Keunggulan seorang pendaki adalah pada semangatnya yang membara. Ini bisa menjadi energi pendorong yang sangat besar. Energi ini bisa membuat orang terus menerus berusaha, tanpa kenal lelah. Energi ini juga bisa membuat orang tidak menyerah, saat ia mengalami kegagalan. Membangun semangat pendaki artinya membangun semangat tak kenal menyerah ini.
Baca juga: Berbangsa itu Berbagi Ruang Hidup
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pendaki harus punya strategi yang tepat. Strategi itu terdiri dari visi memastikan ia berada pada jalur yang benar menuju puncak. Visi diterjemahkan dalam rencana aksi yang detail, yang relevan, memastikan setiap detilnya membawa sang pendaki selangkah lebih dekat kepada puncak. Lalu ia fokus mengeksekusi setiap langkah itu, sambil sesekali melakukan evaluasi apakah ia sudah berada di jalur yang benar. Bila melenceng, maka ia harus mengambil langkah korektif.
Selain itu, inovasi juga merupakan kunci penting yang harus dipunyai setiap pendaki. Ia harus berinovasi mencari jalan-jalan yang bisa membuatnya mendaki lebih cepat. Tentulah jalan itu bukan jalan yang sudah dilalui oleh para pendahulunya. Ia harus membangun kreasi baru. Atau, bisa saja ia menempuh jalan yang sama, tapi dengan teknik yang berbeda. Intinya, ia harus punya inovasi untuk membuat perbedaan, bukan sekadar jadi pengekor.
Baca juga: Visi dan Perbaikan Berkelanjutan
Sifat kreatif-inovatif sering kali merupakan bagian intrinsik dari seorang pendaki. Ia hanya perlu menjaga agar semangat itu tidak pudar. Lebih bagus lagi bila semangat itu bisa terus dibesarkan. Dalam konteks perusahaan, inovasi bisa dihasilkan dari kegiatan riset dan pengembangan. Banyak orang salah kaprah, menganggap kegiatan ini sebagai barang mewah yang baru boleh dinikmati kalau perusahaan sudah besar. Mentalitasnya tetap begitu, meski perusahaan sudah tumbuh lebih besar. Kelak ketika sudah besar pun, kegiatan pengembangan tetap dianggap mewah atau mubazir.
Riset dan pengembangan tidak perlu menunggu sampai perusahaan menjadi besar. Skalanya selalu bisa disesuaikan dengan kondisi yang ada. Penentu utamanya bukan pada dana atau sumber daya, tapi pada visi pelaku organisasi. Bila visi itu ada, maka pelaku organisasi akan mengusahakan sumber daya yang diperlukan.
Ada satu hal penting yang harus diperhatikan oleh organisasi yang sedang tumbuh besar, yaitu inefisiensi. Inefisiensi pada organisasi bisnis kecil tidak terasa, karena nominalnya bisa dianggap kecil. Namun saat organisasi membesar inefisiensi ini jadi terasa, karena merupakan kelipatan dari inefisiensi yang selama ini ada, pada semua unit bisnis baru. Menghilangkannya tidak mudah, karena perilaku inefisiensi sudah menjadi kebiasaan yang dianut begitu banyak orang. Karena itu, dalam jalur pendakian sangat penting untuk membangun berbagai kebiasaan efisien, yang menjadi perilaku setiap individu dalam organisasi.
Bukankah semangat ini hanya relevan untuk yang sedang tumbuh? Bagaimana dengan yang sedang berada di puncak? Ingatlah bahwa sesungguhnya puncak-puncak itu virtual sifatnya. Ketika kita sudah mencapai suatu titik, selalu ada titik yang lebih tinggi untuk dikejar. There is always one more mountain left to climb. Justru semangat ini harus terus menerus dipelihara oleh orang atau organisasi yang sudah berada di puncak. Kalau tidak, ia akan terperosok pada turunan, tergelincir jatuh ke jurang, lalu berada pada posisi terbawah.
*) Hasanudin Abdurakhman adalah cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia.
*) Opini ini adalah pandangan dan tanggung jawab penulis, bukan merupakan pandangan redaksi detikcom. (tor/tor)











































