Me-Ramadan-kan Medsos Kita
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Sentilan Iqbal Aji Daryono

Me-Ramadan-kan Medsos Kita

Selasa, 30 Mei 2017 15:14 WIB
Iqbal Aji Daryono
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Iqbal Aji Daryono (foto: dokumentasi pribadi)
Jakarta - Ini hari keempat bulan Ramadan. Dalam tiga hari yang sudah berjalan, ada sesuatu yang saya rasa tidak seperti biasanya. Ya, linimasa Facebook saya begitu aman tenteram penuh siraman embun kedamaian. Masih ada sih dikit-dikit yang iseng menyalakan kompor, tapi sambutan pasar jauh dari menggembirakan.

Setidaknya ada tiga kemungkinan penyebab iklim sejuk tersebut. Pertama, memang sedang terjadi defisit isu di kalangan warga Facebook. Kedua, warga Facebook lemas karena kelaparan akibat puasa, sehingga kehilangan ghirah untuk ribut-ribut. Ketiga, orang-orang sedang menjalankan spirit bulan Ramadan hingga ke dinding-dinding akun media sosial mereka.

Saya berharap, yang ketigalah yang sedang terjadi. Ini bakalan luar biasa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berpuasa Ramadan pada level yang pertama cukup dijalankan dengan tidak makan, tidak minum, dan tidak berhubungan seksual. Itu merupakan level perlawanan kepada naluri dasar manusia, nafsu paling primitif yang derajatnya hewani. Puasa di level kedua menambahkannya dengan tidak berbohong, tidak memfitnah, tidak menggunjing orang lain, tidak marah, dan tidak bertengkar. Bukan lagi sekadar nafsu primitif yang dihajar, melainkan ego.

(Untuk level-level selanjutnya silakan tanya kepada ustadz terdekat di kampung Anda.)

Saya tidak tahu apakah berandai-andai juga dapat merusak puasa. Namun andai memang warga linimasa meredam keributan demi menjalankan spirit Ramadan, saya kira sikap demikian layak dilanjutkan untuk seterusnya, tidak terbatas cuma ketika Ramadan. Dari situ, akan ketemulah kunci solusi segala riuh rendah tak berguna selama ini.

Coba bayangkan. Jika kita menahan diri untuk tidak berbohong dan memfitnah, tentu kita juga tidak bakal menyebarkan kabar hoax yang efeknya bisa jauh lebih luas ketimbang sekadar kata-kata dusta. Tidak bakalan juga kita main tuduh sembarangan, seperti orang yang kemarin menyebut bom Kampung Melayu sebagai pengalihan isu itu tuh hehe.

Bayangkan lebih lanjut. Jika dengan spirit Ramadan kita menahan diri untuk tidak berbantahan dan bertengkar di medsos, alangkah syahdunya malam-malam yang akan kita lewati nanti. Berdebat mungkin tetap akan berdebat, tapi sembari mengingat rambu dari Alquran Surah An-Nahl ayat 125, "...bil hikmah wa mau'idhotil hasanah, wajaadilhum billatii hiya ahsan." Dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.

Bila prinsip itu bisa kita pegang, maka tak akan lagi ada debat sambil mengumpat-ngumpat. Tak ada lagi debat dengan ad hominem, menilai kualitas argumen lawan debat dari stempel yang telah telanjur dijatuhkan, semacam "Dasar liberal!" atau "Dasar wahhabi!" Tak ada juga debat sambil mengobral label-label sembrono yang berbau stereotipikal bahkan condong ke rasis, semisal "Kecebong mana mau dengaaar...."; "Yaaah onta gurun bersorban mah gitu daaah...." dan lain-lain yang tak enak di kuping gitu.

Debat-debat akan meningkat kualitasnya. Bekal yang akan dibawa dan disajikan adalah data dan logika, bukan asumsi apalagi imajinasi. Semua berfokus pada materi perdebatan secara objektif, tidak belok kiri-kanan dengan serangan personal.

Mari berkhayal lebih jauh lagi. Kalau kita bisa menjalankan tradisi perdebatan atau pembahasan isu apa pun dengan lebih bermartabat dan tertib nalar, sudah tentu percepatan edukasi publik akan luar biasa.

Coba bandingkan. Dulu di masa kecil saya, ketika Pak Harto sangat membatasi gerak informasi, memang tak ada aneka keributan seperti sekarang ini. Pengetahuan politik yang dipahami orang-orang masa itu ya palingan cuma nama-nama menteri dan pejabat tinggi negara. Menkopolkam Sudomo, Menteri Perindustrian Hartarto, Menteri Urusan Peranan Wanita Sulasikin Moerpratomo, Panglima ABRI Jendral TNI LB Moerdani, dan menteri di atas segala jenis menteri yakni Menteri Penerangan Harmoko.

Sisanya, pengetahuan masyarakat maksimal hanya terkait peresmian proyek-proyek negara, juga program-program pemerintah seperti Keluarga Berencana, Koperasi Unit Desa, ABRI Masuk Desa, Klompencapir, dan swasembada pangan. Tak ada ulasan rinci tentang korupsi di instansi ini-itu, apalagi monopoli perdagangan komoditas anu oleh keluarga penggede, juga kabar-kabar negatif lainnya.

Bandingkan dengan sekarang. Semua orang tumbuh dengan semangat belajar politik yang meletup-letup. Kita jadi sangat paham peta, tokoh ini di kubu mana, tokoh itu di kelompok siapa. Kita mengerti alur kejadian korupsi helikopter beserta segenap kronologinya. Kita jadi belajar teori-teori hukum. Apa itu penistaan agama menurut undang-undang, apa itu aksi demo, apa saja larangannya, bagaimana kriteria makar dan bukan makar, dan lain-lain.

Kita bahkan belajar ilmu tata kota. Apakah benar normalisasi sungai mengurangi banjir, bagaimana kaitan penggusuran dan kemacetan, dan entah apa lagi. Juga topik-topik lain, segala hal yang tak terbayangkan akan kita pelajari dengan penuh nafsu di zaman Orde Baru.

Lalu kenapa kita begitu rajin mempelajari itu semua? Jelas, nggak usah dibahas: untuk menghajar lawan-lawan politik kita sendiri dalam debat-debat di linimasa. Hahaha!

Repotnya, selama ini kita sering melenceng dari konten perdebatan yang sesungguhnya. Hasilnya, acapkali "dialektika kebudayaan" yang kita jalankan tidak membuahkan produk apa-apa, selain kericuhan, blokir-memblokir, perkelahian lanjutan di alam nyata, dan gugatan lewat polisi.

Silakan Anda sebut saya inlander atau antek asing atau apalah, namun izinkan saya sedikit mengambil referensi dari tempat saya menumpang sekarang ini.

Tempo hari, digelar pemilihan umum di negara bagian Western Australia. Dua kubu yang bertarung adalah Partai Liberal sebagai petahana, dan Partai Buruh sebagai penantangnya. Dalam pertempuran mereka ada beberapa soal yang diangkat, di antaranya isu privatisasi dan pembangunan sebuah jalan tol bernama Roe 8.

Selama masa kampanye, propaganda dan perdebatan muncul di koran-koran, mulai opini dan surat pembaca. Ada juga selebaran-selebaran yang disebar di kotak pos tiap rumah. Tak ketinggalan berita-berita dan debat di televisi serta radio.

Dalam segala keriuhan tersebut, Partai Buruh menggugat privatisasi Western Power (PLN-nya sini). Langkah pemerintahan Partai Liberal itu mereka buktikan telah mengurangi pemasukan negara, uang lari ke segelintir orang kaya, dan PHK terjadi di mana-mana. Pernah saya mendengar iklan di radio berisi kesaksian seorang korban PHK akibat privatisasi Western Power, berikut penjelasan tentang apa itu privatisasi dan dampak-dampaknya.

Sayang, saya tidak mendengar bantahan dari Partai Liberal tentang isu satu itu. Namun di isu pembangunan jalan tol Roe 8, pertarungannya sangat keras. Iklan-iklan advertorial bertebaran. Partai Liberal menjelaskan dengan skema rinci lebih dari dua halaman koran, bahwa pembangunan Roe 8 akan menarik dana sekian triliun dari pemerintah federal, menciptakan sekian ribu lapangan kerja baru selama proses pembangunan, dan hasil akhirnya adalah solusi kemacetan karena ratusan truk yang setiap hari menuju pelabuhan bisa dialihkan.

Semua itu dijelaskan lengkap dengan angka-angka detail, statistik truk, perkiraan emisi gas buang, angka kepadatan jalan yang bisa dialihkan, juga jenis-jenis pekerjaan baru yang akan dimunculkan selama proses pembangunan.

Di seberangnya, Partai Buruh tak mau kalah, meski iklannya cuma kecil-kecil (maklum, mereka oposisi, dananya pasti cekak). Mereka menyebut Roe 8 akan merusak sekian hektar area hutan lindung, merusak kehidupan satwa-satwa endemik, dan menimbulkan polusi yang justru lebih besar. Tak lupa, Partai Buruh pun menyodorkan skema lain untuk mengatasi kemacetan yaitu dengan memindahkan pelabuhan bongkar-muat, yang memakan biaya jauh lebih kecil.

Entah bagaimana dinamika pertarungan mereka selengkapnya, hasil akhirnya Partai Liberal tumbang, Partai Buruh menang.

Namun bukan itu yang saya amati. Dari banyak surat pembaca yang saya baca di koran-koran komunitas, juga komen-komen di medsos, saya melihat ada edukasi publik dalam segala pertarungan itu. Para pendukung memang banyak yang emosional, ada demo pula untuk menolak Roe 8 (beberapa digebuk dan ditangkap polisi), namun semua perdebatan berfokus kepada materi kampanye masing-masing.

Bagaimana dengan serangan personal? Ada, tapi sangat minim. Ada misalnya sebuah thread di Facebook tentang Roe 8. Di situ muncul komen yang mengatakan bahwa istri seorang pejabat di Partai Liberal punya perusahaan jasa angkutan truk, dan dia akan sangat diuntungkan dengan berdirinya Roe 8. Sialnya, si pelempar isu malah dicibir beberapa orang dan tidak lagi berani melanjutkan teori konspirasinya.

Serangan SARA jauh lebih minim lagi. Maklum, ungkapan-ungkapan rasis di ruang publik memang dilarang undang-undang. Pelakunya bukan cuma di-bully macam di tempat kita, melainkan bisa langsung berhadapan dengan jeruji penjara. Jauh di atas itu, saya menangkap kesan bahwa sikap-sikap rasis baik terkait etnis, warna kulit maupun agama di sini sudah dipandang secara umum sebagai sikap barbar dan tidak beradab.

Nah, soal beradab dan tidak tidak beradab tersebut barangkali memang nilai-nilai orang Australia. Sementara kita punya pegangan nilai kita sendiri, yaitu agama.

Maka saya membayangkan, jika spirit Ramadan di medsos bisa terus dilanjutkan, akibatnya bukan cuma disintengrasi sosial yang bisa dicegah. Yang lebih menyenangkan lagi adalah pendidikan publik yang mantap. Masyarakat yang selama ini belum selesai dengan literasi cetak dan tiba-tiba gagap mendapatkan banjir informasi dari internet, bisa jauh lebih cerdas dengan modal spiritual berupa sikap menahan diri.

Saya paham, apa yang saya bayangkan ini memang agak ketinggian sebagai sebuah cita-cita. Toh saya sendiri masih sering norak dalam bermedsos hehehe. Namun tetap perlu kita bertanya, beranikah kita berkomitmen melanjutkan "Ramadan" kita di linimasa?

Iqbal Aji Daryono praktisi media sosial, dan suka menulis di mana saja. Kini ia tinggal sementara di Perth, Australia, dan bekerja sebagai buruh transportasi. (mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads