Dua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab!
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Ramadan

Dua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab!

Senin, 05 Jun 2017 12:15 WIB
Anis Ardianti
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Anis Ardianti (Foto: Dok. Pribadi)
Jakarta - Saya lahir di generasi yang setiap Senin masih upacara bendera serta hapal luar kepala isi dan butir Pancasila. Beberapa hari ini butir-butir Pancasila kembali viral lewat jejaring sosial, saya tersenyum membacanya. Sungguh bagus-bagus sekali isi butir-butir Pancasila itu. Saya berniat membagikannya kepada anak-anak saya sembari cerita sedikit yang saya tahu tentang Pancasila.

Tapi, belakangan saya dengar ada ribut-ribut soal Pancasila. Saya tidak mengerti apa yang sebenarnya diributkan. Waktu dan perhatian saya lebih terserap pada tumbuh kembang empat anak saya, mengusahakan agar mereka tumbuh dan berkembang secara optimal, fisik, hati dan jiwanya, sambil mengabdikan diri pada kegiatan alumni almamater saya.

Bicara tentang hati dan jiwa, suatu pagi yang belum lama, ada dua kejadian di depan mata yang menyentak hati saya, ketika masih sibuk urusan domestik. Pertama, sepulang saya dari mengantar anak-anak ke sekolah, saya melihat sepasang suami istri usia paruh baya sedang berupaya mengangkat jeruji selokan yang tentunya cukup berat. Tangan si Bapak menyelip dari sela jeruji yang terangkat, merogoh-rogoh ke dalam selokan yang sempit, kotor dan bau. Istrinya mengawasi dengan wajah miris.

"Ada apa, Bu?" tanya saya sembari menepikan motor.

"Ayam, jatuh ke selokan," jawabnya.

"Ayam hidup?" kejar saya. Saya merasa perlu menanyakannya, karena si Ibu berjualan sayur dan ayam potong di depan rumahnya. Ya, siapa tahu?

"Iya. Ayam kecil banget. Kasian dia jatuh," jawabnya sambil menunjuk.

Tak jauh dari situ saya lihat memang ada induk ayam dan lima anaknya sedang mengais tanah mencari makan. Induk ayam tampak sibuk. Dasar ayam, mungkin juga tidak merasa kalau anggota keluarganya hilang satu. Kasihan anak ayam itu. Pasti rasanya bagai ayam kehilangan induk, secara harfiah. Ditambah terjebak di selokan pula. Kalut habis.

Perjuangan si Bapak dan Ibu yang menyemangatinya berbuah manis, anak ayam selamat dan berhasil dipertemukan lagi dengan keluarganya. Walau reaksi induk ayam dan saudara-saudaranya tampak biasa saja, seperti tidak ada hal dahsyat yang terjadi, buat saya ini cukup mengharukan. Betapa manusia memiliki akal budi dan naluri untuk membantu sesama. Indahnya.

Apakah kehalusan budi si Bapak dan Ibu itu perwujudan dari sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab? Atau, Ketuhanan yang Maha Esa. Ah, Anda lebih tahu. Saya hanya meyakini keduanya orang baik yang semoga masih banyak tersebar di bumi Indonesia.

Lalu, kejadian yang kedua, terjadi dalam perjalanan ke kantor. Seperti biasa, setelah kelar urusan pagi hari, saya bergegas ke pusat kota. Sebagai roker, alias rombongan kereta, saya selalu memilih moda transportasi KRL untuk membantu mobilitas saya. Kereta tidak terlalu penuh pagi itu, namun saya baru mendapat tempat duduk satu stasiun sebelum saya turun. Tidak apalah saya duduk sebentar daripada tidak sama sekali, pikir saya.

Di Stasiun Sudirman kejadian kedua menghampiri saya. Di trotoar, saat saya sedang berjalan menuju kantor saya berpapasan dengan seorang anak perempuan, sepantaran anak sulung saya. Usianya mungkin 13 tahun. Anak itu cantik. Bermata sayu, tidak terlalu gemuk, juga tidak terlalu kurus, berambut sebahu kemerahan. Jari kirinya menjepit sebatang rokok dan ketika mata saya naik sedikit ke atas, saya melihat lengan bagian dalamnya penuh sayatan.

Sambil tetap jalan saya merasa seperti menabrak sesuatu. Anak perempuan itu berjalan dengan teman laki-laki yang tampaknya sedikit lebih tua darinya. Sedikit percakapan yang terdengar, anak laki-laki itu berseru, "bego sih, lu!" ke anak perempuan. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. Saya tidak tertarik dengan obrolan mereka. Gambaran lengan penuh sayatan itu tidak lekas hilang dari ingatan saya.

Dulu sekali, saya pernah punya teman yang mantan pemakai narkoba. Dia bercerita tentang pengalaman hidupnya sambil menunjukkan bekas sayatan di lengan yang sudah samar. Saya sangat bersyukur dia sudah sembuh.

Tapi, anak perempuan tadi? Anak yang sepantaran dengan anak sulung saya yang masih suka minta dipeluk dan dicium? Bekas sayatannya tampak baru kering, dan ada banyak sekali. Mungkin lebih dari 20.

Duh, Nak. Apa yang kamu alami dalam hidupmu? Saya tak sanggup membayangkannya. Saya menoleh ke belakang, dua anak itu sudah tidak tampak. Saya sedih sambil merutuki diri saya yang tidak bisa berbuat apa-apa saat itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hari-hari ini, orang-orang juga ramai membahas persekusi. Apa itu? Barang baru yang tiba-tiba mencuat di media sosial tanpa pernah kita gunakan dalam percakapan sehari-hari. Betapa berjarak kita sesungguhnya dengan sejumlah kosakata baru.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, persekusi adalah pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah, atau ditumpas. Nah, bukankah yang dialami oleh anak perempuan itu tadi juga persekusi? Ia diburu oleh dunia gelap jalanan, mungkin juga oleh ancaman kekerasan seksual, pergaulan bebas, kekerasan fisik dan narkoba. Ia hanya satu di antara banyak anak lain yang terancam keselamatannya. Dan, itu terjadi setiap hari di depan mata kita!

Saya jadi terpikir, ada banyak, teramat banyak malah, hal yang bisa kita lakukan untuk menolong makhluk lain di sekitar kita, sebenarnya β€”asal kita lebih fokus pada keadaan sekeliling. Adakah yang membutuhkan pertolongan kita? Mungkin belum sebesar menyelamatkan anak jalanan dari narkoba.

Mungkin cukup menyelamatkan anak ayam yang jatuh ke selokan. Atau, memberi kursi pada orang tua di kereta, memungut batu besar di jalan yang mungkin mencelakai pengendara motor, menyiram tanaman yang kekurangan air, memberi makan kucing atau anjing yang kelaparan, menyetop anak yang terlalu lama main gawai. Apa saja.

Pasti banyak yang bisa kita lakukan apabila kita tidak terlalu sibuk menilai orang lain. Menjelek-jelekkan orang yang tidak berada di jalan yang sama. Memupuk kebencian. Merekrut anggota baru untuk ikut membenci orang yang kita benci. Memojokkan dan menghitung dosa orang lain, sembari merasa diri suci bebas dari dosa. Astaghfirullah al-adzim, semoga saya bukan termasuk golongan orang yang demikian.

Pasti banyak yang kita bisa lakukan, asal kita bisa fokus pada sekitar dan mengerahkan energi kita untuk menolong sesama. Saya yakin ini hal yang sangat mudah yang bisa kita lakukan. Tidak perlu pandai matematika, tidak perlu gelar sarjana. Nyaris tidak ada syarat dan ketentuan. Hanya butuh niat dan ketulusan hati.

Semoga Allah senantiasa memberikan ketajaman rasa dan kekuatan untuk berbuat baik. Dan, semoga Ramadan ini membawa kebaikan dan keberkahan untuk kita semua. Amin ya Rabb!

Anis Ardianti ibu rumah tangga



(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads