Qatar dianggap Arab Saudi sebagai negara yang menyokong aliran dana untuk teroris. Di antaranya mendukung ISIS, Al Qaeda dan Ikhwanul Muslimin. Selain itu, Qatar sedang terlibat dalam hubungan harmonis dengan Iran yang notabene rival utama Arab Saudi.
Perseteruan tersebut berawal dari berita yang menyebutkan bahwa pemimpin Qatar memuji Iran sebagai kekuatan global di Timur Tengah. Kemudian, ditambah dengan pernyataan bahwa Qatar ingin mengajak negara-negara Timur Tengah untuk melibatkan diri secara ekonomi dengan Iran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, apa daya Arab Saudi telah melakukan manuver. Arab Saudi langsung memutus hubungan diplomatik secara total dengan Qatar. Keputusan yang mengejutkan tersebut rupanya diikuti oleh sebagian sekutu mereka di wilayah Teluk. Belakangan Libya Timur, Maladewa, dan Mauritania ikut menghentikan hubungan diplomatik dengan Qatar.
Ada beberapa hal yang patut dicermati oleh Qatar dalam menyikapi keputusan Arab Saudi dan para sekutunya. Pertama, efek Donald Trump. Tak dapat dipungkiri, kedatangan Trump ke Riyadh secara tidak langsung menggerakkan situasi dan menghadirkan gejolak di Timur Tengah. Trump berpidato dan membuat kesepakatan di hadapan 50 pemimpin muslim untuk menghentikan radikalisme dan menghancurkan terorisme.
Lebih lanjut, Trump menyatakan bahwa Iran wajib diperangi karena mendukung gerak teroris. Bagi negara yang mendukung Iran maka negara tersebut juga akan diisolasi. Alhasil, Qatar adalah negara pertama yang diisolasi setelah kesepakatan Trump dengan Arab Saudi dan sekutunya.
Dalam hal ini pula, Trump membuat hawkish effect yaitu kebijakan agresif secara politik tanpa kompromi. Trump menyadari bahwa Iran adalah satu-satunya negara yang tak bisa dikendalikannya. Oleh karenanya, Trump mencoba mengerahkan kekuatan untuk menjaring sebanyak-banyaknya negara sekutu untuk memperkuat aliansi antiterorisme dan radikalisme. Kebijakannya tersebut telah dirancang dan menetapkan Riyadh sebagai pusat antiradikalisme.
Kedua, peran Iran dan Turki. Iran adalah negara pertama yang mengecam atas tindakan sewenang-wenang Arab Saudi menuduh Qatar sebagai negara pendukung teroris. Begitu pula Iran juga mengecam Trump yang intervensi terhadap urusan dalam negeri Timur Tengah.
Sejak 2016, Qatar memang telah melakukan hubungan mutualisme dengan Iran. Hal ini karena Qatar menjalankan kebijakan integrasi globalisasi ekonomi. Jadi, Qatar ingin memperkuat ekonominya dengan mencari kawan sebanyak-sebanyaknya. Tak peduli itu Arab Saudi, Iran maupun Turki.
Imbas dari keputusan Arab Saudi yang mengisolasi Qatar, Turki melalui menteri luar negerinya ikut prihatin dengan keputusan Arab Saudi yang semena-mena. Turki ingin membantu akan tetapi menghadapi dilema karena di satu sisi mereka mendukung kebijakan Arab Saudi untuk melawan teroris. Di sisi lain Turki melakukan hubungan bilateral dengan Qatar baik secara ekonomi, politik, maupun keamanan.
Akhirnya, Turki melakukan keputusan berani dengan mendukung Qatar sepenuhnya. Bahkan beberapa pejabat Turki telah menyatakan dukungannya melalui media sosial mereka dengan menyertakan hashtag TurkeywithQatar. Sebuah keputusan yang mirip buah simalakama.
Ketiga, konflik ekonomi dan politik. Qatar menjadi ancaman serius bagi Arab Saudi dalam hal perekonomiannya. Sejak Emir Sheikh Tamam bin Hamad Al Thani memimpin, perekonomian dan kebijakan politik Qatar meningkat positif. Di antaranya mendirikan stasiun Al Jazeera, cadangan gas alam meningkat, menjamin hak asasi masyarakat dan memperbolehkan pendirian gereja Katolik.
Selain itu Qatar telah memperlebar perekonomiannya dengan hadirnya Qatar Airways yang secara tidak langsung akan menjadi rival utama bagi Saudi Airlines. Ditambah lagi, Qatar akan menjadi tuan rumah perhelatan akbar Piala Dunia sepakbola tahun 2022. Hal ini yang membuat Qatar menjadi pusat perhatian di Timur Tengah sehingga membuat sekutunya Arab Saudi bersikap was-was.
Sejatinya Arab Saudi ingin mengisolasi pergerakan yang begitu masif dari Qatar sejak 2014. Ketika itu, Arab Saudi menarik duta besarnya karena Qatar mendukung Ikhwanul Muslimin dan terlalu intervensi terhadap Gulf Council Cooperation (GCC). Namun, momentum yang tepat baru hadir pada 2017.
Berita mengenai dukungan Qatar kepada Iran dan Israel harus diperkuat, yang membuat Arab Saudi cukup berhati-hati. Maka, hal tersebut menjadikan pemicu yang tepat untuk menghambat perekonomian Qatar.
Ekonomi adalah akar dari perseteruan Qatar dan Arab Saudi. Pemicunya adalah kehadiran Trump di Riyadh dan sebuah 'berita' dari Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani yang menyebutkan Iran adalah kekuatan "global" dan hubungan dengan Israel harus diperkuat.
Agama bukanlah menjadi permasalahan karena Qatar dan Arab Saudi sama-sama bermazhab Sunni. Bisa jadi Qatar tak salah dalam menerapkan kebijakan ekonomi. Hal ini karena secara jelas Qatar ingin memperlebar sayap perekonomian dengan integrasi ekonomi.
Namun, karena Qatar tak mau memilih kawan atau lawan maka hal tersebut menyebabkan untuk saat ini Qatar terisolasi dari sekutunya. Jika dilihat lebih dalam lagi konflik di Timur Tengah selalu berkaitan dan tak lepas dari ekonomi dan kepentingan politik.
Moddie Alvianto Wicaksono Pegiat Gerakan Sadar Politik Internasional Yogyakarta










































