Menjadi Relijius Secara Manusiawi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Kalis

Menjadi Relijius Secara Manusiawi

Jumat, 09 Jun 2017 11:28 WIB
Kalis Mardiasih
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Kalis Mardiasih (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Dalam satu kisahnya di buku kumpulan cerpen The Seven Good Years yang berjudul My Lamented Sister, Etgar Keret bercerita tentang kakak perempuannya yang mendadak memilih jalan hidup relijius. Dalam gaya penuturan khas yang panen humor, Keret menggambarkan kekikukannya menghadapi kakaknya yang kini memiliki sebelas anak, memiliki sikap lain dan menggunakan bahasa Yiddi. Ia menganggap kehidupan Keret adalah sesuatu yang dangkal sebab tidak menuju ke arah yang lebih dalam, yakni akhirat.

Ayah Keret adalah seorang korban Holocaust, yang juga selalu menganjurkan Keret untuk hidup relijius. Sebab baginya, dalam situasi perang yang hanya menjamin umur pendek, menjadi rabi adalah pilihan terbaik untuk mendapat ketenangan hidup dalam situasi konflik. Akan tetapi, Keret memilih cara lain.

Ia memilih menertawakan keparadoksan manusia, dan menjalani hidup sebagai seorang Yahudi yang ketakutan pada suara bom Hamas, dan merasa marjinal ketika berada di Eropa, Timur Tengah maupun negara mayoritas Islam lain karena rasnya dibenci berdasarkan legitimasi yang diberikan oleh kitab suci dan sejarah. Keret adalah sebuah ambivalensi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Banyak faktor di dunia ini yang menjadikan seseorang mendadak relijius. Situasi perang, sakit parah, perceraian, atau kematian famili secara mendadak. Pada usia menjelang dewasa, kita seringkali menemukan lingkar pergaulan kita juga berubah.

Di beranda Instagram saya, misalnya, beberapa teman yang dulu ketika kuliah berpenampilan biasa saja, kini berpakaian tertutup dan anggun serta belajar agama lebih rajin, tentu dilengkapi dengan foto bersama suami dan anaknya yang menjadi objek harapan banyak doa yang ia panjatkan itu.

Pengalaman semacam itu ternyata juga diaminkan oleh Nurfitri Djatnika alias Upit, perempuan mantan penggebuk drum band Harapan Jaya. Pergaulan para anak band, kata Upit, juga banyak berubah setelah menikah dan masing-masing memiliki anak.

"Perasaan butuh agama semakin hadir," tuturnya.

Di bawah pohon-pohon teduh bersama udara lembab Dago Atas di Taman Hutan Raya Bandung, saya mendapat cerita tentang para musisi yang bertaubat, atau dalam bahasa kiwari diistilahkan dengan berhijrah.

Kurt Cobain hingga Chris Cornell yang mati bunuh diri karena over-depresi merupakan potret kehidupan buram para musisi. Seniman, atas nama perfeksionisme pada karya dan kreativitas, sering lari pada alkohol, kecanduan obat-obatan, tenggelam dalam pesta malam, dan seks bebas.

Cobain dan Cornell sayangnya tidak sempat mengenal konsep puasa. Dalam agama, puasa hadir untuk memberi batas pada ekstase-ekstase kebahagiaan maupun kesedihan berlebih yang seringkali menghinggapi jiwa manusia dalam bentuk kekosongan. Mereka yang berhijrah bisa dibilang beruntung sebab bertemu sebentuk alternatif yang baik dan tepat.

Upit bersama suami, Eggi Fauzi dan beberapa rekan seperti Alga Indira 'The Panas Dalam', Tri Asayani dan Akbar Siregar kemudian membentuk Komunitas Musisi Mengaji (Komuji). Perjalanan Komuji tidak sederhana.

Pada 2011, di acara pertama yang bertajuk Tasawuf For Beginners yang menghadirkan KH Dang Fathurrahman dan Ucay eks Rocket Rockers, mereka ingin memberi akses kepada teman-teman musisi yang ingin belajar agama tetapi malu dan tak layak karena bertato, sungkan memakai simbol-simbol agama, dan jarang ke masjid.

Seiring waktu, para penggagas Komuji justru menemukan implikasi baru. Teman yang hijrah memiliki dua kemungkinan. Pertama, jatuh pada bentuk ekstremitas yang justru mengasingkan diri, lalu mengharam-haramkan musik dan aktivitas seniman lainnya. Kedua, menyempal dari agama.

Keyakinan bahwa Tuhan menyapa manusia lewat beragam keindahan, seperti bahasa Al Qur'an yang puitis dan ritmis yang digunakan untuk menyapa manusia menguatkan telisik perihal fenomena itu. Pada mulanya dunia selalu berupa kata, garis, dan gerak, lalu atas nama keragaman, dunia mewariskan keindahan dalam karya-karya seni.

Kebetulan, Upit dan Eggi menemukan oase di dalam sebuah thariqah yang memberikan mereka pengetahuan, pengalaman dan nilai lain dalam menyikapi musik dan kebudayaan. Berdasarkan bekal itulah, pada 2013 mereka menggelar acara bertajuk Music Bless yang digelar di Bober Cafe, Jalan Sumatera, Bandung.

Acara itu dibina oleh KH Dang Fathurrahman, Ustaz Yajid Kalam dan Ustaz H Fahri. Sambil menikmati sajian musik mereka mengobrol seputar, benarkah musik haram dan musik apa yang sesuai dengan syariat Islam.

Menyimak cerita Teh Upit dan Kang Eggi merupakan teguran keras buat diri saya sendiri. Pada bulan Ramadan ini, setiap hari Komuji menggelar acara belajar Al Qur'an di Gramedia Merdeka, Bandung. Lewat grup Whatsapp, saya mendapati kiriman gambar teman-teman yang begitu antusias belajar mulai dari memperbaiki makharijul huruf hingga tafsir ayat. Tidak banyak, namun ada sesuatu yang didapat setiap harinya.

Mengingat latar perjalanan dan kesungguhan niat teman-teman, tentu saya menghaturkan maaf pada prasangka itu. Di Komuji, teman-teman dengan sabar meluangkan energi, waktu dan materinya untuk mempersembahkan potret keramahan Islam.

Eggi, sebagai salah satu penggagas, misalnya, terlahir dari keluarga dengan kultur pendakwah agama. Ia mestinya sudah banyak belajar soal Islam, tapi ia meniatkan diri untuk membersamai teman-temannya yang lain belajar agama meskipun dari yang paling dasar.

Ketulusan niat seperti yang diperlihatkan Eggi dan kawan-kawan Komuji itu mestinya jadi nasihat bagi teman-teman lulusan pesantren, atau pihak-pihak yang merasa telah berbuat banyak untuk agama. Seringkali, orang yang dengan niat ikhlas ingin mendekat kepada agama justru bertemu pada wajah Islam yang seram atau wajah Islam yang terlampau cuek.

Sayangnya, kedua wajah itu bukan benar-benar memperlakukan agama sebagai sebuah tali untuk berpegangan ketika diri hilang arah, tapi menjadi tali yang mengekang pada leher-leher mereka agar mudah ditarik untuk diarahkan pada kepentingan politik atau kepentingan sosial tertentu.

Perdebatan soal halal-haram musik telah terjadi sejak lama. Banyak pemikir muslim menganggap kesenian bukan bagian dari Islam sebab melihat fakta bahwa pada masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin hampir tidak ada ruang buat kesenian. Tentu hal itu wajar, mengingat medan dakwah Rasulullah ketika itu adalah merombak satu sistem masyarakat dari yang politeistik dan yang tidak mempunyai nilai moral tinggi kepada ajaran tauhid dan akhlak.

Dan, ketika hijrah ke Madinah, ia sudah harus menghadapi masalah politik dan kemiliteran yang cukup rumit, bahkan konflik geopolitik itu sambung-bersambung hingga kini. Tapi, zaman terus berkembang. Kebudayaan Islam pernah menghasilkan karya sastra dan seni adiluhung pada masa dinasti Bani Umayyah di Damsyik, Bani Abbas di Baghdad serta kejayaan Andalusia.

Perdebatan bagaimana mengislamkan Oedipus atau Antigone dan menyesuaikan sifat anti Tuhan serta libertarian ala Eropa ke dalam sifat sosial Islam telah sering dibahas. Sejarah Indonesia sendiri memiliki zaman emas ketika para wali mengislamkan kisah-kisah wayang yang penuh mitologi kepada jalinan cerita yang lebih logis dalam relasi baik-buruk dan sebab-akibat perilaku manusia yang digambarkan dalam semesta kayon atau gunungan.

Komunitas Musisi Mengaji yang sering beraktivitas di Bandung memberi kabar pada kita bahwa Islam bisa berada benar-benar di tengah dalam memperlakukan dunia dan akhirat. Semoga Allah memberi kemudahan atas ikhtiar mereka dalam menciptakan sesuatu yang tidak hanya bersifat benar dan baik, namun juga indah. Itulah komposisi musik bagi jiwa.

Kalis Mardiasih menulis opini dan menerjemah. Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama. Dapat disapa lewat @mardiasih


(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads