Duduk berdua saja, di antara keriuhan di studio lukis Jeihan di Padasuka, Bandung kami mengobrolkan suwung, dimensi di mana waktu tak lagi bergerak dan ruang tak lagi berubah. "Saya membaca buku Anda yang berjudul Makrifat Cinta. Ya, bagus, sangat bagus, tapi masih lemah. Anda harus naik lagi ke maqam suwung," kata pelukis kelahiran Solo, 26 September 1938 ini.
Menurutnya, meski telah mencapai tataran makrifat, cinta tetap saja labil dan tak pelak menyebabkan seorang sufi masih bisa goyah. "Ketika yang kita cintai juga dicintai orang lain, kita cemburu. Ketika cinta terkena virus, sebut saja benci, kita melemah, bahkan bisa lantas berubah," jelas Jeihan. Berbeda dengan suwung yang tiada sesuatu di dalamnya selain kosong.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Membuka pameran tunggal lukisan dan peluncuran buku berjudul Suwung pada Kamis 1 Juni 2017, Jeihan menyihir para hadirin dengan gerak kuas di sebidang kanvas. Pada mulanya, lelaki tinggi kurus itu bermain gurat-gurat, lantas menuliskan aksara Jawa, ha-na-ca-ra-ka. Namun, ia kemudian menghapusnya dengan sayat-sayat gundah. Seperti hendak menutupi kelebat kegelisahan yang menyeruak.
"Di dalam suwung, tak ada lagi yang bisa kita katakan. Bahkan, kita tak boleh lagi berbicara. Kita menyimpan ucapan dalam diam," ucap Jeihan. Sebagaimana Jeihan, pelukis Nasirun juga merasakan daya magis ketika diberi kehormatan melukis serentak bersama pelukis Tisna Sanjaya. "Saya tak tahu hendak melukis apa. Saya hanya mengikuti kata hati," terangnya.
Nasirun membiarkan cat dan air untuk menelusuri jalan takdirnya sendiri di atas kanvas. Hanya dalam bilangan menit, ia telah menyelesaikan lukisan yang kalau diamati akan tampak keseimbangan dan kesetimbangan di sana. Yin dan Yang. Di sisi lain, Tisna melukis pula lingkaran hitam yang bertabur ayat-ayat Al Qur'an.
Bagi Tisna, Jeihan sudah lama selesai dengan urusan syariat melukis. Bahkan, sejak awal Jeihan telah menunjukkan ciri khas kesufian dalam berkarya, sebelum akhirnya identik dengan mata hitam. "Jeihan adalah Maestro Dunia Nyata dan Dunia Maya. Ia tak banyak bergaul dan bicara namun tidak berhenti menjelajah ke wilayah-wilayah terdalam manusia."
Jeihan dan lukisan 'Suwung' di belakangnya (Foto: Candra Malik) |
Jeihan mencontohkan Jepang dengan mitos Amaterasu atau Dewa Matahari dan Jerman dengan mitos keturunan Bangsa Arya yang digemakan Hitler. "Anak-anak bangsa ini justru menyepelekan mitos. Dianggap dongeng belaka atau klenik. Padahal, mitos memiliki kekuatan yang teramat besar dari dalam diri manusia untuk membangkitkan spiritualitas kita sebagai bangsa," ungkap Jeihan.
Tidak hanya memamerkan lukisan Syekh Siti Jenar, yang dipajang bersebelahan dengan lukisan Sunan Kalijaga, Jeihan juga memamerkan sebuah lukisan besar seorang perempuan. "Ini adalah lukisan Ratu Laut Nusantara. Dialah ratu dari seluruh ratu di pantai dan laut bangsa maritim ini," paparnya. Perempuan di kanvas Jeihan itu pun bermata gelap.
Setelah menjelaskan soal mitologi, Jeihan bicara soal metodologi. "Bangsa ini harus kembali menempuh jalan kebudayaan. Mengenal jatidirinya sendiri, berikhtiar meluruskan sejarah, dan menyembuhkan yang terluka," ucap lelaki berumur 79 ini. Dan, kata Jeihan, kita memerlukan dialog yang terus-menerus untuk mencapai perdamaian dan kedamaian.
"Jangan suka bermusuhan, bahkan jangan memusuhi yang memusuhi kita. Rangkul, ajak bicara baik-baik. Itulah kita. Itulah Nusantara," pungkas Jeihan.
Candra Malik budayawan sufi
(mmu/mmu)












































Jeihan dan lukisan 'Suwung' di belakangnya (Foto: Candra Malik)