Dugaan penyadapan mantan orang nomor satu di Indonesia itu pun sontak menuai respons dari berbagai kalangan. Di kalangan DPR, misalnya, Fraksi Partai Demokrat menggalang dukungan untuk menggunakan hak angket. Banyak yang menganggap usulan penggunaan hak angket itu berlebihan mengingat penyadapan terhadap ponsel SBY itu baru sebatas dugaan. Bahkan, sekalipun penyadapan itu benar terjadi, belum tentu hal itu dilakukan oleh pemerintah.
Ihwal dugaan penyadapan ponsel SBY itu bermula dari ruang pengadilan yang menyidangkan perkara penistaan angama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama pada tanggal 31 Januari 2017. Pihak Basuki menganggap KH Ma'ruf Amin yang didatangkan sebagai saksi telah berbohong karena tidak mengakui percakapan teleponnya dengan SBY pada hari Kamis tanggal 6 Oktober 2016 Pukul 10.16 WIB, padahal ada bukti yang membenarkan percakapan itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah Apa Orang Disadap?
"Salah apa saya disadap?" keluh SBY dalam konferensi persnya (Detik.com, 1/2/2017). Di balik pertanyaan itu terselip konotasi bahwa hanya orang yang bersalah boleh disadap. Dan memang secara hukum penyadapan tidak boleh dilakukan sembarangan. Ada aturan dan prosedur yang harus dipatuhi.
Dalam hukum yang berlaku di Indonesia, penyadapan hanya boleh dilakukan untuk kepentingan penegakan hukum dan keselamatan negara. Dalam hal ini, beberapa institusi yang diberi kewenangan melakukan penyadapan hanya Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Badan Intelejen Negara (BIN).
Pasal 31 ayat (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) mengatur secara umum bahwa penyadapan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau institusi lainnya yang mendapat kewenangan dari undang-undang. Persoalannya, permintaan (penyadapan itu ditujukan) kepada siapa? Jawabannya terdapat dalam UU Terorisme, UU Narkotika, dan UU Intelejen Negara.
Dalam Pasal 31 ayat (2) UU Terorisme diatur secara khusus bahwa penyadapan hanya dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri. Begitu juga dalam Pasal 77 ayat (2) UU Narkotika ditegaskan bahwa penyadapan hanya dilaksanakan atas izin tertulis dari Ketua Pengadilan. Selanjutnya, dalam Pasal 32 ayat (1) UU Intelejen Negara dinyatakan bahwa penyadapan terhadap sasaran dengan bukti awal yang cukup dilakukan dengan penetapan Ketua Pengadilan Negeri. Sedangkan dalam UU KPK tidak diatur keharusan mendapat perintah atau izin dari pengadilan.
Artinya, selain KPK, lembaga-lembaga yang diberi kewenangan menyadap tersebut harus meminta dan mendapat izin dari pengadilan bila hendak melakukan penyadapan. Pengecualian dalam keadaan khusus diberikan kepada BIN. Dalam hal sasaran terindikasi mengancam kepentingan dan keselamatan negara, menurut Pasal 32 ayat (2) UU Intelejen Negara, penyadapan dapat dilakukan atas perintah Kepala BIN dalam durasi paling lama enam bulan. Pengecualian bersyarat berikutnya diberikan kepada BNN. Pasal 78 UU Narkotika membolehkan BNN menyadap tanpa izin pengadilan ketika dalam keadaan mendesak, namun dalam waktu paling lama 24 jam permintaan izin tetap harus disampaikan ke pengadilan.
Pengecualian untuk KPK tidak hanya terkait dengan kewajiban mendapat izin dari pengadilan, tetapi juga dalam hal derajat keyakinan akan terjadinya kejahatan. Dalam Pasal 31 ayat (1) UU Terorisme, Pasal 75 huruf i UU Narkotika, dan Pasal 32 ayat (1) UU Intelejen Negara diatur mengenai syarat adanya bukti awal yang cukup. Sedangkan dalam UU KPK tidak ada pengaturan mengenai adanya bukti awal.
Dengan demikian, bila alat komunikasi seseorang disadap, kemungkinannya hanya ada empat. Pertama, ia seorang terduga teroris yang sudah layak dijadikan tersangka. Kedua, ia seorang terduga penjahat narkoba yang sudah pantas dijadikan tersangka. Ketiga, ia seseorang yang potensial melakukan korupsi. Keempat, ada indikasi bahwa ia terlibat dalam kegiatan yang membahayakan negara. Jika empat kemungkinan itu tidak ada pada dirinya, berarti penjahatlah yang menyadapnya.
Pelanggaran HAM
Penyadapan yang tidak didasari kewenangan dan tidak memenuhi prosedur yang ditetapkan undang-undang jelas merupakan suatu tindak kejahatan. Pasal 40 UU Telekomunikasi melarang setiap bentuk penyadapan atas informasi yang disalurkan melaiui jaringan telekomunikasi karena pada dasarnya informasi yang dimiliki seseorang merupakan hak pribadi yang harus dilindungi. Senada dengan itu, Pasal 32 UU Hak Asasi Manusia (HAM) menyatakan bahwa kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan kamunikasi melalui sarana elektronik tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim dan kekuasaan lain yang sah.
Dua ketentuan dalam dua undang-undang tersebut menjelaskan bahwa informasi dalam percakan yang menggunakan saluran elektronik merupakan hak yang harus mendapat jaminan perlindungan dalam hal kerahasiannya. Dalam terminologi HAM, hak atas rahasia pribadi termasuk dalam kategori hak negatif pasif. Disebut negatif karena rumusannya menggunakan frasa "tidak boleh ada", yakni tidak boleh ada gangguan dari pihak manapun terhadap hak ini. Disebut pasif karena tidak perlu tindakan apapun untuk mewujudkannya.
Tak hanya undang-undang yang menyatakan kerahasiaan komunikasi elektronik sebagai hak asasi, Mahkamah Konstitusi (MK) juga mengonfirmasi hal ini melalui beberapa putusannya, seperti Putusan No. 006/PUU-I/2003, Putusan No. 012-016-019/PUU-IV/2006, Putusan No. 5/PUU-VIII/2010, Putusan No. 60/PUU-VIII/2010, dan Putusan No. 20/PUU-XIV/2016. Pada intinya, MK berpendapat bahwa penyadapan merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak privasi seseorang yang bertentangan dengan konstitusi.
Meski demikian, MK memandang bahwa hak privasi merupakan bagian dari HAM yang dapat dikurangi (derogable right). Untuk keperluan yang sangat penting seperti penegakan hukum, misalnya, hak ini bisa dibatasi. Hanya saja, sesuai dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, pembatasan terhadap hak privasi ini hanya bisa dilakukan dengan undang-undang. Sebagai konsekuensi dari pendapat MK ini, Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyadapan yang sudah siap diteken Presiden pada tahun 2011 urung disahkan.
Beberapa Masalah
Dari sekian pengujian konstitusionalitas ketentuan penyadapan di MK, hanya pengujian UU ITE yang dikabulkan, yakni dalam Perkara No. 5/PUU-VIII/2010 dan Perkara No. 20/PUU-XIV/2016. Semua perubahan norma yang diakibatkan oleh putusan dalam dua perkara itu telah diakomodasi oleh pembentuk undang-undang melalui Perubahan UU ITE. Yang belum diakomodasi adalah rekomendasi MK untuk mengatur masalah penyadapan dalam satu undang-undang yang bersifat komprehensif.
Pengaturan penyadapan melalui undang-undang khusus yang bersifat komprehensif menjadi begitu penting ketika muncul persoalan sebagaimana yang dikemukakan SBY. Seandainya benar ponsel SBY disadap, perlu dijelaskan, apakah penyadapan itu legal atau ilegal. Sekali lagi, seandainya benar ponsel SBY disadap, permintaan penjelasan SBY kepada Presiden Jokowi tidaklah berlebihan mengingat hak untuk tidak disadap merupakan hak negatif pasif yang harus dijamin perlindungannya oleh negara.
Akan tetapi, dengan kondisi regulasi penyadapan yang ada saat ini, tidaklah mudah bagi pemerintah (baca: negara) untuk memberikan penjelasan. Pasalnya, dari sekian institusi yang diberi kewenangan melakukan penyadapan masing-masing dapat menggunakan undang-undangnya sendiri. Sementara antara undang-undang yang satu dengan undang-undang yang lain berbeda baik dalam pemberian definisi penyadapan, prosedur penyadapan, tujuan penyadapan, maupun sanksi kejahatan penyadapan.
Selain itu, tidak ada mekanisme kontrol yang dapat menjamin bahwa penyadapan oleh beberapa institusi yang diberi kewenangan itu sudah dilakukan dengan benar. Siapa yang tahu bila penyadapan itu dilakukan tanpa izin pengadilan? Siapa yang tahu bila penyadapan itu dilakukan melebihi batas waktu yang ditentukan? Siapa yang tahu bila informasi yang didapat dari penyadapan itu digunakan untuk kepentingan yang tidak relevan? Siapa yang tahu jika yang melakukan penyadapan itu bukanlah institusi yang diberi kewenangan? Seorang presiden pun belum tentu tahu.
*) Rafiuddin D Soaedy, Alumnus Magister Hukum Universitas Indonesia, bekerja di Mahkamah Konstitusi. Tulisan ini adalah pandangan pribadi, tidak mewakili pandangan lembaga manapun.
Halaman 2 dari 2