Bukan hanya di Indonesia, sarung juga dikenakan di beberapa negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei Darussalam. Selain itu, penduduk di negara-negara Afrika juga terbiasa memakai sarung. Di Indonesia sarung adalah pakaian multi momen, biasa dipakai untuk beribadah, acara keagamaan, acara adat dan bahkan dipakai dalam keseharian, baik saat serius maupun ketika sedang santai.
Karena modelnya yang konstan dan bentuknya yang sederhana, biasanya sarung diperbincangkan dari sisi bahan dan motif warnanya. Ada sarung tenun hasil kerajinan tangan, sarung pabrik bermotif dan tentu saja sarung batik. Masing-masing motif sarung ini biasanya juga memiliki harga dan kegunaan berbeda-beda. Ada sarung tetoron murahan untuk anak-anak bermain, eh tapi ini zaman dahulu, zaman generasi 1980-an masih kanak-kanak. Sekarang sarung jenis ini mungkin sudah tidak ada lagi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tetapi itu bukan utama, saat ini kain sarung termahal adalah sarung tenun tangan motif etnik atau garis-garis atau kotak-kotak kecil halus bercampur benang sutra seperti yang digunakan Presiden Joko Widodo saat menghadiri acara puncak Maulid Nabi Muhammad SAW di Gedung Pusat Kanzus Sholawat Pekalongan pimpinan Habib Luthfi bin Yahya Al-Kaff. Ini tidak seperti kain untuk baju batik yang biasa disebut para pedagang di pasar tanah Abang dengan "sutra kecewa". Ini hal yang sama sekali berbeda.
Foto: Presiden Jokowi akan Hadiri Peringatan Maulid Nabi di Pekalongan (Biro Pers) |
Eh, tapi saya tidak bisa memastikan sarung sang presiden ini benar-benar mahal, hasil tenun tangan dan bercampur sutra. Kan presiden kita ini terkenal sederhana dan tidak suka memakai barang-barang, termasuk sarung mahal. Biarlah Mas Kaesang Pengarep yang menjelaskan nanti, bila berminat dan ada kesempatan.
Ini memang bukan kali pertama presiden Jokowi memakai sarung di acara resminya bersama warga Nahdliyin. Sebelumnya, Presiden juga menghadiri Haul ke-7 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Ciganjur Jakarta dengan mengenakan sarung. Saat membuka Muktamar NU ke-33 di Jombang Jawa Timur, Jokowi juga memakai sarung, ada guyonan pula tentang warna sarungnya.
Jokowi bersarung di acara NU Foto: Idham Kholid/detikcom |
Waktu Silaturrahim di Pesantren Tegalrejo Magelang pun Presiden mengenakan sarung. Ingatkan pada video kocak santri yang tetap dapat hadiah sepeda meski salah menebak tiga nama menteri? Bahkan beberapa foto santai tahun baru presiden baik di Papua maupun seputar Istana pun tampak Jokowi mengenakan sarung. Pada foto-foto santai lainnya pun presiden tampak elegan memakai sarung, meski sepertinya agak murah, eh. So, wajar saja puteranya sendiri mencandai sang bapak ini dengan kecebong. Hehehe. Maaf ya Mas Kaesang.
Okelah kembali ke laptop, di mana tulisan ini tak hendak mengkritisi kebijakan kenegaraan, pembangunan infrastruktur, keuangan, ekonomi dan kerja nyata presiden serta dampaknya bagi kehidupan rakyat secara lebih luas, itu bukan keahlian saya. Tulisan ini hanya akan menyoroti hal-hal yang sifatnya seperti basa-basi saja. Ya maksimal tentang simbol pergaulan lah. Hal-hal yang sifatnya permukaan. Istilah kerennya mungkin semacam komunikasi publik gitu hehehe. Atau something like that lah hehehe. Tentang bagaimana presiden memenangkan hati rakyat dengan kain sarungnya itu.
Ketika Presiden dituduh sebagai antek China, eh Tiongkok, saat Presiden sering dikatakan tak berpihak kepada rakyat kecil, waktu Presiden difitnah sebagai anak keturunan PKI, bahkan manakala Presiden dituding sebagai anti Islam, maka dengan sarungnya inilah presiden menjawab semua tuduhan-tuduhan itu.
Dengan sarungnya seakan Presiden ingin menegaskan bawa dirinya adalah bagian utuh dari rakyat Indonesia, rakyat kecil yang sehari-hari memakai sarung dan pakaian sederhana. Dengan bersarung Presiden ingin dikenal rakyatnya tetap dalam citra yang dulu, citra yang sederhana dan ndesani. Presiden memberikan image bahwa dirinya bukan bagian dari pihak mana pun di luar rakyat. Presiden ingin tampil di hadapan rakyat seperti masih sebagai rakyat seutuhnya, tanpa jarak. Setidaknya dalam urusan memilih sarung daripada celana.
Sosoknya yang ramping dibalut sarung saat tampil dalam hajatan-hajatan Nahdliyyin mengesankan ia duduk sama rendah dengan masyarakat Muslim mayoritas bangsa Indonesia. Masyarakat Muslim yang sudah mengabdi secara nyata demi kemajuan bangsa, bukan sekedar berteriak-teriak membela agama. Komunitas yang mengidentifikasi diri dalam balutan busana keseharian berupa sarung dan peci hitam. Jas gelap adalah bonus kebesaran Kaum Sarungan di momen-momen istimewa.
Lebih dari itu Jokowi mendeklarasikan dirinya, sebarisan dengan komponen terbesar Muslim yang telah turut membidani kelahiran bangsa ini, tumbuh dan berjuang dalam setiap gelombang ujian zamannya. Bagi NU dan Nahdliyyin, maknanya jelas, tak perlu harus demonstrasi besar-besaran untuk mencari perhatian. Presiden bisa datang dengan santai untuk mendengarkan dan menyampaikan pesan kepada siapapun rakyatnya.
Maka bila ada yang masih menuduh presiden takut mendatangi umat Islam, maka tanyakan padanya, lalu umat apa yang didatangi presiden berkali-kali dalam hajatnya itu? Maka tak perlu lagi ada tuduhan Presiden Republik Indonesia, negara Muslim terbesar di dunia, takut dengan umat Islam.
Dengan sarungnya, seakan presiden ingin menyatakan kepada seluruh rakyatnya bahwa presiden memang berasal dari kaum sarungan.
*) Syaifullah Amin, warga negara yang suka memakai sarung, Wakil Sekretaris Lembaga Dakwah PBNU. (nwk/nwk)












































Foto: Presiden Jokowi akan Hadiri Peringatan Maulid Nabi di Pekalongan (Biro Pers)
Jokowi bersarung di acara NU Foto: Idham Kholid/detikcom