Seperti disampaikan oleh Arsul Sani, salah satu anggotanya, pansus angket KPK akan kembali bekerja setelah Lebaran. Salah satu agenda pansus adalah memanggil kembali Miryam untuk didengar keterangannya. Untuk menghadirkan Miryam, pansus akan mendiskusikan aturan penjemputan paksa dengan Wakapolri Komjen Pol Syafruddin.
Kehadiran Wakapolri untuk berdiskusi di pansus angket KPK tidak terlepas dari penolakan Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian untuk melakukan panggilan paksa terhadap Miryam. Perihal bantuan kepolisian, Tito Karnavian mengafirmasi DPR memiliki hak untuk meminta bantuan polisi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alasan penolakan Tito Karnavian menghadirkan paksa seseorang karena tindakan kepolisian tersebut sama saja dengan perintah membawa atau penangkapan. Penangkapan dan penahanan sendiri merupakan proses pro justicia yang ujungnya adalah peradilan. Sehingga jika terdapat permintaan dari DPR, kepolisian tidak bisa melaksanakan karena terdapat hambatan hukum untuk melaksanakan.
Menjelang Hari Raya Idulfitri, polemik kehadiran Miryam di pansus angket KPK dan penolakan Tito Karnavian untuk memberikan bantuan kepolisian pada pansus sempat reda. Akan tetapi, kemungkinan besar berlanjutnya agenda pansus setelah Lebaran akan menjadi pemicu berlanjutnya polemik.
Konflik Tidak Perlu
Polemik kehadiran Miryam dalam pansus angket KPK dan penolakan Tito Karnavian untuk memberikan bantuan kepolisian dapat menjadi pemicu kerenggangan hubungan antarlembaga negara. Kerenggangan hubungan di antara DPR, KPK dan Polri semestinya harus dicegah dengan menemukan solusi konstitusional. Karena bagaimana pun, kerenggangan di antara pranata konstitusi ujungnya adalah hak konstitusional warga negara dan terhambatnya pencapaian tujuan bernegara.
UUD 1945 telah menentukan dan membagi hak dan kewenangan DPR, KPK dan Polri sebagai sebuah lembaga negara. Agar hak dan kewenangan lembaga negara bekerja secara efektif, maka prinsip relasi kelembagaan yang terbangun semestinya konstitusional-fungsional, yaitu saling mengawasi dan mengimbangi, saling menghormati, saling membantu dan mengutamakan kepentingan umum.
Kaitannya dengan polemik yang terjadi, diperlukan solusi konstitusional untuk menjembatani perbedaan pandangan yang ada dan munculnya konflik yang tidak perlu serta merugikan kepentingan umum.
Pertama, dalam perspektif konstitusional, penggunaan hak angket oleh DPR harus diakui keberadaannya karena sejauh ini belum terdapat putusan paripurna terbaru yang membatalkan keberadaan pansus angket KPK. Selain itu, putusan pengadilan yang menyatakan penggunaan hak angket ilegal juga belum ada.
Dengan fakta konstitusional demikian, KPK dan Polri sebagai lembaga negara harus menghormati proses konstitusional yang sedang berlangsung di DPR. Penghormatan tersebut dapat mewujud dengan kehadiran pihak KPK dan Polri ke rapat pansus angket jika diundang.
Kedua, polemik yang terjadi atau renggangnya hubungan di antara lembaga negara biasanya disebabkan karena tidak terdapat komunikasi dan penjelasan yang memadai mengenai urgensi dan relevansi tindakan yang diambil, termasuk βtetapi tidak terbatas padaβ pemanggilan Miryam oleh pansus.
Pansus angket KPK harus menjelaskan isi, maksud dan waktu pemeriksaan Miryam kepada KPK secara memadai dan jelas. Mengingat status tersangka dan Miryam yang berada dalam tahanan KPK, maka Pansus tidak dapat menyampaikan permintaan langsung kepada Miryam.
Mempertimbangkan status Miryam tersebut di atas, maka pansus di dalam melakukan komunikasi harus jelas mengenai jaminan keterangan yang ingin diperoleh dari Miryam tidak akan menghambat penegakan hukum yang sedang berjalan di KPK. Jika jaminan tersebut ada menurut penilaian objektif pihak KPK, maka patut dan layak KPK memberikan kesempatan kepada Miryam untuk memberikan keterangan di hadapan Pansus.
Pemberian kesempatan tersebut perwujudan pelaksanaan prinsip konstitusionalisme bahwa di antara sesama lembaga negara harus saling menghormati kewenangan konstitusional yang dimiliki, dan saling membantu dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan.
Ketiga, benturan antara KPK dan Polri sebagai sesama penegak hukum sejauh mungkin harus dapat dihindari. Menggunakan asumsi Miryam tetap tidak diberikan izin oleh pihak KPK setelah tiga kali dipanggil secara berturut-turut, pansus angket KPK akan menempuh mekanisme memanggil paksa dengan bantuan pihak kepolisian.
Sebenarnya, bantuan kepolisian yang diinginkan oleh DPR tidak tepat karena Miryam tidak hadir bukan berdasarkan kehendaknya sendiri, melainkan karena tidak diizinkan oleh pihak KPK. Dengan demikian, alasan objektif untuk menghadirkan paksa Miryam tidak terpenuhi. Jika Tito Karnavian menolak, penolakan tersebut beralasan secara konstitusional dan memberikan manfaat untuk mencegah terjadinya benturan sesama penegak hukum.
Keempat, kuasa hukum dapat menjembatani kebutuhan pansus untuk mendapatkan keterangan dari Miryam. Dalam negara hukum demokratis, status Miryam sebagai tersangka tidak mematikan hak-haknya untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Sebagai tersangka, Miryam memiliki hak yang hidup untuk mengirimkan dan/atau menerima surat dari kuasa hukumnya.
Jika KPK tidak mengizinkan Miryam hadir memberikan keterangan di dalam pansus angket, maka pihak pansus dapat mengambil alternatif menyampaikan daftar keterangan yang ingin didapatkan dari pihak Miryam melalui kuasa hukum. Mekanismenya, keterangan yang disampaikan oleh Miryam melalui surat akan dititipkan ke pihak kuasa hukum Miryam untuk disampaikan kepada pansus angket KPK. Menggunakan cari ini secara substantif pansus tetap bisa mendapatkan keterangan. KPK pun tidak kehilangan wajah demokratis dalam penegakan hukum.
Kelima, polemik kehadiran Miryam jangan sampai mengorbankan kepentingan umum. Dinamika yang terjadi sebelum Hari Raya Idulfitri mengarah pada penyimpangan dari tujuan besar yang ingin dicapai agar DPR, KPK dan Polri bersama-sama dapat mewujudkan pemerintahan yang bersih, berwibawa dan dipercaya. Pasca Idulfitri, ketiga lembaga tersebut harus kembali pada fitrahnya, dan melakukan pemurnian agar cara dan tujuan pelaksanaan angket tidak ditumpangi oleh penumpang gelap yang memiliki maksud untuk membenturkan lembaga negara.
Perbaikan Pengaturan Angket
Penolakan Tito Karnavian memberikan bantuan kepolisian untuk menghadirkan paksa Miryam memberikan kesadaran konstitusional untuk sesegera mungkin dilakukan perbaikan, dan melengkapi ketentuan pelaksanaan hak angket DPR. Perbaikan tersebut meliputi koreksi terhadap prosedur upaya paksa dan melengkapi hukum acara pelaksanaannya agar terdapat jaminan perlindungan yang kuat terhadap hak konstitusional warga negara, dan mencegah terjadinya benturan di antara lembaga negara di lapangan.
Revisi ke depan menyangkut: pertama, pembuatan prosedur khusus yang mengecualikan dan menerangkan secara jelas dan terang upaya paksa dalam angket tidak merujuk pada proses pro justicia. Karena upaya paksa dalam angket merupakan peristiwa ketatanegaraan, bukan merupakan peristiwa pidana.
Kedua, upaya paksa yang akan dilakukan oleh DPR harus dilekatkan kekuatan mengikat. Mekanismenya agar memiliki kekuatan mengikat, panitia angket mendapatkan penetapan pengadilan untuk menghadirkan dan/atau menyadera pihak yang membangkang dengan alasan yang tidak sah menurut hukum.
Selanjutnya, pihak pengadilan akan memuat permintaan tersebut di dalam putusan, dan di dalamnya juga terdapat pengangkatan juru sita dan/atau perintah terhadap kepolisian/jaksa untuk menghadirkan/menyandera pihak yang dibutuhkan keterangannya oleh DPR. Jadi, mekanismenya tidak seperti sekarang dari panitia angket langsung kepada pihak kepolisian.
Ketiga, agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia secara terus-menerus, pengaturan upaya paksa dalam pelaksanaan hak angket harus ada batasan-batasan dan akan berakhir dengan sendirinya setelah pihak yang menjadi sasaran upaya paksa telah melaksanakan kewajibannya. Pada akhirnya, akan terdapat jaminan kuat terhadap hak konstitusional warga negara, konflik antarlembaga negara dapat dicegah, dan tujuan negara yang lebih besar dapat dicapai secara bersama. Semoga!
Ahmad Irawan advokat dan praktisi hukum, peneliti Hukum Tata Negara dan Pemilu di Constitutional and Electoral Reform Centre "CORRECT"
(mmu/mmu)











































