi bersama kapal yang tenggelam.

Alek Karci Kurniawan Pemerhati Hukum Bisnis Universitas Andalas

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads