Dalam hal transportasi, misalnya, Jakarta dihuni oleh 10 juta manusia, tapi tidak memiliki sistem transportasi massal yang memadai. Transportasi umum yang tersedia umumnya bis, yang sangat rentan pada kemacetan. Dalam hal banjir, Jakarta tidak punya sistem drainase yang memadai. Wilayah pemukiman tumbuh tanpa kendali. Orang-orang membangun tanpa merasa perlu untuk mengurus izin mendirikan bangunan. Pemerintah juga tak menertibkan. Wilayah pemukiman tidak ditata dengan suatu perencanaan, tumbuh liar sesuai kehendak pemukimnya.
Bagaimana membenahinya? Membenahi Jakarta itu seperti membenahi rumah besar dan tua. Kita tak boleh meratakannya, untuk dibangun kembali, karena rumah itu sedang dihuni oleh banyak orang. Tapi ingat, beberapa bagian dari rumah ini tak layak huni, tak nyaman kalau dihuni, bahkan membahayakan penghuninya. Bagian itu harus diperbaiki. Tempat-tempat yang tak layak huni, tidak boleh dihuni. Penghuninya harus dipindahkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada hal yang sangat penting dalam penataan, yaitu kesinambungan. Kita sering kerja bakti, membersihkan lingkungan. Berapa lama lingkungan bersih itu bertahan setelah kerja bakti? Mungkin hanya 2-3 hari. Setelah itu, kita akan beramai-ramai mengotorkan lingkungan. Ibaratnya, kita kerja bakti setengah hari untuk membersihkan lingkungan, tapi kemudian kita "kerja bakti" sepanjang tahun untuk mengotori lingkungan. Padahal seharusnya kita bekerja bakti sepanjang tahun, untuk mejaga kebersihan lingkungan.
Pemerintah membangun fasilitas, untuk keperluan transportasi, pencegahan dan pengendalian banjir, penataan lingkungan, dan sebagainya. Ada banyak fasilitas yang dibangun, tapi kemudian tak berfungsi. Sebagian sudah rusak saat pembangunan sedang dilakukan, karena korupsi. Ada yang dibangun, tapi tak bisa dipakai, karena tak lengkap. Ini juga banyak yang disebabkan oleh korupsi.
Ada yang dibangun, berfungsi sebentar, kemudian terbengkalai, karena tak disediakan dana untuk mengoperasikan dan merawatnya. Atau, lagi-lagi dananya dikorupsi. Bahkan, ada fasilitas yang rusak, karena dirusak oleh warga. Ada pula yang berubah fungsi, karena diserobot.
Pola-pola pembangunan dan pemerataan sporadis seperti itu harus dihentikan. Itu memubazirkan anggaran, sekaligus tidak akan membuat Jakarta menjadi kota yang tertata. Artinya, ada beberapa syarat lain yang mesti ada, untuk menata Jakarta.
Pertama, pemerintah daerah yang bebas dari korupsi. Menata Jakarta harus dimulai dengan memberantas korupsi. Sebagaimana wajah fisiknya, wajah birokrasi Jakarta ini sama rusaknya. Korupsi menggerogoti segenap lini. Seperti menata fisik tadi, menata Jakarta memerlukan keberanian untuk menggusur borok-borok dalam birokrasinya.
Kedua, penyusunan anggaran yang rasional. Artinya sesuai prioritas, dengan peruntukan yang patut. Jangan sampai anggaran habis dipakai untuk membangun sesuatu yang kemudian tak berfungsi, karena dana untuk mengoperasikannya tidak tersedia. Itu ibarat orang hanya mau beli mobil, tapi enggan membeli bensinnya.
Di luar soal itu, kita juga memerlukan aparat pemerintah yang kompeten dan sigap untuk mengoperasikan berbagai organ pemerintahan, baik fisik maupun non fisik. Tanpa mereka, Jakarta akan tetap kumuh dan semrawut.
Ketiga hal di atas memerlukan seorang pemimpin yang tegas, berani, punya kemauan keras untuk menata Jakarta. Akan sulit, sangat sulit untuk menata Jakarta bila pemimpinnya masih suka berbasa-basi. Ibarat kita hendak menolong orang tenggelam yang sedang panik, menggelepar-gelepar. Kita tidak bisa membujuknya untuk tenang. Salah-salah ia akan menenggelamkan dia. Yang perlu dilakukan adalah memukul tegkuknya agar dia pingan, agar kita dapat menyeretnya ke pinggir dengan aman.
Terakhir, Jakarta yang nyaman memerlukan warga yang tertib. Tertib menjaga aturan yang menata kota ini. Tertib pula mau berkorban bila diperlukan. Segala macam fasilitas tidak akan membuat Jakarta menjadi lebih nyaman, kalau warganya tidak tertib. Artinya, tugas menjadikan Jakarta sebagai kota idaman adalah tugas kolektif setiap warganya. Jangan pernah berharap Jakarta akan secara ajaib menjadi kota idaman, hanya karena Anda telah memilih si A atau si B sebagai pemimpinnya.
Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia.
(mmu/mmu)











































