Etiket Basa-Basi Ritual Mudik yang Butuh Jembatan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Kalis

Etiket Basa-Basi Ritual Mudik yang Butuh Jembatan

Jumat, 30 Jun 2017 18:48 WIB
Kalis Mardiasih
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Etiket Basa-Basi Ritual Mudik yang Butuh Jembatan
Kalis Mardiasih (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Seperti keriaan jutaan manusia di Indonesia yang menunaikan ibadah mudik, saya pun tak ketinggalan merayakan hari raya dengan pulang ke kampung halaman pada Idulfitri pekan lalu. Sebuah papan iklan raksasa bergambar seorang laki-laki yang tampaknya merupakan pejabat publik terpampang menyambut kehadiran saya, tepat di jalan raya utama menuju alun-alun kota.

Laki-laki dalam potret tersebut ternyata adalah bupati kabupaten sebelah, yang pada papan iklan sedang promosi pariwisata kabupatennya. Suatu hal yang tidak biasa alias nganeh-nganehi.

"Oh. Maklum, dia kan mau nyalon Gubernur provinsi tahun depan," seorang teman berseloroh ketika saya tanya apa maksud dari seorang pejabat publik yang asing tiba-tiba pasang iklan di kota tetangga.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saya jadi terkenang peristiwa bertahun-tahun silam ketika masih menjadi mahasiswa baru di kampus. Sebagai seorang anak dengan jatah bulanan pas-pasan, saya tergiur sebuah proyek yang menawarkan honor lumayan. Kerja lugas proyek itu sederhana saja, yakni membagikan kalender bergambar seorang tokoh yang saat itu kebetulan menjabat menteri dan menempel stiker dengan gambar tokoh yang sama di tiap-tiap pintu rumah.

Konon, Pak Menteri saat itu diprediksi akan maju sebagai capres pada pemilu 2014. Namun, agar terkesan metodis dan substansial, tentu saja tugas kami tidak hanya membagi kalender dan stiker. Kami juga membawa serta sebuah kertas berisikan tiga pertanyaan perihal survei kepuasan masyarakat terhadap kinerja menteri.

Ratusan rumah warga yang sebagian besar bekerja sebagai petani dan pedagang itu seperti iya-iya saja merespons kedatangan tim surveyor. Mereka pasrah menerima kalender dan mengizinkan kami menempel stiker bergambar tokoh publik dan memuat simbol partai. Tetapi, pada saat itulah saya merasa sebagai sosok asing yang mengetuk pintu-pintu asing pula. Soal obrolan, sebut saja itu hanya semacam ritual basa-basi dengan skenario pertanyaan yang telah disusun.

Satu-dua rumah warga yang "kritis" dan merasa kehadiran tim tidak berguna sempat menolak bahkan mengusir kami, dan kami setengah memaksa tetap menyorongkan kalender dengan alasan menjalankan tugas.

Baliho asing di alun-alun kota dan kisah proyek beberapa tahun silam itu menandakan betapa berjaraknya dimensi-dimensi yang menjadi pondasi kebudayaan manusia tiap hari. Bahasa politik kita adalah bahasa baliho iklan yang artifisial. Bahasa komunikasi kerakyatan kita adalah bahasa proyek survei sporadis yang tidak melibatkan interaksi dan partisipasi warga.

Sebentuk keasingan yang lain pernah dicoba budayawan Emha Ainun Nadjib pada akhir Mei 1979. Kala itu, Cak Nun diundang membaca puisi di Ambarukmo Palace Hotel dalam suatu acara bertajuk Dischotique. Gara-gara mengambil keputusan untuk menghadiri undangan itu, teman-temannya sempat meledeknya: Emha elit! Emha baca puisi di hotel!"

Dalam sebuah esai di buku Terus Menerba: Budaya Tanding (1995), Emha justru bercerita dirinya yang kikuk, sebab alam jiwa desanya menemukan bahwa gedung dengan mesin pendingin ruangan bersama berpuluh pasangan manusia bergerak menari di floor diiringi hentakan musik bukanlah realitas pribadinya.

Ia lalu mengambil panggung. Puisi cinta yang dibacakannya terus bergaung menyibak lorong bahasa cinta pribadi yang egois hingga puncak cinta universal dalam kerohanian hingga Tuhan. Emha dan puisi hadir sebagai sepucuk realitas asing di sebuah hotel bintang lima. Emha bertanya, "Kalau sedemikian jauh jarak antara dunia dalamku dengan alam ruangan budaya tingkat tinggi ini, bisakah nanti, dengan puisi-puisi aku memasuki mereka?"

Tetapi, minimal puisi telah mampir, di suatu negeri yang barangkali tak pernah sejenak pun mengingatnya, apalagi membutuhkannya. Ia singgah, menjadi seorang tamu yang disambut, didengarkan, membikin mereka tertawa, sedikit berpikir dan menyimpan bekas-bekas.

Ketika berkumpul dengan saudara di rumah, saya pribadi barangkali menjadi sosok yang paling mati gaya ketika mudik. Lahir dari keluarga petani di desa terpencil, saya mencoba ikut keriaan keluarga dengan bertanya soal apakah anak-anak sanak saudara pintar di sekolah. Namun, di keriaan itu saya tahu, pintar dalam semesta pikiran saya tidak sama dengan pintar dalam semesta pikiran keluarga petani.

Kebanyakan sanak famili lulus SMP dan tetap hidup bahagia. Mereka menikah, beranak pinak dan bersaudara. Pintar dalam keluarga petani adalah rajin membantu orangtua, cekatan dan penuh perhitungan. Ketika saya mencoba bertanya soal hal lain lagi, toh saya paham betul, apa-apa yang mengkhawatirkan dalam pikiran saya bukan menjadi setitik pun kecemasan buat alam pikir mereka.

Keluarga besar di desa ini seperti tidak punya kecemasan apapun dalam memandang dunia. Berkali-kali sawah mereka gagal panen, harga hasil panen merosot, dan ternak mati, tetapi mereka tetap menjalani hidup seperti hari-hari yang normal. Anak-anak mereka yang bekerja sebagai pekerja kasar di kota pulang dengan tidak lebih kaya, tetapi kepulangannya tetap adalah kebahagiaan.

Bagaimana dengan Anda? Apakah perjumpaan setahun sekali yang terbuat dari angkuh dan kerasnya kehidupan kota berhasil membuat Anda menjadi kikuk justru kepada tanah kelahiran sendiri? Periksalah hal itu, ketika kita semua mulai berkomentar soal pedesaan yang sepi, juga ekonomi daerah yang tidak bergerak selekas kota.

Atau, ketika kita berfoto berlatar belakang sawah dan sungai dengan respons yang tidak sama sebagaimana masa kanak dulu, melainkan bagaikan turis-turis dari tempat jauh yang merasa bertemu hiburan sejenak. Sebuah pelarian, mungkin begitu tepatnya.

Pikiran-pikiran kita yang berlarian maju lebih sering tergesa mencari muara-muara praktis dan politis seperti pengakuan dan rupa-rupa materi. Buah karya yang kita hasilkan di kota gagal menginterpretasikan diri untuk menemukan sebuah bahasa yang mampu menjembatani objek komunikasi.

Akibatnya, ia mandek, berjarak, bagaikan sebuah monumen pahlawan tak dikenal di tengah kota atau lukisan berpigura eksklusif yang cuma bisa dilihat dari kejauhan. Seorang cendekia, pegiat politik dan pendidikan, teknokrat, gagal berbahasa, lalu terjenak pada pertanyaan-pertanyaan klise soal jodoh dan besaran gaji.

Mudik, bukankah semestinya menghadirkan realitas diri kita yang paling otentik. Anak-anak yang pulang pada pangkuan bapak dan ibu sebagai kanak-kanak yang jujur dan rindu kasih sayang, lebih penting dibanding mobil-mobil berplat ibukota di halaman atas nama kompetisi gengsi.

Pulang pada tanah kelahiran, bukankah semestinya menghadirkan arif bahasa lokal, berbincang soal-soal yang dekat, seperti gemerisik daun jagung yang mulai hilang atau kupu-kupu dan serangga yang punah ditelan pembangunan sebab bunga dan rerumputan telah berubah jadi bata dan beton?

Ritual tanpa basa-basi itulah yang selama ini kita rindukan sebagai jembatan, antara wacana-wacana di kota dengan kompleksitas sejati di daerah. Penyambung lidah rakyat, bagi Cindy Adams ketika memberi julukan pada Sukarno, Sang Proklamator, adalah tentang kecakapannya untuk berorasi menggunakan politik bahasa yang menggugah sisi sadar rakyatnya buat ikut berpikir memperjuangkan kemerdekaan.

Kalis Mardiasih menulis opini dan menerjemah. Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama. Dapat disapa lewat @mardiasih
(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads