Ini bukan semata perkara rasa sebal melihat hal-hal yang mengganggu keindahan. Tenang saja, selera estetis saya tidak setinggi itu. Yang jauh lebih menyebalkan adalah karena kami tahu siapa yang membuang barang-barang itu dengan semaunya, tanpa peduli sedikit pun kepada lingkungan kiri dan kanan.
Sudah sejak lama kami tahu mereka. Unit flat mereka terletak persis setelah gerbang. Dua anak lelaki mereka yang masih mungil dan lucu-lucu itu selalu menyapa saya dengan riang, bahkan kadang menggoda saya dan mengikuti langkah saya dengan sepeda-sepeda kecil mereka.
Namun orangtua anak-anak itu tidak. Berkali-kali kami menyapa, mereka cuma melirik saja. Jangankan senyum, sedikit anggukan pun rasanya sangat berat mereka berikan.
Sebenarnya saya sih bukan jenis orang yang terlalu pusing dengan sikap tetangga. Tapi yang ini beda. Kenapa? Karena mereka sama dengan kami: muslim. Si perempuan berjilbab, dan si lelaki wajahnya sangat kentara dari sebuah negeri yang mayoritas muslim.
Waktu awal-awal menyadari sikap mereka yang tak ramah kepada tetangga, langsung muncul sebersit cemas di hati saya. Waduh, bagaimana orang mau simpati kepada orang Islam di sini, kalau etalase terluar yang mejeng persis di depan gerbang adalah muslim jenis beginian? Begitu batin saya.
Istri saya lebih frontal lagi dengan komplainnya. Sampai pernah saya tenangkan ia dengan sedikit prasangka baik, "Yaaa siapa tahu negeri asal mereka memang penuh perang, peluru beterbangan, nyawa selalu terancam, hidup tak pernah bahagia dan tenang. Jadi setelah mengungsi ke sini pun karakter mereka masih tegang...."
Tapi saya pikir-pikir lagi, memangnya dalam sebuah lingkungan sosial yang begitu plural, siapa yang mau peduli latar belakang tiap-tiap orang? Yang ada ya kita hidup bareng, satu sama lain mestinya berkontribusi bagi terbentuknya harmoni. Itu saja, kan?
Lalu tibalah hari ketika keluarga di dekat gerbang itu pindahan. Istri saya melihat mereka angkut-angkut barang dan mengosongkan flat mereka. Dan di pagi selepas hari pindahan, tampaklah sofa-sofa sialan itu.
Di sini, membuang barang-barang segede itu tidak bisa sembarangan. Beda dengan sampah rumah tangga biasa, atau sampah-sampah kertas dan botol yang bisa asal dimasukkan di bak sampah setiap harinya.
Untuk sampah perabot-perabot besar, ada alokasi waktu khusus, kalau tak salah setahun sekali. Saat jadwal tiba, barang-barang gede bebas diletakkan di pinggir jalan depan kompleks atau depan rumah. Ada jeda waktu beberapa hari untuk memberikan kesempatan bagi siapa pun yang ingin memungut dan menggunakan barang-barang bekas itu. Bila waktunya sudah habis, truk dari pemerintah lokal akan datang dan mengambili semuanya lalu menghancurkannya.
Dengan prosedur begitu, membuang sampah besar di luar jadwal adalah tindakan ilegal. Pelakunya bisa kena denda besar. Itu kalau ketahuan dan terlacak. Lha, kalau tidak? Jangan-jangan manajemen flat kami yang malah kena masalah gara-gara kelakuan keluarga aneh itu? Entahlah.
Yang jelas, saya membayangkan bahwa orang-orang melihat sebuah keluarga yang tak pernah bertegur sapa dengan tetangga, sekadar senyum pun tak ada, dan semua itu dipungkasi dengan tindakan melanggar hukum yang sekaligus jorok dan tak peka lingkungan. Keluarga yang bagaimanakah mereka? Keluarga muslim. Muslim. Islam. Lengkap sudah.
Lebay? Mungkin. Tapi sangat wajar jika banyak orang akan berpikiran seperti itu. Bahkan bisa-bisa cap jelek itu menimpa keluarga saya juga. Toh istri saya berjilbab, dan jenggot penuh berkah di dagu saya lumayan mencolok hehehe. Orang-orang akan mengidentifikasi kami sebagai kelompok dengan identitas yang sama dengan si keluarga pembuang sofa. Apalagi kami di sini minoritas, sebab muslim di Australia cuma 1% lebih sedikit. Praktis, atribut dan identitas kami akan tampak dengan kentara.
Jadi, rasanya sangat natural kalau para tetangga begitu kebelet ngomong ke saya atau istri saya, "Tuh, teman kalian tuh, kelakuannya begitu tuh." Dan saya akan geragapan menyatakan bahwa jangankan berteman, lha wong kenal aja enggak. Hahaha.
Baiklah. Kita lupakan dulu keluarga pembuang sofa itu. Sebab sikap acuh tak acuh demikian pun sangat mungkin kita lakukan. Kita acapkali tak sadar bahwa setiap kita adalah konfigurasi dari identitas-identitas. Penampilan kita, warna kulit kita, karakter fisik dan wajah kita, pakaian kita, adalah serangkai atribut yang selalu kita bawa ke mana-mana. Identitas itu menjadi penanda, dan tak jarang kita posisikan sebagai bagian dari harga diri dan kebanggaan.
Akan tetapi, tak jarang kita alpa bahwa identitas dan atribut juga membawa konsekuensi-konsekuensi turunan. Orang lain akan mengidentifikasi kita berdasar atribut kita, untuk kemudian membangun klasifikasi. Dengan klasifikasi, orang yang membawa atribut yang sama dengan atribut kita secara simplistis akan dianggap sebagai orang-orang yang sama belaka dengan kita.
Kalau mereka yang seidentitas dengan Anda berbuat baik, citra kebaikan itu akan sampai pula kepada Anda. Sebaliknya, jika mereka berbuat antisosial atau apa pun yang buruk dalam kesepakatan publik, maka yang buruk itu pun akan menimpa Anda.
Dari landasan logika normal semacam itulah, stereotip bahkan rasisme muncul. Itu jika terkait hal-hal yang negatif. Nah, tak bisakah kita balik? Alih-alih terus mengecam sikap-sikap rasis, sebenarnya kita sangat bisa melawan stigma dengan berselancar di atas hukum pasar identitas.
Karena itulah, kemarin waktu mengantar pulang emak saya ke Bantul, dan di bandara dia lupa membalas senyuman seorang petugas, saya protes keras. Senyum di sini tuh sudah semacam kewajiban sosial sehari-hari. Orang saling menyapa dengan senyum, tak peduli kenal ataupun tidak. Kalau emak saya diam saja padahal orang tersenyum manis kepadanya, saya khawatir orang itu langsung akan melihat atribut Emak: gamis dan jilbab panjang.
Karena itu jugalah, minggu lalu waktu ada seorang ibu paruh baya menjatuhkan dagangannya sehingga beberapa biji anggur dan jeruk berjatuhan, saya mendorong istri saya agar lekas menolong si ibu. Buat saya itu kesempatan untuk membuktikan bahwa kami umat Islam di Australia juga merupakan bagian masyarakat yang beradab, bermartabat, punya kepekaan sosial, dan siap rukun bertetangga dengan siapa saja.
Saya jadi ingat cerita Gus Nadirsyah Hosen waktu tempo hari beliau berkunjung ke Perth. Gus Nadir bercerita, suatu kali mahasiswinya yang muslimah berjilbab punya permintaan khusus. Ia tidak mau kerja kelompok bersama mahasiswa lainnya, khususnya orang-orang kulit putih Australia. Kenapa? "Mereka islamophobia. Mereka antipati sama muslim. Mereka suka mengambil jarak dengan muslim, dan suka menatap kami dengan aneh." Kira-kira begitu jawab mereka.
Lalu Gus Nadir memeriksa fakta lapangannya. Ternyata eh ternyata, si mahasiswi itu memang sehari-hari di kelas tidak pernah mau bergabung. Ia duduk selalu hanya dengan teman-temannya yang berjilbab, tak pernah pisah dengan mereka, dan tak pernah membaur dengan mahasiswa lainnya. "Lha siapa sebenarnya yang memunculkan islamophobia itu?" Gus Nadir balik bertanya.
Oh, maaf. Saya lupa, dari tadi cuma ngomong soal identitas agama. Padahal maksud saya bukan semata seperti itu. Agama hanyalah salah satu saja di antara banyak sekali manifestasi atribut dan identitas yang melekat di diri kita. Kita punya stiker-stiker lain yang tertempel di jidat kita. Bisa pekerjaan, tingkat pendidikan, kebangsaan, kota asal, kampung kelahiran, atau apa pun.
Maka, Anda pasti paham perasaan saya ketika suatu hari membaca halaman depan Fremantle Herald, sebuah koran lokal di sini. Berita headline di situ adalah tentang sepasang ilmuwan yang meneliti sampah-sampah di pesisir Australia Barat. Dari penelitian mereka, ditemukanlah beberapa area yang paling terkontaminasi serpihan sampah plastik.
Nah, deskripsi selanjutnya dari temuan mereka sangat menarik: "Salah satu area tersebut adalah Monte Bello Islands, di mana terdapat banyak tumpukan bungkus makanan yang nyata diproduksi di Indonesia dan Malaysia."
Hahaha. Saya langsung membayangkan teman-teman saya sesama orang Indonesia di sini, yang kumpul-kumpul dengan komunitas mereka, membawa bekal jajanan produk Indonesia yang biasa dibeli di toko-toko Asia, lalu membuang sampahnya dengan cara mirip waktu mereka masih tinggal di kampung mereka.
Aduuuh, bikin malu saja....
Iqbal Aji Daryono praktisi media sosial, dan suka menulis di mana saja. Kini ia tinggal sementara di Perth, Australia, dan bekerja sebagai buruh transportasi.
(mmu/mmu)