Indonesia belum bebas dari terorisme. Keberadaan kelompok dan individu yang menganut paham radikal terutama yang berafiliasi dengan kelompok radikal jaringan international cukup mengganggu. Tahun 2016 Indonesia menjadi korban aksi teror seperti yang terjadi di Thamrin, Surakarta, Tangerang, Medan dan Samarinda. Indonesia juga berhasil melakukan penangkapan sebagai pencegahan aksi teror yang disertai dengan barang bukti seperti di Bekasi, Majalengka, Tangerang Selatan, Batam, Ngawi, Solo, Purworejo, Payakumbuh, Deli Serdang, Purwakarta dan penangkapan di tempat lain oleh Densus 88.
Hal-hal tersebut di atas membuktikan bahwa hingga saat ini, terorisme merupakan ancaman serius bagi Indonesia. Keberadaan ISIS di Irak dan Suriah menjadi pengaruh dominan bagi aksi teror di Indonesia. Namun perlu diakui juga bahwa kepiawaian BNPT dan Densus 88 dalam melakukan pencegahan dan penindakan secara signifikan mampu menekan kelompok radikal untuk melakukan aksi teror.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ancaman Terorisme
Pelaku teror mempunyai niat dan dorongan yang sangat kuat sehingga rela untuk bunuh diri demi tercapainya tujuannya. Niat dan dorongan untuk melakukan sesuatu hingga mengorbankan nyawa oleh faktor ideologis. Sulit untuk mengubah ideologi ini karena pengidap paham ideologi radikal ini hanya mau mendengar dan percaya orang yang dianggap satu kelompoknya.
Pelaku teror yang sudah dihukum dan kemudian bebas banyak yang kembali menjadi pelaku teror. Hal ini adalah bukti bahwa hukuman penjara cenderung belum bisa mengubah ideologi radikal yang mereka anut.
Data yang diperoleh dari sebuah sumber pada bulan September 2015 menunjukkan bahwa penindakan yang dilakukan kepada pelaku tindak pidana terorisme sampai dengan September 2015 total 1.143 orang. Dari jumlah tersebut yang sudah bebas sebanyak 501 orang dan yang masih menjalani hukuman 328 orang. Tersangka yang dikembalikan kepada keluarga sebanyak 98 orang. Selain itu ada tersangka yang meninggal dunia (127 orang), meninggal dunia karena penegakkan hukum (108), dan meninggal dunia karena eksekusi mati (3 orang), dan mati karena bunuh diri (16 orang). Data ini tentu berubah pada tahun 2016 namun secara garis besar dapat menunjukkan bahwa jumlah mantan napi tindak pidana terorisme yang berada di masyarakat cukup banyak.
Data di atas menunjukkan bahwa potensi ancaman terorisme dari sisi sumber daya manusia masih cukup besar, terutama jika melihat bahwa ada 500 lebih orang mantan napi tindak pidana terorisme. Kasus aksi bom di Samarinda misalnya menunjukkan bahwa mantan napi tindak pidana terorisme kembali melakukan aksinya, bahkan lebih nekad.
Kembalinya para pelaku teror pasca dihukum ini disebabkan oleh beberapa hal, adanya proses penambangan pengetahuan dan penguatan doktrin selama berkumpul dengan napi tindak pidana terorisme di lembaga pemasyarakatan, dan adanya motif balas dendam atas hukuman yang dijalaninya. Selain hal tersbeut tentu adanya paham ideologi radikal yang tidak bisa berubah walaupun telah menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan.
Sumber daya manusia yang berpotensi menjadi ancaman selain mantan napi adalah WNI simpatisan ISIS yang kembali dari Suriah. Data dari BNPT menyebutkan bahwa pada tahun 2015 tercatat ada 500 WNI yang berada di Suriah, sumber dari Polri menyebutkan bahwa ada 200 orang WNI yang bergabung dengan Suriah. Oktober 2016, Menkopolhukam Wiranto menyampaikan bahwa 53 orang WNI kembali dari Suriah ke Indonesia.
Jika diasumsikan bahwa ada 50-an orang WNI yang kembali dari Suriah ke Indonesia maka hal ini adalah ancaman yang cukup serius. Simpatisan ISIS tersebut sudah mempunyai pengalaman di Suriah, mempunyai jaringan kelompok radikal di tingkat global yang tentu akan berpengaruh terhadap dukungan untuk melakukan teror, termasuk pendanaan. Ancaman akan semakin serius jika WNI arus balik dari Suriah ini berkolaborasi dengan mantan napi tindak pidana terorisme.
Faktor pendorong besarnya ancaman terorisme di Indonesia adalah semakin terdesaknya ISIS di Suriah. Gempuran pasukan multinasional kepada ISIS di Irak dan Suriah membuat ISIS semakin terdesak dan berpindah ke tempat lain. Adanya perintah dari petinggi ISIS kepada simpatisannya di berbagai negara untuk melakukan aksinya di wilayah masing-masing menunjukkan bahwa kekuatan ISIS di Irak dan Suriah semakin melemah. Teori balon berlaku, tekanan di Irak dan Suriah menguat maka kekuatan akan berpindah ke tempat lain, terutama Asia Tenggara (khususnya Indonesia) yang menjadi salah satu wilayah sumber perekrutan.
Isu Asia Tenggara akan dijadikan sebagai salah satu basis kekuatan ISIS ikut memicu aksi-aksi teror di Asia Tenggara terutama oleh kelompok Bahrun Naim. Aksi teror pada tahun 2016 di Jakarta seperti di Thamrin, Surakarta, Tangerang, Medan, Samarinda menunjukkan pengaruh Bahrun Naim terhadap aksi teror di Indonesia. Sebagai salah satu tokoh ISIS yang berasal dari Indonesia, Bahrun Naim diduga ingin menunjukkan kekuatannya untuk meraih kepercayaan dari pemimpin ISIS di Timur Tengah. Eksistensi ini diperlukan sebagai pendukung motif meraih jabatan penguasa ISIS di tingkat Asia Tenggara. Tentu saja isu bahwa saat ini Bahrun Naim berada di daerah Filipina menjadi masuk akal guna menyiapkan basis ISIS di Asia Tenggara.
Kemajuan teknologi ikut mendorong terjadinya aksi teror. Beberapa aksi teror seperti di Medan (penyerangan di Gereja) dan di Tangerang (penyerangan terhadap polisi) diketahui karena pelaku mengalami self radicalization dengan bantuan internet. Trend ini diperkirakan akan meningkat terutama jika aksi-aksi kelompok intoleran terus dibiarkan dan aksi tersebut menjadi pembenaran untuk melakukan tindakan radikal.
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa ancaman terorisme tahun 2017 di Indonesia masih sangat kuat. Sehingga diperlukan langkah-langkah terpadu dari pemerintah dan masyarakat agar tidak ada kerentanan-kerentanan yang dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk menjalankan aksinya.
Titik Rawan
Indonesia mempunyai beberapa titik rawan terjadinya ancaman terorisme. Titik rawan pertama adalah daya tarik yang besar sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Kelompok radikal ingin mengusai Indonesia sebagai salah satu langkah menuju penguasaan secara global. Warga negara Indonesia yang berhasil digalang dan direkrut menjadi simpatisan, anggota, bahkan pengantin bom bunuh diri tidak sedikit. Daya tarik inilah yang mendorong kelompok radikal untuk melakukan aksi teror di Indonesia.
Titik rawan kedua adalah adanya securiy gap atau celah keamanan yang bisa dimanfaatkan untuk menjalankan aksi teror. Indonesia yang cukup luas, dengan geografis yang beragam, penduduk yang plural dan permisif justru menjadi celah-celah yang dimanfaatkan oleh kelompok radikal.
Pembiaran aksi-aksi intoleran dan kelompok yang ingin mengganti ideologi Pancasila dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk eksis dan masuk ke dalam aksi dan kelompok tersebut. Tindakan yang tidak tegas terhadap kelompok intoleran menjadi celah atau titik rawan masuknya idelogi radikal sekaligus sebagai kesempatan untuk penggalangan pengikut.
Titik rawan ketiga adalah skala dampak yang tinggi jika terjadi terorisme. Terorisme yang terjadi di Indonesia selama ini dampak negatifnya cukup signifikan. Korban jiwa dan korban materi tidak sedikit. Dampak yang besar tersebut dipublikasikan secara gratis oleh media masa sehingga menjadi nilai tambah bagi pelaku teror terutama sebagai sarana pembuktian efektifitas aksi kepada pimpinan kelompoknya.
Ketiga titik rawan di atas mempunyai nilai cukup tinggi dan hal ini akan memudahkan ancaman-ancaman teror di Indonesia bisa terjadi. Usaha yang harus dilakukan adalah menutup celah atau titik rawan supaya ancaman teror tidak terjadi terutama celah keamanan seperti security gap. Nilai ancaman dan titik rawan atas aksi teror yang cukup tinggi di Indonesia perlu disikapi dengan langkah-langkah tanggap strategi supaya ancaman teror tidak terjadi, dengan cara pencegahan, penindakan dan pemulihan.
Pencegahan, Penindakan dan Pemulihan
Unsur utama yang bisa melakukan pencegahan aksi teror adalah intelijen. Penguatan intelijen diperlukan untuk melakukan pencegahan lebih baik. Sistem deteksi dini dan peringatan dini atas aksi teror perlu dilakukan sehingga pencegahan lebih optimal dilakukan.
Pakar intelijen, Soleman B Ponto, menyebutkan bahwa unsur pembentuk teror ada sembilan. Mantan Kepala BAIS ini menyebutkan bahwa sembilan unsur tersebut adalah pemimpin, tempat latihan, jaringan, dukungan logistik, dukungan keuangan, pelatihan, komando dan pengendalian, rekrutmen, serta daya pemersatu. Teror akan terjadi jika sembilan unsur tersebut bertemu. Sebaliknya disebutkan bahwa teror tidak akan terjadi jika salah satu dari unsur pembentuk tersebut tidak ada
Intelijen bisa melakukan pencegahan aksi teror dengan memutus salah satu dari sembilan unsur pembentuk teror, walaupun kelompok dan individu pelaku teror terus melakukan inovasi dalam menjalankan aksinya. Penguasaan teknologi untuk memantau transaksi keuangan dan data percakapan orang yang diduga mempunyai ideologi radikal perlu dilakukan untuk membaca dan mengetahui aksi-aksi yang akan dilakukan sebagai bahan pencegahan.
Penguatan intelijen tentu tidak hanya dari sisi teknis tetapi dari sisi politis. UU tentang Intelijen dan UU tentang Tindak Pidana Terorisme perlu disesuaikan supaya terorisme ditangani dengan porsi terbesar pada pencegahan bukan pada penindakan. Selain itu penguatan BNPT perlu dilakukan agar mempunyai kewenangan dan energi untuk melakukan pemberantasan terorisme seperti BNN yang memberantas narkoba dan KPK yang memberantas korupsi.
Terkait dengan penindakan aksi teror, kemampuan Polri terutama Densus 88/AT tidak perlu diragukan lagi. Kasus-kasus terorisme di Indonesia berhasil diungkap dan ditangkap pelakunya. Pencegahan-pencegahan berhasil dilakukan dengan barang bukti yang signifikan. Penindakan yang dilakukan oleh Densus 88 walaupun menjadi kontroversi bagi pihak-pihak tertentu perlu didukung. Upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak yang ingin melemahkan Densus 88 harus dicegah, karena akan menjadi celah bagi terjadinya aksi teror.
Tahap pemulihan perlu mendapatkan perhatian yang serius. BNPT sebagai lembaga negara yang bertanggung jawab atas pemberantasan terorisme perlu mengkaji kembali program deradikalisasi yang dilakukan. Narapidana tindak pidana terorisme perlu diperlakukan secara khusus sehingga selama menjalani hukuman sekaligus menjalani program deradikalisasi, bukan malah menerima program penguatan radikalisasi dari narapidana lainnya, atau menggalang napi lain untuk bergabung dalam kelompok radikal.
Pembuatan lembaga pemasyarakatan khusus narapidana tindak pidana terorisme perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk pengawasan yang lebih intens dan pelaksanaan deradikalisasi yang lebih fokus. Pemulihan perlu dilakukan juga kepada keluarga narapidana tindak pidana terorisme, supaya tidak tercipta sel-sel baru akibat dendam. Pemulihan juga harus dilakukan kepada WNI sinpatisan ISIS yang kembali dari Suriah.
Kesimpulan
Ancaman aksi teror di Indonesia pada tahun 2017 diperkirakan masih sangat kuat. Mantan narapidana tindak pidana terorisme dan WNI simpatisan ISIS yang kembali dari Suriah akan menjadi ancaman utama aksi teror di Indonesia. Pelaku teror lone wolf terus meningkat seiring dengan mudahnya komunikasi dan interaksi dengan menggunakan teknologi internet yang berdampak pada self radicalization.
Titik rawan yang menjadi celah bagi terjadinya aksi teror masih terbuka lebar. Upaya-upaya untuk penguatan intelijen dan penguatan BNPT untuk melakukan pencegahan aksi teror perlu dilakukan. Langkah-langkah yang kontradiktif terhadap upaya pencegahan aksi teror seperti pelemahan intelijen, tuduhan-tuduhan miring atas aksi penindakan yang dilakukan Densus 88, dan pembiaran terhadap kelompok intoleran akan memperlebar celah kerawanan yang mempermudah aksi teror terjadi.
Kerjasama yang baik antar lembaga seperti BNPT, Polri, BIN, TNI, PPATK, Kementerian Kominfo, Kementerian Agama, dan instansi lainnya yang mempunyai kepentingan atas terorisme perlu lebih dieratkan sehingga menjadi suatu kolaborasi positif sebagai suatu kerja sama, bukan semata sama-sama kerja.
Terorisme harus dicegah dan dilawan, dengan kerjasama lembaga yang baik, dan dukungan masyarakat yang positif maka optimisme untuk mencegah terorisme di Indonesia tidak perlu diragukan.
*) Stanislaus Riyanta, analis intelijen dan terorisme, alumnus Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia.
Halaman 2 dari 5
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini