Politik Mengisolasi KPK
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Politik Mengisolasi KPK

Rabu, 12 Jul 2017 13:00 WIB
Aminuddin
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Politik Mengisolasi KPK
Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Hak Angket KPK (Foto: Agung Pambudhy)
Jakarta - Kengebetan hak angket oleh DPR boleh jadi dimaknai sebagai upaya untuk mengisolasi KPK. Bagaimana tidak, hak angket yang biasanya kandas di tengah jalan, justru saat ini "dipaksakan" untuk melawan KPK. Padahal, banyak pengamat hukum yang menilai bahwa hak angket tidak layak. Guru Besar Hukum Tatanegara, Mahfud MD menilai bahwa hak angket cacat hukum. Ini artinya, hak angket sarat dengan upaya melemahkan KPK.

Dugaan pelemahan terhadap KPK bukan tanpa sebab. Pasalnya, sejak awal mula hak angket KPK digulirkan, berbagai kejanggalan kerap menyelimuti. Pertama, hak angket digulirkan atas dasar "nyanyian" Miryam S Haryani atas dugaan korupsi KTP-el. Di sisi lain, banyaknya anggota DPR yang menjadi anggota hak angket, patut dicurigai sebagai upaya untuk menghambat proses penyidikan KPK terhadap kasus KTP-el.

Jika kita lihat, hampir semua anggota hak angket merupakan politisi yang disebut dalam kesaksian Meryam S Haryani. Di sisi lain, partai Gerindra dan PAN yang sebelumnya menolak mengirimkan anggotanya ke panitia angket KPK, kini satu baris dengan PDIP, Golkar, Hanura, Nasdem, dan PPP. Hanya partai Demokrat, PKS, dan PKB yang masih belum berubah haluan untuk tidak mengirim anggotanya ke panitia angket.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kedua, sejak awal mula pembentukan hak angket, pengambilan keputusan ketika rapat paripurna terjadi banyak kejanggalan. Fahri Hamzah yang ketika itu menjadi pimpinan sidang, tanpa ragu mengetok palu. Padahal, banyak fraksi yang masih melakukan interupsi. Seharusnya, ia mendengar dan tidak mengabaikan interupsi. Bukan dengan membabi buta mengetok palu.

Ketiga, sudah sejak awal pembentukan panitia khusus hak angket tidak memenuhi aturan main. Dalam hal ini, panitia hak angket tidak memenuhi unsur semua fraksi. Padahal dalam UU MD3, ketidaklengkapan fraksi dalam panitia hak angket otomatis tidak sah. Namun lagi-lagi, rambu undang-undang yang dibuatnya sendiri diabaikan oleh anggota DPR.

Maka, sulit dinalar bahwa hak angket yang dilakukan oleh DPR sebagai upaya untuk memperkuat KPK. Justru, publik melihat bahwa hak angket merupakan langkah politis untuk mengebiri wewenang KPK. Mengingat, KPK merupakan lembaga anti rasuah yang getol menjerat korupsi terutama yang dilalukan oleh anggota dewan.

Hingga saat ini, sudah banyak wakil rakyat di Senayan yang harus berlama di jeruji besi akibat praktik korupsi yang dilakukannya. Maka, tidak berlebihan apabila Survei Global Corruption barometer 2017 yang diadakan oleh Transparansi Internasional menempatkan DPR sebagai lembaga paling korup di Indonesia.

Terlepas dari itu semua, kita memang tidak boleh menutup mata bahwa hak angket tidak melulu sebagai upaya untuk melemahkan KPK. Dalam hal ini, ada skenario besar yang sebenarnya bisa dianalisis dari pengajuan hak angket terutama di internal DPR sendiri dan partai politik.

Penulis melihat bahwa hak angket tersebut bisa menjadi jebakan politik bagi anggota dewan serta partai pengusungnya. Artinya, hak angket ini memang didorong sebagai isu publik. Tujuannya agar anggota dewan yang menginisiasi hak angket mendapat sentimen negatif di mata publik. dengan demikian, sentimen negatif terhadap inisiator hak angkat akan berimbas kepada parpol pendukungnya. Sehingga, mereka akan dihukum publik pada pemilu 2019.

Jebakan seperti inilah yang semestinya dapat dibaca oleh legislator agar tidak serampangan melakukan hak angket. Jika hak angket ini gagal dan bahkan terus berlanjut, maka persepsi negatif dari publik terhadap anggota dewan dan parpol pendukungya semakin menguat. Jadi jangan heran ketika pemilu, suara parpol yang kerap melakukan manuver dan menentang kehendak publik semakin terjungkal.

Namun di sisi lain, langkah beberapa parpol menolak hak angket hanya sebagai cara agar tidak terjebak pada sentimen negatif publik. Artinya, parpol yang awalnya menolak sejatinya tidak benar-benar menolak. Namun memiliki niat yang sama untuk melemahkan KPK. Sehingga, di tengah-tengah perjalanan mereka bersatu untuk melakukan perlawanan terhadap KPK dengan menyetujui hak angket.

Tentu saja perlawanan dari aktivis antikorupsi untuk membendung hak angket yang disinyalir melemahkan KPK harus diapresiasi. Apa jadinya jika aktivis antikorupsi tidak melakukan perlawanan? Sudah pasti KPK akan terus diamputasi dengan sewenang-wenang. Namun sehebat apapun kekuatan aktivis antikorupsi tidak akan berguna. Pasalnya, mereka tidak memiliki wewenang untuk menghalangi hak angket secara hukum.

Karenanya, keberanian presiden dibutuhkan untuk bersikap tegas. Apalagi, presiden berkomitmen untuk memperkuat KPK sesuai dengan janji nawacaitanya. Karena itu, presiden harus membuktikan sebagai kepala negara yang antikorupsi.

Aminuddin Analis Politik pada Literasi Politik dan Edukasi untuk Demokrasi (LPED). Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads