Sebenarnya tidak hanya soal perayaan. Ada banyak hal yang dikampanyekan ulama. Salah satunya konser musik. Kita ingat, beberapa tahun yang lalu konser pemusik Lady Gaga pernah gagal, karena suara ulama. Ini pun bukan khas Indonesia saja. Dua puluh tahun yang lalu, saat saya tinggal di Kuala Lumpur, ada konser grup musik Scorpions. Di media para ulama mengeluhkan perilaku anak-anak muda yang mau antri masuk ke tempat konser, pada waktu salat magrib dan isya.
Ini juga adalah keluhan sepanjang zaman. Ulama-ulama Islam merasa bahwa umat mereka sedang diserbu oleh suatu kekuatan lain, diarahkan untuk ikut ke sana, sementara mereka tak berdaya mencegahnya. Temanya selalu soal gaya berpakaian, cara bergaul, dan cara menikmati kesenangan hidup. Keluhan ini sering kali terdengar tak berdaya, dan menjadi sia-sia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menyedihkan memang. Akhirnya para ulama sekedar menjadi tukang omel. Mereka sebenarnya bisa berperan lebih, menyampaikan pesan yang lebih fundamental. Apa itu? Yaitu soal bagaimana menjadi pemenang, sehingga bisa menjadi pemimpin peradaban. Bagaimana caranya? Dengan kerja keras, disiplin, jujur, tertib, dan sebagainya. Sayangnya pesan-pesan fundamental ini justru jarang dihasilkan oleh ulama.
Masalah kedua adalah soal komunikasi. Para ulama kita sering bersikap seperti polisi moral. Di rumah-rumah para orang tua juga begitu. Mereka punya satu daftar panjang, berisi "jangan". Jangan ini, jangan itu, ini haram, itu tak baik, itu merusak, dan seterusnya. Itu adalah cara komunikasi yang muskil. Karena itu, ucapan mereka sering sekedar menjadi angin lalu.
Ada banyak ulama yang tidak mampu mengemas pesan secara baik. Menyampaikan dakwah yang simpatik, dekat dengan umat. Mereka tidak turun membaur bersama umat, tapi lebih suka berdiri di menara tinggi, berteriak-teriak memberi instruksi. Kemudian mereka lelah, menyadari bahwa instruksi mereka tak dituruti. Demikian pula, banyak orang tua yang begitu. Akhirnya mereka hanya jadi tukang keluh. "Anak-anak tak patuh," kata mereka.
Di puncak persoalan, masalahnya adalah para ulama itu juga bagian dari pelaku suatu gaya hidup. Mereka sebenarnya bagian dari gaya hidup yang mereka kritik. Gaya hidup mereka sendiri tak jauh-jauh dari itu, hanya berbeda bagian saja. Di suatu acara yang saya hadiri, saya menyaksikan seorang petinggi MUI datang naik mobil mewah. Kedatangan seorang ustaz seleb naik mobil mewah dalam sebuah acara TV di tengah keriuhan soal penistaan Islam di ujung tahun lalu juga sempat menjadi viral di dunia maya. Lho, apa hubungannya? Itu adalah suatu cara hidup hedonis. Itu adalah sisi lain dari hedonisme yang dipraktekkan oleh orang-orang yang merayakan tahun baru tadi.
Artinya, para ulama itu dipandang hanya sibuk mengomeli gaya hidup orang lain, tapi abai terhadap gaya hidup mereka sendiri. Tapi, apa salahnya punya mobil mewah? Tak salah. Pasti tak salah, karena ulama selalu punya dalil untuk membenarkannya. Sementara di lain pihak, umat tak punya wewenang untuk berdalil. Mereka memilih untuk mengabaikan saja omelan para ulama. Atau, menjadikannya bahan olok-olok.
*) Hasanudin Abdurakhman adalah cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia. (tor/tor)











































