Guru pertama, sebutlah namanya Mas Sigit. Beliau seorang ustadz yang sangat zuhud, bening hati, idola saya dalam perkara-perkara manajemen batin. Beliau hadir menyapa dan menasihati saya di dinding Facebook. "Iqbal, yuk berhati-hati kalau menulis dan berpendapat. Allah Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Ada tanggung jawab kita di hadapan-Nya."
Guru kedua, anggaplah namanya Bang Fadli. Beliau mengajarkan agama dengan sistematis, tertata, dan jernih. Sisi rasional dijaga, sisi hati nurani tak diabaikan. Makanya, meski beliau berbeda pendapat dengan saya, nasihatnya kemarin tetap khas. "Yang penting jujur dengan nuranimu, Bal. Seimbang logika dan rasa. Nah, karena logika, rasa, dan nurani itu di hati, jaga relung hatimu agar tetap bening."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya bersyukur dengan ajang 'reuni maya' itu. Perjumpaan dengan Mas Sigit dan Bang Fadli membuat saya sentimentil. Seberbeda apa pun pandangan saya dengan keduanya, sungguh saya menghormati dan mencintai mereka. Mereka adalah sosok-sosok yang berperan sangat besar dalam membentuk saya sebagai manusia.
Namun, berbeda dengan respons saya atas kehadiran Mas Sigit dan Bang Fadli, rasanya sulit sekali saya bersikap sama kepada Pak Basir. Ini membuat saya gelisah. Baik dengan otak maupun dengan hati, saya-di-hari-ini (yang tak lagi sama dengan saya-di-masa-lalu) melihat bahwa jalan Pak Basir adalah jalan yang buruk. Di sisi lain, bahwa Pak Basir adalah guru saya, itu merupakan fakta historis yang tak mungkin dihapus lagi.
Lalu bagaimana nasib saya? Apakah saya akan kuwalat, kehilangan berkah ilmu, karena gagal memunculkan penghormatan penuh kepada seorang guru yang tak lagi saya sepakati ajarannya?
Hmm, tunggu dulu. Guru wajib kita hormati, itu rumus sakralnya. Namun saya jadi kepingin bertanya lebih jauh, siapakah sebenarnya yang layak kita sebut sebagai guru?
"Guru adalah siapa pun yang berperan memberikan ilmu dan pengetahuan kepada kita." Itu jawaban sangat standar yang paling gampang dipahami awam. Tepatkah definisi itu?
Pada masa ini, pemaknaan demikian malah bisa mengaburkan pokok persoalan. Kalau dengan membagi pengetahuan saja seseorang sudah dapat diposisikan sebagai guru, maka guru bukan cuma orang yang mengajari Anda membaca, menulis, berhitung, mengenal alam, dan sebagainya. Semua wartawan adalah guru Anda. Semua penulis, termasuk saya, adalah guru Anda (hahaha aseeek!). Semua pelaku penerbitan buku adalah guru Anda.
Lha, apa mereka semua layak Anda beri penghormatan sangat tinggi sebagai guru? Lha kok enak banget.
Memang sih, kalau cuma berbekal asumsi paling dasar bahwa aktivitas penerbitan buku adalah aktivitas sharing pengetahuan, definisi tadi masuk. Anda mungkin bisa menemukan contohnya pada beberapa pemuda Jogja yang bersetia di jalan suci perbukuan, semisal Arif Doelz dan Adhe Maruf (kalau Anda main ke Jogja, cari saja kedua orang ini, dan cium tangan mereka).
Sialnya, tidak semua penerbit menempuh jalan suci. Kebanyakan malah cuma mengobral sampah, lantas menyulapnya menjadi uang. Meyakini bahwa semua penerbit buku adalah pembagi ilmu pengetahuan, tak bedanya memandang bahwa semua dokter adalah penyembuh. Tak bedanya juga dengan melihat bahwa semua orang-yang-berprofesi-sebagai-guru adalah guru.
Maka kita bisa ngelantur ke pertanyaan lain, betulkah seseorang yang memiliki profesi sebagai pengajar di sekolah formal, otomatis ia memiliki hak spiritual sebagai guru?
Pertanyaan semacam itu pernah lumayan mengganggu kepala saya. Itu gara-gara beberapa kali saya jatuh dalam perdebatan tiada guna, tentang beberapa kasus kekerasan yang dilakukan oleh guru kepada muridnya. Menurut banyak orang, kekerasan dalam mendidik murid di sekolah dalam batas tertentu tak jadi soal, bahkan diperlukan. Sementara saya mengikuti pendapat satunya, yang menyatakan bahwa di zaman ini hukuman fisik tak lagi cocok sebagai metode di sekolah-sekolah formal.
Dalam balas-pantun demikian, satu argumen standar yang paling sering saya dengar adalah, "Guru adalah orangtua kita di sekolah. Mereka berhak mendidik kita bukan cuma dengan lemah lembut, tapi juga dengan tegas! Zaman kami dulu di pesantren, kiai kami biasa memukul pakai rotan. Dan kami legowo."
Saya kerap geli mendengar orang-orang beromantika dengan mengagung-agungkan masa lalu mereka. "Zaman kami dulu... blablabla." Lha apa dikiranya zaman sekarang tuh zaman mereka, gitu?
Hidup terus berjalan, dunia terus berubah, ilmu pengetahuan terus berkembang. Ketika psikologi sudah menemukan bahwa metode-metode kekerasan ternyata kontraproduktif bagi pembentukan karakter anak-anak pada masa pertumbuhan, semestinya arus pengetahuan mutakhir ya diikuti, to. Lha wong namanya saja sekolah, eh kok mau melepaskan diri dari produk-produk pengetahuan yang lahir dari tradisi dunia sekolah.
Dalam segala perkembangan tersebut, apa-apa yang di "Zaman kami dulu..." tampak baik, sekarang bisa jadi tak relevan lagi. Bukankah memang dengan cara seperti itu dialektika pengetahuan berjalan?
Kedua, kita lupa, bahwa guru-guru di masa lalu yang sangat kita muliakan itu adalah guru-guru yang berbeda dengan guru di zaman sekarang. Guru zaman dulu hidup matinya habis untuk membagi ilmu, dalam ketulusan dan kesederhanaan, mengabdikan hidupnya demi pengetahuan. Adapun guru zaman sekarang adalah guru-guru yang berhadapan dengan sertifikasi, dengan rapelan gaji, dengan kredit kenaikan pangkat dan golongan.
Jangan emosi dulu. Saya paham kok, bahwa soal kesederhanaan, masih sangat banyak guru kita yang ada di situasi demikian. Namun secara umum, profesi guru di zaman ini adalah peran yang sudah diposisikan secara profesional. Karena itu, tindakan-tindakan yang bersifat tidak profesional semestinya sah-sah saja untuk dipersoalkan.
"Kamu ngomong gampang, Kang! Emangnya kamu pernah jadi guru? Anak-anak sekarang emang pada kurang ajar, dan kamu seenak udelmu ngasih teori ini-itu!"
Lhooo saya memang bukan guru, Mbak. Tapi orangtua saya dua-duanya guru, mengajar puluhan tahun, dan saya tahu pasti bagaimana suka-duka keluarga guru. Itu satu. Kedua, saya punya anak. Saya tidak ingin menyerahkan anak saya untuk diajar oleh mereka yang ogah berlaku profesional, yang malas memahami latar belakang penyebab seorang anak jadi "kurang ajar", sambil berlindung di balik predikat "guru" yang penuh kemuliaan.
Kemuliaan itu ada pada sikap dan tindakan, bukan pada predikat. Itu juga yang membuat saya kembali teringat Pak Basir....
*) Iqbal Aji Daryono adalah praktisi media sosial. Asli dari Bantul, Yogyakarta, kini ia tinggal sementara di Australia, untuk menemani istri yang menempuh studi doktoralnya. Kisah-kisahnya saat bekerja sebagai sopir truk dan berinteraksi dengan para imigran kelas bawah Australia ia tuangkan dalam bukunya, Out of The Truck Box. (nwk/nwk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini