Universal Periodic Review adalah mekanisme universal di bawah Dewan HAM PBB untuk melakukan review atau peninjauan atas kondisi HAM negara anggota PBB setiap lima tahun sekali. Sejak diperkenalkan pada 2007, Pemerintah RI telah mengikuti mekanisme ini sebanyak dua kali yaitu pada 2012, dan 2017 ini.
Mekanisme UPR adalah sebuah prosedur baru yang diperkenalkan sejak Dewan HAM PBB dibentuk pada 2006. Dengan status "dewan" maka Dewan HAM PBB mempunyai kekuatan politik dan mandat yang lebih luas, sebagaimana halnya dewan-dewan di PBB seperti Dewan Ekonomi, Sosial dan Budaya serta Dewan Keamanan PBB.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berbeda dengan mekanisme berbasis perjanjian yang lebih condong pada review yang sifatnya profesional dan scientific based, mekanisme di bawah Dewan HAM lebih beraroma politis. Rekomendasi yang disampaikan oleh negara-negara PBB di bawah mekanisme UPR kental dengan kepentingan dan muatan politis, namun tetap harus memperhatikan bukti yang ilmiah dan informasi yang kredibel.
Forum yang Unik
Mekanisme UPR menjadi forum yang unik karena selain negara yang di-review memaparkan capaian dan kendala dalam memajukan dan menegakkan HAM, juga memberikan kesempatan pada lembaga swadaya masyarakat dan komisi HAM nasional, seperti Komnas HAM, untuk memberikan "laporan alternatif." Mekanisme ini bertujuan agar ada proses review yang partisipatif dan dialogis antara negara, PBB, dan kalangan organisasi masyarakat sipil.
Pada sidang UPR periode pertama, Pemerintah RI memperoleh sebanyak 183 rekomendasi dari negara-negara anggota PBB. Pemerintah RI setuju untuk menerima dan berjanji melaksanakan 150 rekomendasi, sementara sisanya "ditolak" dengan berbagai alasan, antara lain terkait dengan rekomendasi agar pelapor khusus PBB bidang hak masyarakat adat diberikan izin untuk mengunjungi Papua.
Di dalam sidang UPR kali ini, Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi harus memberikan penjelasan berbasis bukti, sejauh mana implementasi dari 150 rekomendasi yang dijanjikan akan dilaksanakan sejak 2012.
Isu-isu pokok yang menjadi rekomendasi bagi Pemerintah RI dalam sidang UPR 2012 antara lain kebebasan berekspresi, dengan rekomendasi supaya Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) direvisi. Pada 2016, UU ITE telah direvisi dengan misalnya mengurangi ancaman pidana penghinaan/pencemaran nama baik dari enam tahun menjadi empat tahun, dan ketentuan tentang hak untuk dilupakan (right to be forgotten).
Di sisi lain, tindakan represi atas kebebasan berekspresi masih terus terjadi, misalnya kelompok intoleran memaksa pelarangan pemutaran film dan Festival Belok Kiri yang diadakan di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 27 Februari 2016, dan pemutaran film Jakarta Unfair di TIM XXI pada 26 November 2916.
Menghapus Hukuman Mati
Rekomendasi selanjutnya adalah supaya Pemerintah RI menghapuskan hukuman mati. Rekomendasi ini dijalankan di masa Presiden SBY dengan melakukan moratorium atas hukuman mati. Namun, di masa Presiden Jokowi, hukuman mati kembali dilakukan dengan melakukan tiga tahap eksekusi atas belasan terpidana kasus narkotika.
Kemudian rekomendasi terkait pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai salah mekanisme untuk menangani kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu. Rekomendasi ini sampai saat ini belum dijalankan, meskipun wacana pembentukan komisi di bawah presiden sempat diutarakan oleh Kemenkopolhuman dan Komnas HAM.
Akibatnya, kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat sampai saat ini belum ada kejelasan karena lambannya negara menanganinya secara serius.
Selanjutnya rekomendasi penyusunan undang-undang untuk perlindungan kekebasan beragama dan berkeyakinan. Rekomendasi ini belum berhasil dilaksanakan oleh pemerintah, meskipun Menteri Agama Lukman Hakim Syaifudin mengutarakan berkali-kali komitmennya supaya undang-undang ini segera terbentuk.
Di sisi lain, kejadian-kejadian pelarangan beribadah bagi umat minoritas masih terus terjadi. Menurut kajian Komnas HAM, Wahid Institute, dan Setara Institute peristiwa yang merusak toleransi beragama dan berkeyakinan masih sering terjadi di banyak wilayah.
Rekomendasi agar Pemerintah Indonesia meratifiasi Konvensi International tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas telah dipenuhi pada 2011 melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat juga telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 dengan memuat berbagai perbaikan untuk perlidungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.
Sedangkan, untuk kelompok rentan dan marginal seperti masyarakat adat dan kelompok LGBT, masih sering mengalami diskriminasi dan kekerasan oleh karena absennya negara melindungi hak-hak mereka. Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Masyarakat Hukum Adat tidak kunjung dijadikan sebagai prioritas nasional.
Kelompok LGBT juga masih terus mengalami diskriminasi di berbagai bidang termasuk haknya atas pendidikan, sebagaimana terjadi baru-baru ini di sebuah universitas di Sumatera Barat.
Sebagai forum yang strategis dan dikendalikan oleh negara-negara anggota PBB (state-driven mechanism), Pemerintah RI harus mampu memaparkan capaian, kendala, dan hambatan dalam memajukan dan menegakkan HAM secara fair dan transparan. Dengan begitu, forum UPR tidak menjadi "pengadilan" atas rapor Pemerintah RI dalam memajukan dan menegakkan HAM.
Sebaliknya, forum tersebut bisa menjadi ajang yang strategis untuk mendapatkan dukungan dan partisipasi pemangku kepentingan di tingkat nasional dan internasional, agar berbagai pelanggaran HAM ditangani secara akuntabel, dan kondisi pelaksanaan HAM di Tanah Air terus membaik dan meningkat.
Mimin Dwi Hartono Staf Senior Komnas HAM (mmu/mmu)