Manusia Pemuja Setan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Ramadan

Manusia Pemuja Setan

Jumat, 09 Jun 2017 13:36 WIB
Riduan Situmorang
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Riduan Situmorang (Foto: Dok. Pribadi)
Jakarta - Semakin memuja kesejatian, manusia ternyata justru semakin memuja setan. Manusia menjadi budak-budak setan. Manusia saling tubruk tanpa ampun. Dalilnya, hidup ini keras. Maka, kalau ingin bertahan hidup, jadilah keras! Jangan sesekali lemah karena itu akan mengantarmu pada kematian.

Manusia menjadi seperti badak, kata budayawan Jakob Sumarjo. Maka itu, hukum kasih, keharmonisan, gotong royong, kekeluargaan, bahkan agama mendadak expired. Karena expired, kini dia sudah menjadi racun. Mengonsumsinya sama saja dengan menabung racun.

Ironisnya, kita justru semakin lahap mengonsumsi agama yang sudah beracun itu. Kita semakin sering beribadah; beribadahnya bahkan jauh-jauh. Ada yang sampai ke Arab, ke Yerusalem, ke India, dan masih banyak lagi. Tak cukup sekali, harus berkali-kali. Celakanya, buah dari ibadah itu kering. Motivasinya pun sangat dangkal.

Beribadah jauh-jauh dicukupkan semata-mata hanya untuk urusan bertamasya dan berfoya-foya. Bahkan, itu dilakukan semata-mata untuk menunjukkan keakuan, keberhasilan, dan kekuatan. Hanya untuk pamer-pameran.

Betapa tidak, itu dilakukan berbarengan dengan ketika ada banyak anak yatim terlantar, ketika puluhan ribu orang terpinggrikan karena bencana moral dan alam, ketika jutaan orang miskin terlunta-lunta, ketika balita dikepung busung lapar, ketika anak yatim-piatu menjadi budak, ketika manusia-manusia terkucil hanya makan nasi aking.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apakah sebenarnya tidak lebih elok kalau biaya ibadah-tamasya itu dihibahkan kepada mereka sehingga dengan begitu, ibadah kita menjadi membumi dan bukan mengapung?

Nyatanya tidak. Kepedulian babak belur, belarasa mendadak usang, dan keculasan menemui definisi terbaiknya. Dalam bahasa Ali Mustafa Yaqub, di sinilah kita nyata-nyata menjadi haji pemuja setan (Gatra, 16/01/2006). Maksud saya bukan haji dalam pengertian Islam. Haji itu adalah kita secara keseluruhan. Yang berkoar dan doanya disusun dengan kata-kata indah, tapi minim perbuatan. Yang mengunjungi rumah ibadah serajin-rajinnya, tapi tetap menjadi koruptor.

Hampir di segala sendi kita begitu. Maka itu, sesekali Tuan dan Puan jangan lagi mencari hati nurani dan keteduhan, apalagi keikhlasan. Semua itu sudah usang dan omong kosong. Semuanya sudah melulu bisnis, tidak ada lagi kemurahan hati.

Semuanya sudah bermotif kepentingan. Kebaikan diukur dari seberapa untung. Keikhlasan dikapitalisasikan. Bahasa seikhlasnya dikonversikan dengan keinginan. Kita membantu, ya, supaya dapat bantuan untuk memuluskan kepentingan. Atau, setidaknya, supaya kita mendapat predikat sebagai orang dermawan di mata masyarakat.

Gelaja ini sebenarnya sudah lebih dulu diramalkan oleh Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nation (1776). Di sana Smith berkata, "Kita mendapatkan makan malam bukan karena kemurahan hati tukang daging, pembuat bir, atau pembuat roti, tapi dari penghargaan mereka pada kepentingan mereka sendiri. Bukan karena kemanusiaan mereka, tapi karena cinta mereka pada dirinya sendiri. Dengan mengejar kepentingan sendiri, dia secara tak sengaja mempromosikan kepentingan publik."

Perkataan itu dengan tegas mengantar kita bahwa kalau orang lain berhasil, itu bukanlah karena kebaikan kita, tapi karena dia berhasil menjaga kepentingannya. Sebaliknya, orang lain pun gagal bukan lagi karena kekurangpedulian kita, tapi karena dia terlalu peduli pada orang lain sehingga kepentingannya ludes.

Pesannya tegas, urusilah kepentinganmu. Tak usah peduli. Nasibmu bergantung padamu, bukan pada orang lain. Kita lahir sendirian dan mati pun sendirian. Maka itu, berjuanglah sendirian. Orang lain hanya saingan yang sesekali dapat menerkammu.

Kita benar-benar menjadi pemuja setan. Atau, dalam bahasa Thomas Hobbes, kita menjadi serigala bagi manusia lain. Nyawa menjadi urusan akumulasi waktu. Tak perlu ditangisi karena semua orang akan mati. Jangan habiskan waktumu untuk berdukacita. Time is money. Kalau tak menghasilkan uang, jangan habiskan waktumu.

Hidup ini hanya sekali, maka nikmatilah berkali-kali. Abaikan orang lain jika tidak bisa menghasilkan. Bertemanlah hanya kalau itu menguntungkan. Sebab, orang lain adalah komoditas. Orang lain adalah mesin produksi. Jika mesin itu macet, segera tinggalkan. Jangan buang-buang energi!

Itulah sebabnya, para kaum borjuis dan elite lebih suka berteman dengan sesamanya. Berfoya-foya di hotel, arisan di mall, merayakan ulang tahun dengan bermewah-mewah. Tak pernah mereka menjenguk orang-orang terpinggirkan. Sebab, orang terpinggirkan adalah komoditas yang tak menghasilkan, malah justru merugikan.

Hasilnya, lihatlah rasio gini kita kian tahun kian curam. Terjemahan dari rasio gini adalah di mana kaum elite bersekongkol dengan kaum elite untuk menindas kaum-kaum terpinggirkan. Orang kaya semakin kaya, dan orang miskin semakin miskin.

Ya, manusia menjadi pemuja setan. Hampir di setiap waktu, termasuk pada masa puasa seperti ini. Masa di mana seharusnya kita menuju kesejatian. Tapi, pada masa puasa itu, kita justru acap lebih sibuk mengurusi godaan, bukan tantangan.

Kita lebih sibuk sweeping agar warung ditutup. Padahal puasa itu adalah menghikmati bagaimana kita melawan godaan, menghikmati bagaimana merelakan agar orang yang tak berpuasa bisa makan dengan tanpa sungkan, misalnya.

Padahal lagi, puasa itu bukan semata tidak minum dan makan saja. Puasa adalah perayaan kemanusiaan. Memberi orang lain makan, terutama mereka yang terpinggirkan. Namun, kini tolehlah pada kehidupan kita. Apakah kita peduli? Tidak! Kita justru lebih sering berbuka dengan bermewah-mewah, padahal banyak orang tak bisa makan.

Bahkan lagi, pada masa puasa, konsumsi kita bukannya menurun, malah semakin dahsyat. Yang lebih memiriskan, masa puasa justru menjadi lahan bisnis bagi para cukong dan spekulan. Mereka suka menaikkan harga. Modusnya dengan melangkakan barang.

Pada akhirnya, orang miskin menjalani puasa hanya untuk merasakan harga-harga barang kebutuhan yang semakin mencekik sehingga mereka tidak bisa makan. Siapa peduli? Tidak ada. Sebab, kita hidup bukan lagi dipersatukan oleh rasa, tapi oleh kepentingan. Jika kepentingan itu tidak ada, maka kita dengan sedemikian gesitnya akan bercerai-berai.

Melihat fakta itu, barangkali di ujung sana, setan pun terbahak-bahak. Jam terbangnya menggoda manusia ternyata tidak sia-sia selama ini. Dengan kelicikannya, setan itu telah berhasil memperdaya agar manusia suka berpenampilan religius, tapi berotak fulus. Berpelesiran spiritual, tapi dangkal rasa. Hasilnya, ibadah kita ibadah kering dan kita tinggal di dalam keserakahan kita. Kita menjadi pemuja setan. Atau, jangan-jangan sudah menjadi setan itu sendiri? Oh!

Riduan Situmorang Pegiat Kebudayaan di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan di Toba Writers Forum (TWF) Medan, Penulis Buku Konspirasi Suci


(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads