Napak Tilas Sejarah
Gerakan buruh sudah terjadi sejak zaman perjuangan sebelum merdeka. Pada saat Boedi Oetomo lahir pada 20 Mei 1908, berdiri serikat buruh di bawah pimpinan Sneevliet dan Semaoen yang bernama Vereniging van Spoor, en Tramweg Personeel (Persatuan Pekerja Kereta Api dan Trem). Kemudian pada 1919 terbentuklah Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) yang diketuai oleh Semaoen dan Soerjopranoto. Hal ini terjadi pada saat Kongres Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumi Putera (PPPBP) yang mencetuskan agar serikat-serikat buruh dengan berbagai macam aliran politik bergabung menjadi satu wadah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemilu pada 1955 membuat buruh menjadi bagian untuk memperkuat partai politik. Organisasi buruh menjadi "underbow" partai. Perubahan besar organisasi buruh juga terjadi setelah meletusnya peristiwa G30S. Organisasi buruh dengan afiliasi komunis dibubarkan. Pada 1966 terbentuk Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), dan pada 1969 Majelis Permusyawaratan Buruh Indonesia (MPBI), setelah itu lahir pula Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI)
Langkah pemerintah pada 1970 yang menyederhanakan partai politik menjadi dua (PPP dan PDI) serta Golongan Karya akhirnya berpengaruh juga pada gerakan buruh. Secara politis organisasi buruh kehilangan induknya.
Pada 21-28 Oktober 1971 MPBI menegaskan bahwa identitas politis buruh lepas sama sekali dari kekuatan politik. Kegiatan serikat buruh dititikberatkan di bidang sosial ekonomi, penataan kembali organsasi-organisasi serikat buruh dengan pendekatan persuasif, perombakan organisasi gerakan buruh, dan serikat buruh tidak boleh menggantungkan dirinya pada sumber dana dari luar.
Pada 1973, pemerintah mengukuhkan dan mengakui Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) sebagai satu-satunya vaksentral di Indonesia. FBSI terdiri dari 21 federasi yang dideklarasikan pada 20 Februari 1973.
Kongres II FBSI pada 26-30 November 1985 menghasilkan perubahan mendasar dalam organisasi. Seperti, istilah buruh diganti pekerja; kata buruh dinilai memiliki citra menentang kekuasaan. Perubahan lainnya, FBSI menjadi SPSI, dan pemerintah mengakuinya sebagai satu-satunya organisasi pekerja swasta di Indonesia.
Pada 1992 didirikan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) yang diprakasai oleh Muctar Pakpahan dkk. Pemerintah menganggap bahwa SBSI ilegal walaupun organisasi ini justru satu-satunya serikat buruh di Indonesia yang menjadi anggota dari serikat buruh international ICFTU dan WCL. Akibat dari deklarasi SBSI ini maka pengurus dan anggotanya banyak yang dipenjarakan. Munculnya SBSI ternyata diikuti juga oleh organisasi buruh lainnya seperti FNPBI yang dipimpin oleh Dita Indah Sari.
Tonggak reformasi organisasi buruh terjadi pada 1998 dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pendaftaran Serikat Buruh yang disusul kemudian dengan Undang-Undang Serikat Pekerja/Serikat Buruh Nomor 21 Tahun 2000. Hal ini menandai berakhirnya era serikat buruh tunggal yang dikuasai oleh FSPSI.
Sejak tahun 2000 munculah organisasi-organisasi buruh di Tanah Air. Data yang dicatat oleh Kementrian Ketenagakerjaan pada 2014, ada 6 konfederasi, 100 federasi dan 6.808 serikat pekerja perusahaan dengan jumlah 1.678.364 anggota serikat pekerja. Kebebasan buruh untuk menyalurkan aspirasi dan berorganisasi berdampak pada pecahnya kekuatan buruh.
Perkembangan Saat Ini
Hingga saat ini serikat buruh setiap tahunnya tidak pernah absen untuk melakukan unjuk rasa menuntut kenaikan upah. Unjuk rasa juga dilakukan sebagai cara untuk melakukan tuntutan terhadap masalah-masalah ketenagakerjaan lainnya seperti status kekaryawanan, pembayaran tunjangan hari raya, dan hal lain yang bersifat peningkatan hak-hak buruh. Tidak heran jika gerakan buruh seringkali justru berujung pada sebuah konflik.
Konflik yang terjadi antara buruh dan pengusaha biasanya dipicu oleh perbedaan pendapat, kesalahpahaman, atau ada pihak yang merasa dirugikan. Selain itu konflik secara umum bisa terjadi karena adanya perbedaan budaya. Konflik karena faktor budaya dalam perusahaan dimungkinkan karena adanya perbedaan kelas manajemen dan kelas buruh yang budayanya berbeda.
Dalam era kemudahan investasi maka upah yang murah akan menjadi salah satu alternatif dari kemudahan tersebut. Hal ini tentu akan menjadi isu pokok gerakan buruh yang bisa dilakukan dengan model unjuk rasa jalanan, atau dengan cara yang lebih demokratis seperti melakukan aksi perlawanan hukum.
Buruh perlu menggunakan cara yang lebih strategis dalam melakukan gerakannya. Perjuangan buruh demi peningkatan kesejahteraan dengan aksi jalanan sering ditanggapi oleh pengusaha sebagai suatu gerakan mengganggu produktivitas dan stabilitas. Gerakan politik buruh dengan tujuan bisa menempatkan wakil-wakil buruh dalam lembaga legislatif sah-sah saja. Jika mempunyai wakil legislator buruh tentu bisa lebih strategis untuk mencapai tujuannya.
Lebih baik buruh terjun langsung dalam politik daripada hanya menjadi alat politik. Selama buruh bisa bersatu, tidak terpecah belah, dan para pemimpinnya benar-bernar berorientasi terhadap kesejahteraan anggotanya, bukan hal yang mustahil buruh menempatkan wakilnya dalam lembaga legislatif. Saatnya aksi jalanan ditinggalkan dan jangan lupa produktivitas tetap diutamakan. Dan, yang paling penting nasib tetap bisa diperjuangkan dengan cara yang lebih elegan.
Stanislaus Riyanta alumnus Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia
(mmu/mmu)











































