Ya, teman kita di kelompok-kelompok percakapan memang banyak. Sampai puluhan, bahkan lebih. Tapi, sejujurnya, kita tak pernah benar-benar mengenal mereka, bukan? Sekali pun berbasis almamater, kita acap terkaget-kaget mendapati teman kita berubah. "Teman grup berkabar pesawatnya sudah akan terbang. Saya sahut, semoga selamat sampai tujuan. Spontan dia membalas, yang benar itu ucapkan fii amanillah. Iya, tapi saya salah apa?" keluh seseorang.
Tidak ada yang salah, sesungguhnya. Yang terjadi adalah pergeseran tren berbahasa. Doa "semoga lekas sembuh" kini lebih populer dengan ucapan yang lebih langitan yaitu syafakallah atau syafakillah. Masih banyak lagi contoh lainnya. Sekarang, saya harus rela jika disebut ndeso hanya gara-gara masih menggunakan doa "sluman-slumun-slamet" yang diwariskan leluhur kami. Selain memang bermakna doa, filosofi yang terkandung di dalamnya juga luhur.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Slumun diambil dari kata salamun, yang dapat kita temukan salah satunya dalam Q.S. Yasin ayat 58. Yaitu, "Salaamun qaulam mirrabbir rahiim," yang artinya, "(Kepada mereka disampaikan) 'salam' sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang." Sedangkan slamet diambil dari kata salamah, yang menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah bermakna selamat dari segala aib dan kekurangan. Lebih dari itu, As Salam termasuk Asmaul Husna yang berarti Yang Maha Sejahtera.
Namun, tanpa kita sadari, semakin hari semakin terjadi pengelompokan antara yang Islami dan yang bukan, atau sebut saja: yang belum. Saya masih memakai doa, "Tamba teka, lara lunga, lunga, lunga, saking kersaning Allah," yang artinya," Obat datang, penyakit pergi, pergi, pergi, atas kehendak Allah." Saya yakin, setiap daerah memiliki kearifan sendiri dalam berdoa. Namun, oleh sebagian kalangan, itu mungkin masih dianggap mantra. Ujung-ujungnya, dikelompokkan klenik.
Kiai Ja'far Shodiq, salah seorang guru saya yang menjadi pengasuh Pesantren Siwerni di Bogangin, Sumpiuh, Kebumen juga mengajari saya doa-doa berbahasa Jawa, khas dengan lisan ngapak beliau. Mendiang Kiai Mas Syaifullah Ali Bagiono, guru saya yang semasa hidup mengasuh Pesantren Al Hikam di Ketapang, Kalipuro, Banyuwangi juga menyukai doa-doa berbahasa Jawa. Poin utamanya bukan pada pilihan bahasa, namun lebih pada kesungguhan hati dalam berdoa.
Memang, jika ditelusuri ucapan-ucapan khas semacam jazakallah khairan, punya dasar keilmuwan dan falsafah yang lurus dan kuat. Tapi, boleh kok tetap mengucap "terima kasih". Kembali pada masing-masing, apakah akan mulai menggunakan kosakata tuturan yang 'baru' di telinga, atau masih akan mempertahankan bahasa ibu yang telah akrab sejak lahir. Jika pergaulan dan pendidikan menjadikan kita tercerabut dari akarnya, tumbangnya jati diri sesungguhnya hanya soal waktu.
Dengan gagah, Ngarsa Dalem Sultan Hamengku Buwana IX berkata, "Aku memang orang berpendidikan Barat, namun aku tetap orang Jawa," ketika pada 1940 dinobatkan sebagai Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Namun, hari-hari ini semakin sulit kita menemukan kebanggaan terhadap akar kebangsaan sehingga tema mencintai Tanah Air selayaknya didengungkan lagi lebih kuat. Pergaulan dan pendidikan cenderung mengubah gengsi kita pula.
Globalitas menggeser lokalitas; lebih bangga menjadi anggota masyarakat dunia ketimbang hanya menjadi orang kampung. Modernitas menggoyahkan identitas. Gonta-ganti gawai, misalnya, hanya demi mengikuti perkembangan teknologi, walau dengan harga tinggi yang tidak sepadan dengan kebutuhan dan penggunaan. Bahasa, yang disebut-sebut menunjukkan bangsa, juga makin tergeser sejak pilihannya berkembang pula menjadi didasarkan keimanan.
Sungguh mulia "assalamu'alaikum" yang diteladankan Rasulullah SAW. Tapi, jangan ragu tetap beruluk salam "sampurasun" dan menjawab "rampes". Janganlah kita rasis sejak dalam pikiran, menilai liyan lebih buruk karena pilihan bahasa. Dalam ibadah utama yang memang diwajibkan memakai bahasa baku, kita tentu wajib bersiteguh patuh melaksanakan. Dalam pergaulan, bukankah tujuan komunikasi adalah pesan tersampaikan dengan baik? Nah, bahkan bahasa isyarat pun layak diterima.
Candra Malik budayawan sufi
(mmu/mmu)











































