Hambatan dan Capaian Target Wisman
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Catatan Agus Pambagio

Hambatan dan Capaian Target Wisman

Senin, 29 Mei 2017 16:30 WIB
Agus Pambagio
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Hambatan dan Capaian Target Wisman
Agus Pambagio (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Sektor pariwisata merupakan salah satu andalan program peningkatan ekonomi masa depan Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, mengingat indah dan kayanya potensi alam Indonesia. Sehingga munculah tagline "Wonderful Indonesia" oleh Kementerian Pariwisata dengan tujuan pada 2019 dapat menjaring 20 juta wisatawan mancanegara (wisman) datang ke Indonesia.

Untuk itu pemerintah (Kementerian Pariwisata) telah mencanangkan beberapa program andalan yang diharapkan dapat menjaring wisman hingga 20 juta pada 2019, antara lain pembebasan visa kunjungan untuk 169 negara. Kementerian Pariwisata (Kemenpar) juga mencanangkan program 10 Destinasi Prioritas Pariwisata Indonesia, dan program-program peningkatan promosi pariwisata menggunakan media internasional.

Selain itu Kemenpar pada 2017 juga mencanangkan tiga program prioritas lainnya, yaitu Program Digital Tourism, Homestay (pondok wisata), dan Konektivitas Udara. Menteri Pariwisata Arief Yahya menegaskan bahwa digital tourism penting untuk meningkatkan kunjungan wisman secara signifikan. Digital tourism menjadi strategi yang harus dilakukan untuk merebut pasar global khususnya pada 12 pasar fokus yang tersebar di 26 negara.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat ini Pemerintahan Presiden Jokowi sudah memasuki tahun ketiga, namun ternyata peningkatan wisman masuk ke Indonesia belum menunjukkan angka yang signifikan. Buktinya hingga akhir 2016 atau tahun kedua, jumlah wisman yang datang ke Indonesia baru sekitar 12 juta (Biro Pusat Statistik). Artinya, di sisa 3 tahun ke depan diperlukan kerja keras Kemenpar untuk bisa menjaring tambahan 8 juta wisman masuk ke Indonesia.

Itu bukan pekerjaan yang mudah di tengah keterbatasan anggaran pemerintah yang ada. Untuk itu perlu dibuat terobosan yang kreatif dengan dasar evaluasi program yang telah berjalan.

Evaluasi Program

Terkait dengan Program 10 Destinasi Prioritas Kemenpar yang berwujud Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), sebaiknya perlu dilakukan evaluasi khususnya di sektor sumber daya manusia (SDM) di 10 Destinasi Prioritas tersebut.

Adapun 10 Destinasi Prioritas tersebut adalah Danau Toba (Sumatera Utara), Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Bromo Tengger Semeru (Jawa Timur), Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur), Yogyakarta (DI Yogyakarta), Wakatobi (Sulawesi Tenggara), Belitung (Bangka Belitung), Morotai (Maluku), Mandalika (Nusa Tenggara Barat), dan Tanjung Lesung (Banten).

Hambatan utama pada pengembangan 10 Destinasi Prioritas adalah lemahnya SDM sektor pariwisata, ketegasan pemerintah daerah dalam melaksanakan ketentuan tata ruang dan strategi pemerintah pusat dalam pengembangan infrastruktur penunjang terintegrasi (seperti bandara, pelabuhan, jalan raya, ketenagalistrikan dsb).

Sulit bagi 10 Detinasi Prioritas untuk berjalan sesuai dengan rencana besar Kemenpar jika SDM-nya tidak siap, kecuali di Pulau Bali. Bagaimana turis akan merasa aman dan nyaman berlibur jika masyarakat sekitar daerah wisata belum mempunyai sifat melayani, seperti yang ditunjukan oleh masyarakat di Bali?

Sebagai contoh di Kawasan Danau Toba. Saat ini menurun dari sisi keindahan kawasan karena pendakalan, banyaknya warung di pinggir danau dari arah Pematang Siantar yang menghalangi pemandangan, bau pakan ikan yang menyengat, tidak standarnya harga makanan di sekitar yang cenderung "memeras" turis lokal non Sumatera Utara dan sisman.

Sedangkan, dari sisi infrastruktur telah terjadi kesalahan strategi yang memboroskan dana APBN dan patut diduga disebabkan oleh adanya arogansi politik kedaerahan di tingkat pemerintah pusat dan daerah. Sebagai contoh, sekitar Danau Toba ada 2 bandara, yaitu Silangit dan Sibisa. Di masa Pemerintahan SBY, Bandara Silangit ditetapkan sebagai bandara internasional yang direnovasi dan dikelola oleh PT Angkasa Pura II.

Namun, ketika Jokowi menjadi presiden, Bandara Sibisa yang berlokasi di sisi lain Danau Toba juga direnovasi dan akan ditetapkan sebagai bandara internasional. Pertanyaannya apa perlu ada dua bandara yang berdekatan harus berkompetisi? Memangnya berapa banyak penerbangan yang akan singgah di kedua bandara itu?

Adapun untuk Program Digital Tourism (DT), saya dukung karena melalui Program DT akurasi data wisman di seluruh Indonesia dan evaluasi program Kemenpar yang sedang berjalan dapat terpantau dengan baik. Diharapkan dengan adanya DT, kesalahan pemasukan data wisman dengan data pelintas batas dapat dibedakan dengan akurasi tinggi.

Terkait dengan Pembangunan 50.000 unit homestay atau pembangunan desa wisata (2019) di 10 Destinasi Prioritas sebagai Bali Baru yang bekerja sama dengan DPP Real Estat Indonesia (REI) juga harus direncanakan dengan baik. Saya khawatir program ini akan gagal jika tidak ada kejelasan alokasi dana APBN, mengingat REI adalah organisasi swasta yang juga mencari keuntungan, bukan lembaga sosial.

Untuk Program Pembangunan Konektivitas, sebaiknya Kemenpar tidak lagi mengusulkan pembukaan bandara internasional dengan dalih peningkatan jumlah wisman. Saat ini Indonesia merupakan negara dengan jumlah bandara internasional terbanyak di dunia, yaitu 33 bandara. Namun, terbukti tidak banyak membantu peningkatan jumlah wisman tetapi justru berdampak negatif bagi maskapai penerbangan nasional dan APBN. Mengingat, persyaratan menjadi bandara internasional tidak murah.

Dengan banyaknya bandara internasional maka hubungan international Indonesia ada di negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia dan sebagainya. Sebagai contoh, wisman dari Benua Eropa dan Amerika yang akan ke Pulau Bangka tidak perlu pakai penerbangan domestik dari Jakarta/Medan karena konektivitas dapat dilakukan dengan penerbangan asing di Singapura atau Kuala Lumpur yang akan membawanya langsung ke bandara di Pulau Bangka.

Kalau Bandara Pulau Bangka bukan bandara internasional, maka penerbangan maskapai asing hanya sampai di Jakarta atau Kualanamu, dan untuk menuju ke destinasi di pulau itu wisman harus menggunakan maskapai penerbangan domestik. Di Amerika saja hanya ada 6 bandara internasional sebagai pintu masuk. Indonesia dengan 33 bandara internasional merupakan penelanjangan total penuh kebodohan.

Yang terakhir tentang pembebasan visa kunjungan sesuai dengan Perpres No. 69 Tahun 2015 tentang Bebas Visa Kunjungan bagi 169 Negara. Ini program bagus tetapi sayang diputuskan tanpa pemikiran yang strategis dan matang. Mengapa bebas visa tidak dilakukan secara resiprokal atau timbal balik demi keamanan dan kepentingan ekonomi?

Apa gunanya kita memasukkan Kyrgyzstan, Saint Vincent dan Grenadis, Sao Tome dan Pricipe, Saint Lucia dan beberapa negara lain yang saya yakin 99% bangsa Indonesia belum pernah mendengarnya, apalagi tahu lokasinya. Yang ada, kemungkinan terjadi peningkatan masuknya narkoba dan human trafficking secara bebas melalui 33 bandara internasional tersebut.

Langkah Tegas

Pertama, segera revisi Perpres No. 69/2015 tentang Bebas Visa Kunjungan. Batasi negara yang diberikan bebas visa, selain harus resiprokal atau timbal balik juga harus jelas dasar pertimbangannya serta nilai strategisnya. Berlakukan kembali visa kunjungan namun dilakukan secara online. Sehingga cepat, ada pendapatan PNBP bagi Ditjen Imigrasi dan orang asing yang masuk ke Indonesia terawasi. Atau, batalkan saja Perpres No. 69/2015.

Kedua, segera tambah alokasi APBN untuk Kemenpar supaya dapat melakukan peningkatan SDM, minimal di daerah 10 Destinasi Prioritas, dan koordinasikan program peningkatan wisman minimal dengan Kementerian PUPR, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Kominfo.

Ketiga, stop pembukaan bandara internasional baru dan operasikan maksimal hanya 5-6 bandara internasional saja yang mewakili 3 wilayah waktu Indonesia. Dan, lengkapi semua bandara internasional itu dengan sarana navigasi canggih dan keselamatan yang tinggi sesuai dengan persyaratan dari International Civil Aviation Organization (ICAO). Sehingga, akan banyak maskapai internasional singgah, konektivitas ke lokasi 10 Destinasi Prioritas semakin mudah, dan maskapai penerbangan domestik berkembang.

Agus Pambagio Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen



(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads