Mengapa hak angket tersebut dikatakan sebagai bentuk "intervensi politik"? Hal tersebut tak lain disebabkan oleh latar belakang yang mendorong DPR untuk menggulirkan hak angket kepada KPK, yaitu kasus korupsi KTP elektronik yang saat ini sedang ditangani oleh KPK dan diduga banyak anggota DPR yang terlibat dalam pusaran mega korupsi tersebut.
Penyalahgunaan Wewenang
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hak angket sendiri diatur dalam pasal 79 ayat (3) Undang-undang No.17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Di situ disebutkan bahwa hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan Pasal 79 ayat (3) UU No.17/2014 tersebut maka hak angket yang dapat dilakukan oleh DPR terbatas pada penyidikan terhadap undang-undang atau kebijakan pemerintah, dan syarat berikutnya adalah undang-undang atau kebijakan pemerintah tersebut haruslah bersifat penting, strategis, berdampak luas dan diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan mengacu kepada Pasal 79 ayat (3) UU No.17/2014 tersebut, maka sebetulnya DPR tidak bisa mengajukan hak angket terhadap KPK karena KPK sebagai lembaga negara dan penegak hukum sama sekali tidak melakukan pelanggaran hukum yang bersifat penting, strategis dan berdampak luas dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.
Selanjutnya, permintaan DPR kepada KPK untuk menyerahkan BAP dan membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam Haryani untuk kemudian di investigasi oleh DPR merupakan suatu permintaan yang berlebihan dan sudah tidak sejalan dengan tugas pokok dan fungsi DPR sebagai lembaga legislatif.
Permintaan tersebut berlebihan karena DPR telah meminta KPK untuk menyerahkan dokumen yang terkait substansi pokok perkara. Dokumen tersebut bukanlah merupakan dokumen publik dan bersifat rahasia sebagaimana yang diatur dalam Pasal 17 Undang-undang No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU No.14/2008) maupun Kode Etik KPK.
Hal tersebut menunjukkan bahwa DPR masih mengedepankan egoisme lembaganya dan melakukan segala cara termasuk mengintervensi penegak hukum guna membela kolega dan lembaganya.
Alasan berikutnya yang menjadi dasar bahwa DPR tidak dapat melakukan hak angket terhadap KPK adalah Pasal 3 Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 30/2002) yang menyatakan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.
Dengan berpegang pada Pasal 3 UU No. 30/2002 maka intervensi politik yang dilakukan oleh DPR melalui hak angket seharusnya menjadi gugur dan tidak dapat dilanjutkan ke proses berikutnya.
Alasan yang dijadikan dasar oleh DPR untuk mengajukan hak angket kepada KPK juga terlalu mengada-ada, dan justru berpotensi menyerang balik DPR karena sebagai lembaga legislatif DPR telah melakukan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
Oleh karena itu hak angket yang digunakan oleh DPR terkesan seperti bentuk perlawanan dari DPR terhadap KPK dikarenakan saat ini KPK sedang berusaha untuk mengungkap kasus korupsi KTP elektronik yang diduga melibatkan banyak anggota DPR. Apabila hak angket terhadap KPK tetap dilanjutkan maka akan menjadi contoh buruk bagi dunia hukum dan implementasi demokrasi di Indonesia.
Hal itu juga menandakan bahwa saat ini kekuasaan legislatif telah terlampau kuat dan luas, bahkan sampai dapat mengintervensi penegakan hukum di Indonesia.
Menghalangi Pemeriksaan
Hak angket yang diajukan oleh DPR kepada KPK ini mencerminkan bahwa saat ini terdapat kepanikan di Senayan. Para politisi di DPR merasa terganggu dan terancam dengan penyidikan kasus KTP elektronik yang dilakukan oleh KPK.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh DPR adalah dengan mencoba membawa permasalahan korupsi KTP elektronik dari ranah hukum ke ranah politik dengan menggulirkan hak angket dan menuntut agar KPK membuka BAP serta rekaman pemeriksaan Miryam Haryani.
Manuver politik yang dilakukan oleh DPR dengan menggulirkan hak angket kepada KPK juga dapat dicurigai sebagai upaya untuk menghambat pemeriksaan dan penyidikan kasus KTP elektronik yang dilakukan olek KPK. Tindakan gegabah dan kontroversial yang dilakukan oleh DPR dengan mengajukan hak angket terhadap KPK sebetulnya justru mencoreng muka institusi DPR sendiri.
Secara tidak langsung DPR telah mengirimkan pesan bahwa mereka tidak mendukung gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia dengan mengajukan hak angket tersebut. Maka, menjadi wajar apabila saat ini akuntabilitas DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat kembali dipertanyakan.
Emmiryzan Said LL.M Candidate in International Criminal Law at School of Law, Politics and Sociology, University of Sussex, United Kingdom dan Penerima Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) LPDP PK-70.
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini