Orang-orang seperti itu, tidak hanya membebaskan dirinya sendiri. Ia kemudian memberi inspirasi, sekaligus membiayai adik, keponakan, atau bahkan orang lain yang sama sekali tak ada hubungan darah dengannya. Ia membebaskan lebih banyak lagi orang.
Tapi kita juga mendengar banyak cerita, tentang orang-orang yang mendapat kesempatan untuk menempuh pendidikan, tapi gagal membebaskan dirinya. Ada yang gagal selama sekolah. Ia tak mampu menyelesaikan sekolahnya. Ada pula yang sekolah sampai selesai, tapi pendidikan yang ia tempuh tak membuatnya bisa hidup lebih baik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa yang terjadi pada orang-orang itu? Mereka adalah orang-orang yang gagal melakukan hal yang paling dasar dalam proses pendidikan, yaitu belajar. Mereka gagal mendapatkan kompetensi yang paling dasar, yang harus diperoleh oleh orang yang telah menempuh pendidikan, yaitu kemampuan belajar.
Ya, ada begitu banyak orang yang sekolah tapi tidak belajar. Mereka hanya menghafal sejumlah dalil dari buku-buku pelajaran, tanpa memahaminya. Hafalan itu hanya menjadi serpihan mozaik yang tak terhubung satu sama lain. Lebih penting lagi, serpihan-serpihan itu tidak memberi petunjuk tentang bagaimana menyelesaikan persoalan-persoalan di ruang kehidupan. Orang-orang ini tidak akan pernah mampu bekerja. Bekerja adalah menyelesaikan persoalan. Baik itu persoalan diri sendiri, maupun persoalan orang lain yang membayar kita. Dari sekolahnya mereka tak belajar untuk menjadi penyelesai masalah (problem solver).
Sekolah seharusnya membentuk pola pikir, sebelum memenuhi benak pelajar-pelajarnya dengan pengetahuan. Pola pikir itu membangun struktur pemahaman, dan dengan struktur itu akan semakin mudah bagi pelajar untuk belajar lebih lanjut. Ibaratnya, seperti menyiapkan rak-rak dalam "lemari pikiran", tempat di mana pengetahuan dan informasi kelak akan diletakkan. Pola pikir itu juga akan menentukan bagaimana informasi dan pengetahuan diolah untuk suatu keperluan.
Sekolah juga seharusnya membangun kebiasaan-kebiasaan positif, baik kebiasaan mental maupun fisik. Kebiasaan mental adalah reaksi seseorang terhadap situasi yang ia hadapi. Kebiasaan mental yang positif adalah reaksi-reaksi positif, seperti optimisme, komitmen, tanggap, tidak mudah menyerah, dan sebagainya. Adapun kebiasaan fisik meliputi hal-hal seperti disiplin,
Di atas itu semua, sekolah seharusnya memberi bekal bagi pelajar-pelajarnya untuk menyelesaikan masalah. Dengan pola pikir yang baik, kebiasaan-kebiasan yang baik, pelajar dibimbing untuk mencari solusi terhadap berbagai persoalan yang mereka hadapi. Tidak hanya itu. Bila saat menghadapi suatu persoalan pengetahuan yang mereka miliki ternyata belum memadai, mereka punya kemampuan untuk belajar sendiri pengetahuan itu. Mereka tahu di mana harus mencari informasi, dan bagaimana memperolehnya.
Orang-orang yang gagal membebaskan diri tadi adalah orang-orang yang tidak berhasil mendapatkan tiga hal tersebut. Mereka gagal karena gagal
memaknai proses belajar. Kegagalan itu bisa karena kesalahannya sendiri. Ia gagal menangkap substansi. Ia mengira sekolah, khususnya perguruan tinggi, adalah kotak ajaib yang bisa membuat siapa saja yang melaluinya akan menjadi orang pintar.
Dalam pengamatan saya, sekolah-sekolah kita sekarang cenderung berkembang menjadi sekolah-sekolah yang tak akan sanggup membebaskan. Pelajar
sudah dijejali dengan berbagai informasi yang tak sanggup mereka cerna. Ibaratnya, mereka sudah dijejali dengan sejumlah barang, sebelum mereka menyiapkan lemari untuk menyimpannya. Mereka dipaksa menghafal hal-hal yang tak mereka pahami. Lebih mengerikan lagi, kemampuan menghafal dianggap sesuatu yang sangat hebat. Pelajaran menghafal diberi prioritas tinggi. Padahal menghafal ini adalah cara belajar orang-orang yang belum memasuki era baca tulis.
Saya khawatir pendidikan kita bergerak menjadi pendidikan yang semakin tak mampu membebaskan.
*) Hasanudin Abdurakhman adalah cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia.
(imk/imk)











































