Sebagian besar tujuan mereka pergi ke kota atau ke daerah yang lebih potensial dari segi ekonomi untuk memperbaiki perekonomian keluarga. Anggapan daerah kota lebih mapan dan maju secara ekonomi masih menjadi asumsi mayoritas masyarakat.
Bahkan dari mereka tidak peduli apakah sumber daya yang dimiliki mencukupi atau sesuai dengan lahan tenaga pekerjaan yang dimiliki atau tidak. Yang penting di benak mereka berangkat dan terlebih dahulu menumpang di tempat saudara atau karib yang mengajak serta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagaimana program PNPM mandiri, KUR, dan pengentasan kemiskininan lainnya berkolerasi positif terhadap perkembangan perekonomian masyarakat di tengah-tengah masih maraknya urbanisasi? Tidakkah lebih nyata mereka yang mengadu nasib di kota semakin menambah beban masyarakat miskin perkotaan? Di sinilah benang kusut yang perlu diurai.
Kaum Miskin Kota
Berbagai macam kisah kesuksesan orang-orang perantauan memancing minat orang-orang desa berbondong-bondong menuju kota. Begitulah proses urbanisasi pascalebaran terjadi. Sebagian besar masyarakat kita masih berjibaku pada pameo lama yang mengatakan bahwa di kota atau di tanah perantauan kita dapat meraih rezeki (uang) yang melimpah.
Namun, kenyataannya berbanding terbalik. Tidak sedikit para perantau di ibukota atau di kota-kota besar masih di bawah garis kemiskinan. Alih-alih mengubah nasib menjadi lebih baik, malah tidak lebih baik daripada kehidupan di desa.
Semakin bertambahnya penduduk kota atau masyarakat yang merantau ke kota semakin bertambah pula masalah sosial. Mereka yang tidak mempunyai keahlian khusus dan mengandalkan sepenuhnya pada tenaga kasar yang dimiliki cenderung bekerja serabutan dan apa adanya, baik menjadi kuli, buruh, atau bahkan meminta-minta di jalanan.
Mengacu pada kriteria pemerintah, kategorisasi penduduk miskin suatu masyarakat atau orang apabila berpenghasilan lebih sedikit Rp 6000 per hari atau sekitar Rp 180.000 per bulan. Mengacu pada kriteria tersebut penduduk miskin di Indonesia saat ini sekitar 43 juta atau 13 persen. Lebih sedikit dari tahun-tahun sebelumnya.
Pernyataan pemerintah bahwa kemiskinan semakin menurun mungkin secara scripto dapat dibenarkan. Akan tetapi secara de facto hal tersebut terbalik; realitas masyarakat tidak mampu khususnya di perkotaan masih menjadi polemik berkepanjangan di beberapa kota-kota besar.
Khususnya di Jakarta misalnya, program padat karya dan pembangunan infrastuktur terus dilakukan. Bahkan untuk menekan laju perkembangan penduduk dari proses ubanisasi pemerintah melakukan program yustisia secara ketat. Hal tersebut dilakukan secara tidak langsung untuk 'melarang' masyarakat dari berbagai daerah yang mengadu nasib di Jakarta, apabila identitas dan pekerjaan mereka tidak jelas.
Otomatisasi
Menurut catatan Badan Pusat Statistik, pada umumnya tingkat urbanisasi di berbagai kota besar di atas 75 %. Misalnya di Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, dan lainnya tingkat pendatang dari berbagai wilayah (daerah) semakin tahun semakin meningkat.
Bahkan di DKI Jakarta lebih 100% atau lebih banyak pendatang daripada ketersedian lapangan pekerjaan yang ada. Sedangkan di kota-kota berkembang tingkat urbanisasi masih berkisar 35% sampai dengan 40%.
Angka demikian bila ditarik dari segi sosiologi pembangunan akan menemukan ketimpangan. Belum lagi persoalan ketersediaan lapangan pekerjaan dan gesekan sosial yang dibawa oleh masing-masing budaya dapat berakibat asimilatif, baik positif atau negatif.
Yang positif timbul budaya saing dan tingkat kebudayaan yang semakin kaya. Akan tetapi realitas tersebut dapat berakibat fatal ketika muncul konflik kepentingan antar berbagai individu. Tidak jarang kekerasan menjadi pilihan terakhir. Misalnya pasca 1997 konflik masyarakat urban di berbagai daerah di kota-kota besar semakin tampak.
Urbanisasi apabila tidak ditekan dengan baik dan dialihkan ke tempat yang lebih produkif alamnya dapat berakibat pada kemiskinan akut. Memang, kemiskinan dalam berbagai struktur sosial dalam kacamata fungsionalisme struktural mempunyai nilai fungsional.
Harbert Gans (1972) misalnya, menilai bahwa kemiskinan (terutama di kota) mempunyai fungsi ekonomi dan sosial, kultural, dan politik. Misalnya di Amerika kemiskinanan dalam fungsi politiknya menjadi ukuran mengenai perubahan dan pertumbuhan dalam masyarakat, dan kemiskinan menyebabkan sistem politik menjadi lebih centrist dan lebih stabil.
Namun demikian, Gans memberikan alternatif perubahan sosial bagi ketergantungan pada sistem kemiskinan. Gans mengemukakan bahwa jika orang ingin menyingkirkan kemiskinan, maka harus mampu mencari alternatif lain. Alternatif yang diusulkan Gans adalah otomatisasi.
Otomatisasi dapat menggantikan fungsi si miskin yang semula mengerjakan pekerjaan kotor, untuk kemudian dapat dialihkan kepada fungsi yang lain yang memberikan upah yang lebih tinggi (George Rizer, 2010: 24)
Kemiskinan dapat terentaskan bila seluruh elemen masyarakat, khususnya yang datang dari berbagai daerah yang hendak mengadu nasib di kota-kota besar, dapat mempersiapkan diri dengan produktivitas dan kreativitas yang memadai.
Bagi pemerintah jalan lain bisa ditempuh dengan meningkatkan ketersediaan lapangan pekerjaan dan pengembangan model urbanisasi pedesaan. Dengan begitu akan muncul kota-kota baru yang dapat menjadi destinasi utama masyarakat urban.
Nur Faizin Darain alumnus Pascasarjana Sosiologi UGM dan Pengurus Pusat GP Ansor
(mmu/mmu)











































