Ada banyak jawaban, sesungguhnya, tapi ini paling membekas: sudah begitu sejak dulu. Sejak dulu itu sejak kapan? "Sejak bapak-ibu masih kecil, kakek-nenekmu juga sudah begini," jawab ibu beberapa lebaran silam, ketika beliau masih hidup. Ya, ibu sudah wafat, dan bapak telah lebih dulu meninggal dunia. Sudah tiga Lebaran ini tidak ada lagi kesibukan di rumah ibu menyambut anak, cucu, dan menantu.
Tapi, sekarang saya menjadi sedikit lebih paham mengapa Lebaran kita rayakan, dengan pulang kampung, berkumpul dengan kedua orangtua dan saudara, sanak kerabat, handai taulan, dan teman-teman masa kecil yang telah dewasa dengan kehidupan masing-masing saat ini. Semua itu sesungguhnya untuk merayakan fitrah kita sebagai manusia. Memanusiakan manusia. Memperjumpakan manusia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kini, kita jauh meski dekat. Pagar dan dinding rumah sudah berwajah baru, gelas dan piring sudah dimuluskan lagi, toples-toples sudah diatur di meja, namun yang datang kepada kita hanya ucapan Lebaran via Whatsapp. Potret-potret yang diunggah nun dari jauh; tak cuma satu, tak bisa mengalahkan foto selembar yang dicetak dengan doa dan rindu perantau yang tak bisa pulang.
Pada mulanya, jaraklah terutama yang menjauhkan kita. Pada akhirnya, waktu turut pula melebur menjadi jarak. Tapi, bukan karena ada "jarak" --sebagaimana satuan jarak yang kita pahami; dari mili hingga kilometer, melainkan justru karena tidak ada. Ya, tak ada jarak waktu untuk keluarga. Waktu kita gunakan rapat serapat-rapatnya sehingga tiada lagi jeda, sekadar jeda, untuk jadi manusia yang fitrah.
Teknologi telah mengubah kita menjadi mesin, jika bukan robot. Kebutuhan atas uang untuk memenuhi nafkah hidup telah menjadikan kita kalkulator. Kebutuhan atas berlibur telah menyebabkan kita kerja sebegitu keras. Kebutuhan atas makan minum telah melalaikan kita dari pola makan sehat. Kebutuhan atas hidup yang lebih baik telah mendorong kita berbuat buruk, sesekali atau sering.
Sungkem yang dulu sedemikian alami, sekarang memerlukan pengarah gaya dan fotografer dadakan. Perlu diulang jika gambarnya kurang bagus. Dulu, justru asyik jika berebut lauk ketika tiba waktu makan bersama keluarga besar, apalagi yang hanya bertemu setahun sekali, kini sebaiknya antre yang rapi, boleh dengan gaya bebas asalkan tetap fotogenik --dengan jempol atau dua jari teracung.
"Itu untuk mengabari saudara-saudara yang tidak bisa pulang, kok," sergah kita. Ya, tapi kita mengunggahnya ke media sosial. Seolah, hmmm, kita semua telah hapal lanjutannya: dunia harus tahu! Ya, dunia harus tahu. Tidak cukup hanya diunggah di Whatsapp Group Keluarga, atau dikirim japri. Batas-batas privasi telah kita hapus sendiri, meski lalu kita tetap menuntut privasi kita dihormati.
Memang, kebahagiaan sebaiknya tidak dirasakan sendiri. Alangkah baiknya jika kita share, kita bagi. Bagus, hanya saja, persoalannya adalah bagaimana agar kita konsisten menebarkan kebahagiaan belaka, bukan kesedihan, apalagi hal-hal lain yang sifatnya privat. Lagi pula, ada saja yang berpendapat bahwa," yang menampakkan kebahagiaan di media sosial belum tentu bahagia betulan!"
Aih, betapa susah menjadi manusia yang sesuai fitrahnya. Atau, jangan-jangan ya memang begitulah fitrah manusia? Tak suka disekat, kemudian membuat sekat. Marah dilanggar batasnya, tapi lantas melampaui batas. Enggan didebat, tapi gemar membantah. Benci disalahkan, namun hobi menghakimi. Meminta maaf, lalu mengulangi kesalahan. Mengajak rukun, namun menyulut permusuhan.
Menurut saya, kita memang perlu untuk berlebaran tiap tahun. Selain untuk bisa berkumpul dengan keluarga besar -dan bersyukurlah jika masih bisa sungkem kepada orangtua- juga untuk merenung sekali lagi," Apa sesungguhnya makna Idul Fitri?" Apakah sekadar merayakan waktunya berbuka setelah berpuasa satu bulan di Bulan Ramadan? Apakah untuk kembali fitrah? Adakah yang paling tahu?
Atau, jika Lebaran kali ini tak bisa mudik, cobalah menelepon ke kampung halaman. Dulu, ketika di rumah tidak ada telepon, kita bahkan meminjam telepon tetangga, atau pergi ke wartel. Kini, ponsel sudah di genggaman. Semoga ada pulsa, semoga cukup kuota, semoga sinyal bagus, dan lebih dari itu: semoga ada waktu. Saya kini hanya bisa menyesal ketika ibu dan bapak sudah tiada dan saya rindu.
Candra Malik budayawan sufi
(mmu/mmu)











































