Merawat Amarah Usai Pilkada Jakarta
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Merawat Amarah Usai Pilkada Jakarta

Kamis, 27 Apr 2017 14:45 WIB
Gunawan Mashar
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Foto: Gunawan Mashar/Dok. Pribadi
Jakarta - Andaikata energi nyinyir dan benci-bencian di media sosial karena Pilkada DKI Jakarta bisa ditampung, entah akan seberapa besarnya. Barangkali yang bisa menandingi adalah energi orang-orang yang jenuh, yang kerap bertanya kapan media sosial kembali damai dan tenteram seperti sedia kala, atau mungkinkah sindir-sindiran, cela-mencela, ikut selesai setelah Pilkada Jakarta usai?

Harapan seperti itu sesungguhnya sudah ada sejak putaran pertama lalu. Bahkan jika menilik ke belakang, sejak Pilpres 2014 suara-suara itu sudah muncul. Mereka rindu status-status yang tak jauh dari kangen-kangenan, merayakan perkawanan, saling sapa dengan teman lama, dan lain-lain. Kalaupun ada ribut-ribut, palingan kontroversi soal perayaan Valentine atau polemik tentang seberapa besar jasa Kartini dibanding pahlawan perempuan lain, yang memang rutin tiap tahun ada saja yang persoalkan.

Namun, medsos yang damai nan tenteram hingga hari ini tak kunjung terwujud. Rasanya memang mustahil serang-serangan yang kian tak terkendali ini berakhir bahkan setelah acara puncaknya, penetapan calon terpilih nanti terselenggara. Terlalu banyak kebencian yang harus dipadamkan, berjuta kepala yang harus didinginkan, dan mengembalikan akal sehat orang-orang yang terlalu fanatik itu tak mudah. Jadi, episodenya masih panjang, melebihi belasan drama India.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sesungguhnya Pilkada Jakarta menjadi arena pertempuran baru bagi kedua pendukung yang memang sudah "musuhan" sejak Pilpres. Pilkada Jakarta hanyalah bagian dari sumbu petasan yang sudah dibakar sebelumnya. Meski ada sedikit pergeseran komposisi tim, namun secara garis besar masih sama.

Polarisasi pendukung pun kian jelas. Energi kebencian dua kubu juga makin dahsyat dan menggumpal karena dibungkus dengan sentimen agama dan ras. Lini masa dipenuhi ujaran dan seruan kebencian, yang merembet hingga ke dunia nyata. Eh, tahu-tahu saja ada jenazah yang ditolak disalatkan di mesjid; isu agama minoritas dan mayoritas menajam.

Pemilihan pada 15 Februari lalu ternyata juga tak menyudahi Pilkada Jakarta karena tak ada satu pun calon yang memperoleh 50 persen lebih suara. Pilkada Jakarta kemudian memasuki putaran kedua. Caci-mencaci pun memasuki masa perpanjangan waktu.

Kesadaran Kolektif

Mari kita berandai-andai sekali lagi, anggaplah setelah pemilihan putaran kedua, tiba-tiba muncul kesadaran kolektif di medsos untuk menerima hasil siapapun yang menang, tanpa disertai protes dan kegaduhan. Mungkin semacam upaya untuk berhenti saling menyakiti, sekalipun hanya berupa status yang nyinyir.

Kita akur lagi. Tak ada lagi yang merasa benar sendiri, tak ada lagi tautan-tautan yang sarat provokasi yang di-share ke mana-mana, meme-meme yang memancing kemarahan, tudingan yang tidak didasari bukti, dienyahkan jauh-jauh. Kawan dekat yang di-unfriend, diundang kembali dan disapa. Bahkan bukan terkait Pilkada Jakarta saja, termasuk tema-tema sensitif yang sering memunculkan kegaduhan di medsos kita sudahi semua.

Tapi, beneran kita bisa tahan tak mengumpat dan nyinyir-nyinyiran? Tak tergoda untuk ikutan menyebar foto editan dan fitnah yang menyudutkan lawan kita?

Pelukis Amerika, Norman Rockwell menggambarkan nikmatnya nyinyir-nyinyiran dan bergunjing dalam salah satu ilustrasi terbaiknya, The Gossips. Dari sumber pertama merambat ke orang kedua, lalu menjalar ke tak terhingga. Sampai akhirnya hinggap ke telinga si objek derita.

Ekspresi para si 'pembawa kisah' bahagia tiada tara seolah berbagi kabar dari surga. Yang mendengarnya terbuai bumbu cerita: tertawa-tawa sambil mengisap cangklong dan cerutu.

Rockwell β€”yang senang melukis kegiatan sepele yang dijumpainyaβ€” membuatnya di tahun 1946! Era ketika belum ada internet dan media sosial, yang bisa mengirim berjuta prasangka hanya dengan sehela napas...eh, sekali bikin status, maksudnya.

Di dunia maya, gunjingan bukan lagi merambah ke mana-mana, tapi juga melebar ke hal-hal tak terduga. Persaingan politik dan pilihan yang berbeda cukup jadi alasan untuk menyerang privasi lawannya.

Memilah Amarah

Penyanyi dangdut dekade 90-an Vety Vera pernah punya pesan yang bagus lewat sebuah lagunya, "Hidup ini jangan serba terlalu, yang sedang-sedang saja. Karena semua yang serba terlalu, bikin sakit kepala."

Pesan itu tak salah jika kita ejawantahkan di dunia medsos. Menulis status membenci jangan terlalu, begitu pula memuja. Sedang-sedang sajalah. Memeram amarah juga jangan terlalu. Menghilangkan amarah sama sekali juga jangan. Perlu ada amarah yang disisakan. Seperti apa?

Saya teringat film asal Argentina yang berjudul Relatos Alvajes, atau versi Inggris-nya Wild Tales. Film ini terdiri dari beberapa cerita yang punya tema sama, yang jadi benang merah dari semua kisah yang disajikan: tentang kemarahan yang harus dituntaskan. Bahwa pada titik perlakuan yang kamu anggap sangat zalim dan menindas, maka melawanlah. Tuntaskan amarahmu.

Dalam salah satu cerita, tersebutlah tokoh Simon Fischer, seorang yang sehari-hari berkutat dengan bom karena bekerja di perusahaan yang menawarkan jasa merobohkan gedung-gedung tinggi.

Suatu waktu Simon lagi apes, mobil yang ia parkir saat singgah membeli kue untuk ulang tahun anaknya, dibawa oleh mobil derek karena dianggap parkir sembarangan. Ia lalu datang ke kantor penyedia jasa mobil derek itu, dan diwajibkan membayar denda. Simon tidak terima, karena menurutnya ia tidak melihat penanda larangan di tempatnya parkir.

Saat butuh penjelasan, sejumlah petugas yang berjaga tidak melayaninya dengan baik. Simon malah diusir. Karena marah, ia lalu mengambil tabung tempat sampah yang ada di dekatnya, dan memukulkannya ke dinding kaca yang ada di depan petugas.

Akibat amukannya, Simon bukan hanya sempat ditahan polisi tapi juga dipecat dari pekerjaannya. Perusahaan tempatnya bekerja tak mau ambil risiko, karena mereka rekanan dengan pemerintah setempat. Di tengah kesulitannya itu, rumah tangganya pun berantakan. Isterinya meminta cerai lantaran sejumlah kesahan-kesalahan Simon, yang dinilai labil dan tak bisa jadi ayah yang baik untuk putrinya.

Simon stres. Uangnya menipis, dan ia tak kunjung mendapat pekerjaan baru. Celakanya, mobilnya lagi-lagi dibawa mobil derek saat singgah di sebuah toko. Dengan uang yang tersisa, ia terpaksa membayar denda.

Marah dengan semua yang dialaminya, ia membangun rencana di dalam kepalanya. Sejumlah dinamit dimasukkan dalam bagasi mobilnya, dan ia biarkan dibawa mobil derek hingga tiba di tempat parkir perusahaan itu. Bom meledak, dan Simon dipenjara.

Namun, peristiwa ini membuka mata orang-orang tentang tindakan semena-mena perusahaan penarik denda parkir yang menetapkan tarif seenaknya dan tak memberi kesempatan pelanggar untuk membela diri. Dukungan terhadap Simon pun mengalir di medsos.

Begitulah. Seusai Pilkada Jakarta, amarah dan kebencian yang bisa meretakkan pondasi kebhinekaan dan persatuan bangsa harus dipadamkan. Sementara, pada ketidakadilan yang sistemik, korupsi yang menjarah uang negara, diskriminasi yang masih ada di mana-mana, kemarahan harus tetap dirawat.

Gunawan Mashar jurnalis dan penulis. Sekarang tinggal di Makassar.

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads