Pilkada Serentak 2017 dan Permasalahan Aktualnya
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Pilkada Serentak 2017 dan Permasalahan Aktualnya

Rabu, 25 Jan 2017 11:40 WIB
Toni Ervianto
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Foto: (Dokumentasi pribadi)
Jakarta - Tahun 2017 ini diselenggarakan 101 Pilkada Serentak di 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota. Ketujuh provinsi tersebut yaitu Aceh, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat.

Provinsi Aceh merupakan daerah terbanyak menggelar Pilkada, yakni 1 pemilihan gubernur, 20 pemilihan bupati dan wali kota. Meski ini bukan pengalaman pertama, namun jika berkaca pada pengalaman Pilkada serentak tahun 2015 tampaknya masih akan dihadapi sejumlah kendala yang perlu diantisipasi.

Sebagai contoh adalah sengketa penghitungan suara. Pilkada 2015 yang diikuti oleh 269 daerah, ada sekitar 150 gugatan sengketa hasil yang dilayangkan ke MK dan total ada 5 perkara gugatan sengketa akhir yang akhirnya ditindaklanjuti. Hal ini belum memperhitungkan masalah lain seperti administrasi, kampanye, partisipasi pemilih maupun imbas sosial politik akibat konflik Pilkada.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Masalah Aktual

Menurut Susan Hyde, dkk (2008) dalam Election Fraud: Detecting and Deterring Electoral Manipulation, menyebut persoalan utama dalam pemilu adalah mengenali dan mencegah terjadinya fenomena electoral fraud, election manipulation, atau vote rigging suatu kecurangan pemilu yang terjadi karena intervensi atau campur tangan secara ilegal terhadap proses penyelenggaraan pemilu.

Tindakan ini berdampak pada penghitungan suara yang dapat mempengaruhi hasil pemilu, baik meningkatkan hasil suara, mengurangi atau keduanya pada kandidat tertentu. Meski secara teknis "electoral fraud" meliputi suatu tindakan ilegal yang melanggar hukum, namun tindakan legal yang secara moral tidak dapat diterima, tidak mencerminkan semangat dalam aturan kepemiluan, dan bertentangan dengan prinsip demokrasi termasuk dalam kategori "electoral fraud".

Hyde mengidentifikasi electoral fraud/kecurangan pemilu meliputi:

1). Manipulasi pemilih (manipulasi demografi, penghilangan hak pilih, memecah dukungan oposisi)
2). Intimidasi
3). Jual beli suara
4). Penyesatan informasi
5). Manipulasi kertas suara
6). Coblos ganda
7). Manipulasi dalam rekapitulasi
8). Penggunaan pemilih semu
9). Merusak kertas suara
10). Pembajakan sistem teknologi informasi dalam pemungutan suara
11). Pembajakan hak pilih
12). Manipulasi hasil rekapitulasi suara

Kategori kecurangan Pemilu yang dirumuskan Hyde ini relevan dalam menjelaskan masalah aktual dalam Pilkada di Indonesia, dari mulai tahapan penyusunan aturan teknis Pilkada hingga pemungutan suara.

Merujuk Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, diatur ketentuan jenis pelanggaran dalam Pilkada baik bersifat pidana Pemilu yang ditangani oleh Gakkumdu, yakni Polri, Kejaksaan Agung, dan Bawaslu, pelanggaran administratif ditangani KPU, pelanggaran kode etik di tangani DKPP dan sengketa hasil penghitungan suara diproses di MK.

Menurut Mulyadi, Staf Ahli Bawaslu, potensi permasalahan dalam Pilkada meliputi politik uang, kampanye hitam, intimidasi, penggunaan fasilitas negara, pelibatan anak-anak saat kampanye terbuka, mobilisasi PNS, penggunaan sarana pendidikan dan ibadah untuk kampanye, serta kampanye di luar jadwal.

Sejumlah indikasi yang muncul hingga tahapan kampanye yang saat ini sedang berlangsung sebelum pencoblosan nanti tanggal 15 februari 2017 untuk Pilkada Serentak tahap kedua, tampak masalah aktualnya sebagai berikut:

Pertama, potensi manipulasi pemilih baik dalam hal penyusunan DPT yang tidak akurat sehingga dapat menghilangkan hak pilih masyarakat, mobilisasi pemilih tertentu, penggunaan hak pilih secara ilegal dan upaya menghalang-halangi penggunaan hak pilih. Isu ini faktual dalam Pilkada DKI Jakarta antara lain aturan teknis pencoblosan yang dinilai rawan memunculkan ghost voters dan berpengaruh terhadap partisipasi pemilih dalam Pilkada.

Persoalan DPT ini pada dasarnya karena belum tuntasnya e-KTP. Oleh karena itu, Presiden Jokowi perlu memerintahkan Kemendagri melalui Dirjen Disdukcapil untuk mengutamakan penyelesaian e-KTP di daerah-daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada 2017.

Kedua, money politic, penggunaan uang sebagai alat untuk membeli dukungan, suara maupun suap baik pada pemilih maupun pada penyelenggara pemilu yang dapat memberi keuntungan atau merugikan kandidat tertentu (Pasal 187A, UU 10/2016). Uang digunakan oleh kandidat untuk mempengaruhi pilihan masyarakat, sedangkan uang juga digunakan untuk membeli penyelenggara pemilu agar memanipulasi penghitungan atau setidaknya menutup mata terhadap potensi pelanggaran yang dilakukan kandidat tertentu (Pasal 73 ayat 1 dan 2, UU 10/2016).

Ketiga, abuse of power pejabat negara, aparatur sipil negara (ASN) atau penyelenggara pemilu. Penyalahgunaan kekuasaan ini terjadi dengan pemanfaatan pengaruh yang dapat memberikan keuntungan atau merugikan calon tertentu semisal melalui mobilisasi dukungan ASN, program pemerintah yang didomplengi oleh kandidat tertentu, pemanfaatan fasilitas negara, hingga penggunaan kewenangan secara ilegal demi memberi keuntungan atau merugikan kandidat tertentu (Pasal 70 ayat (3) UU 10 tahun 2016).

Hal ini karenanya menekankan netralitas dan imparsialitas daripada penyelenggara pemilu, baik KPUD maupun Panwaslu dalam menjalankan aturan main secara objektif dan tidak memihak. Terkait masalah ini, Komisi Aparatur Sipil Negara bersama Bawaslu/Panwaslu untuk bersinergi mengoptimalkan pengawasan dan memberikan sanksi terhadap ASN yang berpolitik praktis.

Keempat, black campaign dan hoax. Pilkada akan diwarnai dengan kampanye terselubung dan informasi palsu, sesat dan negatif yang memanfaatkan jaringan online seperti blog, web, maupun medsos yang memiliki jangkauan luas, intens, dan anonimitas. Hal ini digunakan untuk memanipulasi kesadaran massa sehingga memberi respon afeksi tertentu pada kandidat.

Respon afeksi ini dapat berupa perasaan positif dukungan maupun kebencian yang pada akhirnya berpengaruh terhadap orientasi pilihan. Kampanye hitam dan hoax dapat menghasut, menyebarkan kebencian dan memecah belah masyarakat dan potensial menimbulkan konflik horizontal (lihat Pasal 69 (b), (c) dan pasal 187 (ayat 2), UU 10/2016).

Terkait hal ini, Kementerian Kominfo bersama komunitas Humas di seluruh kementerian/lembaga termasuk Dewan Pers serta organisasi pers yang ada (PWI, AJI, IJTI, ATVSI dll) perlu bekerjasama meliterasi masyarakat agar tidak termakan hoax, sekaligus Kemenkominfo melanjutkan blokir terhadap situs-situs penyebar hoax dll.

Kelima, logistik pemilu, surat suara, formulir-formulir, dan lainnya. Kualitas logistik tidak sesuai dengan aturan, secara sengaja menghalangi distribusi untuk mengganggu tahapan Pilkada dan merusak kredibilitas penyelenggara Pilkada.

Surat suara secara sengaja atau tidak sengaja desainnya dapat memberikan kesan menguntungkan atau merugikan kandidat tertentu, kuantitas yang tidak sesuai serta distribusi formulir seperti C1 plano untuk para saksi, formulir C6 undangan untuk pemilih yang secara sengaja diatur sedemikian rupa untuk membatasi akses atau memperluas akses bagi pendukung kandidat tertentu.

Terkait penyelesaian masalah ini, maka seluruh pemangku kepentingan Pilkada 2017 perlu melakukan tindak lanjut yaitu:

1. Mendalami dan melaporkan permasalahan logistik Pilkada di daerahnya
2. Memantau kondisi tempat penyimpanan logistik Pilkada dan berkoordinasi dengan TNI/Polri jika ditemukan adanya permasalahan terkait pengamanan logistik Pilkada
3. KPUD, Panwaslu dan Pemprov/Pemkab/Pemkot untuk terus menyosialisasikan surat undangan model C-6 dan petunjuk kepada masyarakat bagaimana cara mendapatkan model C-6
4. Memberikan masukan ke Pemda untuk mengutamakan pencetakan logistik Pilkada untuk daerah dengan kondisi geografis yang sulit, sehingga pendistribusiannya dapat dilakukan secepat mungkin.

Keenam, manipulasi penghitungan suara. Masalah aktual terkait dengan tindakan-tindakan ilegal yang dapat mempengaruhi penambahan maupun pengurangan saat rekapitulasi suara dari tingkat TPS hingga KPU/KPUD. Modus operandi yang digunakan biasanya melibatkan kerja sama antara saksi kandidat/partai, Panwaslu, KPU/KPUD.

Hal ini dilakukan dengan mengurangi, menambahkan, merusak sehingga dinyatakan tidak sah, suara kandidat tertentu. Tujuannya untuk memberikan perlakuan khusus yang dapat memenangkan atau mengalahkan kandidat tertentu. Pelanggaran Pilkada dalam tahapan rekapitulasi yang menyebabkan selisih suara menjadi domain MK untuk mengadilinya.

Tindakan Preventif dan Penegakan Hukum

Pilkada akan sangat menentukan masa depan bangsa dan negara, karena itu Pilkada tidak hanya bagi kepentingan masyarakat suatu daerah saja. Untuk memastikan bahwa Pilkada dapat benar-benar berjalan sesuai aturan yang berlaku, memenuhi aspirasi masyarakat dan berkontribusi bagi pembangunan bangsa dan negara, tentu perlu dilakukan upaya preventif dan penegakan hukum yang efektif terhadap berbagai potensi masalah yang dapat mengganggu jalannya Pilkada yang demokratis dan konstitusional.

Tindakan preventif dilakukan dengan pengenalan potensi masalah berdasarkan pengalaman yang selama ini terjadi dan menyempurnakan aturan serta tatalaksana teknis daripada Pilkada, baik organisasi, infrastruktur maupun personel penyelenggara. Selain itu, para kandidat, partai dan masyarakat perlu untuk mendapat sosialisasi yang intens terhadap berbagai aturan tentang Pilkada, kaidah moral dan etik dalam persaingan Pilkada serta menumbuhkan kesadaran partisipasi efektif dan konstruktif dalam Pilkada. Hal ini dimaksudkan agar berbagai potensi masalah yang dapat mengganggu Pilkada dapat diminimalisir sejak dini.

Sementara itu, persoalan penegakan hukum pemilu sebagai lex specialis dalam sistem hukum nasional tentu harus berlangsung efektif dan objektif, baik untuk aspek pelanggaran bersifat pidana, administratif, selisih penghitungan suara maupun etik. Penyelenggara maupun penegak hukum harus bersifat profesional, netral dan tegas terhadap pelanggaran aturan Pilkada.

Setiap sikap ketidakprofesionalan dan ketidaknetralan akan berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat terhadap hasil Pilkada. Hal ini dapat menimbulkan krisis politik yang berujung pada munculnya gejolak sosial yang akan mengganggu keamanan dan ketertiban. Penegakan hukum hendaknya dapat berjalan secara cepat, efektif, objektif dan adil sejak tahapan Pilkada berlangsung hingga dapat menjaga kredibilitas daripada penyelenggara Pemilu.

*) Toni Ervianto adalah alumnus Fisip Universitas Jember dan alumnus pasca sarjana Kajian Strategik Intelijen Universitas Indonesia, kolumnis, pengamat komunikasi massa dan masalah strategis. Tinggal di Jakarta.
*) Opini ini adalah pandangan dan tanggung jawab penulis, bukan merupakan pandangan redaksi detikcom.

Halaman 2 dari 3
(nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads